Flores Bicara

Imam Katolik Asal NTT Layani Semua Migran di Taiwan, Pater Yance: Saya Abdikan Hidup untuk Sesama

Saya ditahbiskan tahun 2013 di Paroki Reding, Keuskupan Manggarai. Saya langsung ditugaskan menjadi Rektor di Seminari Scarlabrinian Ruteng

|
Penulis: Cristin Adal | Editor: Cristin Adal
TRIBUNFLORES.COM/SCREENSHOT
FLORES BICARA - Pater Yance Guntur, CS (baju putih) saat menghadiri Talkshow Tribunflores.com. 

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Pada tahun 2018 Pater Yance Guntur, CS ditugaskan di Taiwan. Belajar bahasa mandarin selama enam bulan untuk dapat melakukan pelayanan.

Imam Katolik yang bergabung dalam Kongregasi Scalabrinian adalah kelahiran Kampung Gorogoro, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT.

Memulai formasi selama satu tahun di Ruteng . Kemudian ia bersama teman-temanya belajar Filsafat ke Filipina selama empat tahun.

Ia pun melanjutkan postulan dan novisiat, kemudian dikirim ke Italia untuk studi Teologi selama 3 tahun di Universitas Santo Tomas (Angelicum).  Dia kembali ke Filipina untuk melanjutkan satu tahun pastoral.  Setelahnya ia kembali ke Italia untuk melanjutkan studi dan mengambil lisensiat di bidang  spiritualitas di Universitas Gregorisan selama 2 tahun

Baca juga: Profil Romo Donnie, Imam Katolik Asal NTT yang Bertemu Paus Pransiskus dan Beri Oleh-oleh Khas NTT

 

"Saya ditahbiskan tahun 2013 di Paroki Redong, Keuskupan Manggarai. Saya langsung ditugaskan menjadi Rektor di Seminari Scalabrinian Ruteng. Saya bertugas di sana selama dua tahun membina anak-anak yang ingin menjadi seoraang imam," ujar Pater Yance.

Dari Ruteng, Pater Yance ditugaskan selama tiga tahun di Maumere, Kabupaten Sikka. Menjadi rektor untuk anak-anak yang ingin belajar filsafat.

"Saya bekerja selama 3 tahun kemudian pada tahun 2018 saya pindah ke Taiwan hingga sekarang," tuturnya.

Di Taiwan Pater Yance bersama kongegrasinya lebih banyak memberikan pelayanan untuk imigran. Menampung para imigran dari berbagai negara bahkan pekerja migran asal Indonesia yang bermasalah.

Dalam karya misinya yang banyak membantu orang-orang yang membutuhkan datang dari berbagai latar belakang. Pater Yance teringat saat dirinya duduk di bangku SMP, orang tuanya kesulitan membayar uang sekolah.

Ia berkisah, saat itu seorang misonaris SVD membantunya membiaya sekolah dari SMP hingga menamatkan SMA.

"Waktu saya SMP bapa saya mengalami kesulitan untuk bayar uang sekolah. Dan pada waktu itu saya meminta bantuan Pater Waser, salah satu misionaris dari Swiss yang bermisi di Manggarai. Pater Waser membiayai sekolah saya hingga tamat SMA,"kata Pater Yance.

Dari pengalaman ini, Pater Yance menyadari bahwa tugas seorang imam sangat luar biasa. Melayani orang lain dan membantu yang membutukan

"Saya terinspirasi untuk jadi seperti dia (Pater Waser SVD). Saya mengabdikan hidup saya juga melayani orang lain yang membutuhkan," ungkapnya.

Ditugaskan sejak 2018 di Taiwan, ia belajar bahasa mandarin selama 6 bulan. Dan pada 1 Juni saya diminta dari keuskupan dan ditugaskan menjadi direktur di Stella Maris Kaohsiung.

Stella Maris Kaohsiung adalah tempat penampungan PMI dan ABK yang bermasalah di Taiwan ada sekitar 700.000 migran asing. Sekitar tahung 1980-an, Taiwan mengalami proses industrialisasi  besar-besaran dan membutukan banyak tenaga kerja.

"Indonesia menjadi urutan pertama migran terbesar di Taiwan, kami melayani semua migran tanpa membedakan kewarganegaraan," terang Pater Yance.

Dia mengatakan, di Taiwan ada yang disebut sektor formal dan sektor informal untuk pekerja migran. Sektor formal itu seperi pekerja pabrik, ABK resmi (land based fisher), perawat di Panti Jompo dan lain-lain, sedangkaan sektor informal seperti pembantu rumah tangga.

"Gajinyapun sangat berbeda. Gaji sektor formal dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan Taiwan sedangkan sektor informal tidak dilindungi oleh undang-undang tenaga kerja Taiwan," kata Pater Yance.

Lanjutnya, Kongregasi Scalabrinian membangun kerja sama dengan pemerintah Taiwan dan berbagai perwakilan negara asing yang ada di Taiwan. Kongregasi Scalabrinian membangun jaringan kerja sama dengan berbagai organisasi lokal, nasional maupun internasional. Upaya ini dilakukan untuk mencari solusi dalam menangani berbagai isu ABK dan PMI yang ada di Taiwan.

“Perhari ini kami memiliki 3 orang filipina, 7 orang Indonesia dan 5 orang lagi yang sedang mengikuti sidang kasus narkoba masih dalam dampingan Stella Maris Kohsiung dengan masalahnya masing-masing, dan kami mengurus masalah tidak hanya menyelesaikan masalah gaji tapi juga masalah pelecehan seksual, human trafficikng, kecelakaan kerja, migran kaburan, dan lain-lain," pungkasnya.

Ia juga menambahkan, sekitar tahun 1996 Kongregasi Scalabrinian di Taiwan menampung sekitar 5.000 PMI yang bermasalah, mereka tinggal di rumah tersebut sampai berbulan bulan bahkan sampai bertahun tahun tergantung masalah apa yang mereka hadapi.

Berita TribunFlores.Com lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved