Renungan Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 3 September 2023, Allah Sumber Kasih dan Keselamatan

Mari simak Renungan Harian Katolik Minggu 3 September 2023.Tema renungan harian katolik yaitu Allah Sumber Kasih dan Keselamatan.

Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM /ARNOL WELIANTO
GEREJA - Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka di Kabupaten Flores Timur. Mari simak Renungan Harian Katolik Minggu 3 September 2023.Tema renungan harian katolik yaitu Allah Sumber Kasih dan Keselamatan. 

Melalui Nabi Yoel, Allah memberikan jaminan kepada mereka bahwa Dialah yang akan memegang kendali dan akan memperbaiki kesalahan umat-Nya. Dalam BKSN 2023, sembari mengenal siapakah Allah, kita akan berfokus pada “Kasih Allah”, sebab Kasih sangat identik dengan Allah sendiri.

Karena itu, dalam empat pertemuan mingguan, secara khusus kita akan membaca, mempelajari, dan merenungkan secara berurutan kasih Allah yang menggerakkan evangelisasi diri (Yun. 1:1-17), menggerakkan pertobatan (Yun. 4:1-11), menyelamatkan (Yl. 2:23-27), dan mempersatukan (Yl. 2:28-32).

Tidak menutup kemungkinan, uraian atau gagasan yang membi- carakan tema-tema dalam pertemuan mingguan ini dirasa kurang relevan dengan situasi dan kondisi aktual masyarakat di tingkat paroki maupun lingkungan di masing-masing keuskupan.

Oleh sebab itu, para fasilitator dapat secara kreatif mengembangkan uraian atau gagasan tersebut dengan menyesuaikan diri dengan konteks gereja setempat.

Meski demikian, tema-tema beserta uraiannya paling tidak dapat menjadi batu loncatan sekaligus inspirasi untuk berbagi pengalaman iman berdasarkan Sabda Allah dalam Kitab Suci.

Makna Logo BKSN 2023

Logo ini terdiri dari tiga unsur utama, yakni:

Ilustrasi orang yang mengangkat tangan dan tengadah ke atas langit adalah simbol dari sikap pertobatan dan ketakwaan. Posisi tubuhnya yang juga membentuk huruf “Y”, merupakan nama awalan dari dua nabi yang menjadi permenungan BKSN 2023, yakni Yoel dan Yunus. Sedangkan tetumbuhan yang menjalar di sekitar tubuhnya melambangkan kebaikan dan kesejahteraan Allah yang dirasakan setiap orang beriman. Semakin besar lagi itu dirasakan berkat buah-buah pertobatan yang mereka hasilkan.


Matahari yang menyinari tetumbuhan menjalar tersebut melambangkan kasih setia, kesabaran, dan keselamatan Allah yang terus mengalir tanpa henti kepada siapa pun. Kasih setia Allah yang begitu luas itu semakin dipertegas dengan kutipan Kitab Yunus: “Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yun. 4: 2).

Dua figur nabi yang menjadi fokus BKSN 2023 juga diilustrasikan dengan dua warna kontras (biru muda dan jingga), serta dua ilustrasi di bagian bawah. Ilustrasi pertama menggambarkan latar belakang perwartaan Nabi Yoel, yakni kepulangan kembali bangsa Israel ke tanah terjanji sesudah mengalami pembuangan. Ilustrasi kedua menggambarkan dua kisah populer Nabi Yunus. Pertama, saat ia berada di dalam perut ikan yang besar selama 3 hari 3 malam karena ketidaktaatannya pada Allah Kedua, ketika ia berlindung dari terik matahari di bawah naungan “pohon jarak” dengan hati kesal karena pengampunan Allah kepada orang Niniwe.
Kesatuan ketiga unsur logo tersebut secara ringkas menggambarkan: Dalam situasi apa pun dan sebesar apa pun dosa yang telah dilakukan, Allah akan tetap menyambut pertobatan umatnya, persis karena “Ia sumber kasih dan keselamatan.”

Dalam Injil Matius sebelumnya Yesus tidak berbicara tentang jalan yang harus ditempuh-Nya, yaitu penderitaan dan kematian. Dalam teks asli Injil hari ini tertulis: “Sejak waktu itu” (dalam Injil yang tadi dibacakan tertulis: “Sekali peristiwa”).

Sebenarnya Matius ingin menerangkan, bahwa Injil, Kabar Gembira, yang diwartakan Yesus juga mengandung pewartaan baru, yaitu bahwa keselamatan yang akan diberikan Yesus harus dilakukan-Nya dahulu melalui penderitaan.

“Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya, bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari phak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli, lalu dibunuh dan dibangkitkan kembali pada hari ketiga”.

Petrus tidak mau menerima apa yang dikatakan Yesus, yaitu bahwa Ia harus menderita dan mati. Dan reaksi Petrus itu Yesus melihatnya sebagai usaha setan/iblis untuk menggagalkan rencana penyelamatan umat manusia seperti direncanakan oleh Allah.

Maka Yesus menggunakan kata-kata keras dan tegas yang sama,seperti dikatakan-Nya kepada setan dalam godaan yang dialami-Nya di padang gurun: “Enyahlah,Iblis!” (Mat 4:10).

Bahkan ditambahkan: “Engkau adalah batu sandungan bagi-Ku”. Dan akhirnya Yesus menegaskan: Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus memikul salibnya dan mengikut Aku” (ay. 23-24).

Apa sebabnya Petrus tak mau menerima, bahwa Yesus harus menderita dan mati? Petrus bukan hanya mengungkapkan pendirian pribadinya saja, tetapi juga dari murid-murid lainnya.

Itulah gambaran mereka semua, yang belum mampu memahami jalan rahasia yang ditempuh Allah dalam diri Yesus dan semua murid-Nya!

Petrus dan rekan-rekannya menghadapi kenyataan pahit, yang direncanakan Allah, tetapi sungguh tak dapat diterima bila dilihat dari jalan pikiran/ logika/perhitungan manusia! Menderita sengsara, disalib, dibunuh pertanyaan dalam hati mereka ialah: Hanya itukah yang harus diterima dan dialami Yesus dari Allah?

Apakah tidak ada lainnya yang memberi harapan, daya tarik, dan pahala atau anugerah? Apakah tidak lebih baik dan realistis menyingkirkan salib dan penderitaan daripada syarat-syarat, yang begitu bertentangan dengan akal sehat? Apakah sungguh perlu?

Bukankah itu justru menimbulkan keputusasaan atau depresi dalam hati kita sebagai manusia? Ditambahkan lagi, seolah-olah ada loncatan luarbiasa, bahkan bagaikan pertentangan dengan adanya perubahan pandangan Yesus terhadap Petrus: Petrus seelumnya disebut batu wadas, sekarang disebut sebagai batu sandungan!

Ternyata Yesus menegaskan, bahwa Petrus tidak memahami sedikitpun kenyataan dan misteri rencana Allah yang ditentukan-Nya bagi dia dan bagi kita semua.Yesus menegaskan, bahwa apabila kita ingin menjadi pengikut-Nya, kita harus menyangkal diri kita, memikul salib kita dan mengikuti Dia!

Apa artinya: menyangkal diri sendiri? (ay.24). Memungkiri seseorang berarti memungkiri diri orang itu, sedangkan memungkiri diri sendiri berarti memungkiri diri sendiri sebagai pusat hidupnya sendiri. Contohnya ialah Petrus sendiri.

Ia mengakui Yesus sebagai Mesias, tetapi kemudian ketika Yesus ditangkap, Petrus menyangkal bahwa Yesus adalah sahabat dan Mesias.

Ia berkata: “Aku tidak mengenal Dia”. – Bukankah itulah artinya bagi kita juga? Maka menyangkal diri sendiri berarti tidak lagi memusatkan diri hanya kepada diri sendiri, kepentingannya sendiri sebagai pusat segenap perhatian pribadinya saja. Bukan hanya sejauh itu saja. Kita harus sungguh berani memenuhi undangan Yesus: “Ikutlah Aku!”.

Ajaran dan undangan yang ditujukan Yesus kepada keduabelas muird-Nya itu secara singkat berbunyi: “Barangsiapa mau menerima undangan-Ku untuk mengikut Aku, harus menerima Diri-Ku seperti ada-Ku ini!” Berarti termasuk mengalami penderitaan dan salib.

Corak khusus Mesias harus merupakan corak khusus segenap murid-Nya. Mereka harus menyertai dan mengikuti Dia pergi ke Yerusalem! Arti sepenuhnya memikul salib ialah memikulnya bersama Yesus. Yaitu bukan berarti hidup sendirian penuh kekhawatiran, bingung dan patah hati dalam menghadapi tantangan hidup.

Sebaliknya, justru menempuh jalan hidup ditemani dan ditanggung oleh Tuhan yang hadir menyertai kita. Yesus minta agar kita mau, rela dan berani memilih suatu hidup seperti hidup-Nya sendiri. Siapa ingin mengikuti Yesus tidak dapat menghindari penderitaan.

Jalan Allah bukanlah jalan kita! Sekarang kita dianjurkan menyesuaikan jalan hidup kita dengan jalan hidup Yesus! – Sesuai dengan nasihat Paulus, yang juga mengalaminya sendiri: “Inilah ibadahmu yang sejati.

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, mana yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:1-2).

Nabi Yeremia mengisahkan pengalaman pahit dan menyakitkan yang ia derita dalam melaksanakan pelayanannya. Pelayanan sebagai nabi bukanlah panggilan yang memberi rasa nyaman.

Yeremia bermaksud menolak tugas pelayanan ini, tetapi sabda Tuhan bernyala begitu hebat dalam hatinya. Ia tidak sanggup menahannya. Jiwanya menjadi lahan pertentangan di antara aneka kekuatan yang sulit diperdamaikan: Allah, dunia dan pencarian diri.

Bagi sang nabi tidak ada jalan selain membiarkan diri dibujuk oleh Tuhan. Sikap Yesus berbeda dari Yeremia. Bagi Yesus, penderitaan, sengsara dan kematian bukan hanya merupakan suatu skandal, tapi konsekuensi dari perutusan-Nya untuk menebus dan menyelamatkan manusia.

Yesus pergi ke Yerusalem. Di sana Ia menderita banyak dari para tua-tua dan imam kepala. Penderitaan dan kematian adalah peristiwa yang istimewa dan menentukan dalam kerangka penyelamatan dari Allah.

Yesus bukanlah mesias politis. Ia diutus untuk memberikan hidup-Nya. Tindakan tidak menyayangkan hidup dan menerima penderitaan merupakan jalan untuk membawa manusia kepada hidup.

Sabda-Nya mengarahkan kita kepada dua cara memahami hidup: cara pikir menurut daging dan cara pikir dengan mata Tuhan.

Ada orang yang menantikan keselamatan dari sukses duniawi. Mereka menata hidup menurut cara pikir dunia ini. Ada juga yang menantikan keselamatan dengan memercayakan diri pada Tuhan.

Ia hidup dalam kesetiaan kepada sabda dan panggilan Tuhan, walaupun dari sudut pandang manusia ia kehilangan hidupnya dan mengalami kegagalan.

Kedua mentalitas ini dapat hidup bersama dalam hati orang yang sama. Petrus mengakui Yesus sebagai Mesias dan Putera Allah, tetapi tidak lama kemudian ia malah disebut sebagai ibilis.

Ia berusaha menjauhkan Yesus dari perutusan-Nya dan dari kehendak Allah. Petrus siap berkoalisi dengan Yesus yang jaya, tetapi tidak mau menerima resiko dalam panggilan-Nya.

Dengan kemalasan atau minimnya niat untuk bertobat, kita menentang perkataan Yesus dan membuatnya sebatas slogan tanpa arti. Kadang sebagai pribadi atau komunitas, kita bersikap kompromi antara cara pikir manusia dan jalan Tuhan.

Kita merayakan Ekaristi, tapi tidak masuk dalam kesatuan dengan Kristus dan sesama. Kita mungkin rajin mengaku dosa, namun tidak bertobat. Kita hanya menerima sebagian dari kekristenan kita. Mengikuti Yesus tak boleh dengan sikap suam-suam kuku atau setengah hati.

Tuntutan menjadi pengikut Kristus bukanlah hal sederhana. Iman merupakan perkara yang serius. Kiranya kita semakin teguh mengikuti Dia dengan menyadari segala resiko yang ada di dalam panggilan menjadi pengikut Kristus.

Minggu pekan ke-XXII ini kembali kita mendengarkan dan mencari apa yang menjadi kehendak Tuhan untuk dapat kita lakukan dalam perjalanan hidup kita lewat bacaan injil Matius 16:21-27. “Pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikuti Dia”.

Setia kepada komitmen dan pilihan hidup walaupun menghadapi berbagai rintangan dan pencobaan. Berusaha menerima semua dengan konsekuensi dan tidak menghindari atau lari dari kenyataan.

Hal ini merupakan bentuk kongrit melaksanakan ajakan Yesus untuk mengikut Dia. Yesus sendiri telah menjalani konsekuensi sebagai Anak Allah yang dipilih untuk menyelamatkan manusia.

Penderitaan, sengsara dan kematian merupakan konsekuensi pewartaan-Nya. Petrus yang merupakan perwakilan dari para murid yang sebelumnya menyatakan Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, tidak mampu menerima konsekuensi yang akan dialami Yesus, sehingga Yesus menegurnya dan menekankan bahwa : “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku”.

Saudari/saudara terkasih, konsekuensi kemuridan adalah Salib. Menjadi murid Yesus berarti mengikut Dia dan meneladani-Nya sebagaimana para rasul yang dipanggil untuk mengalami konsekuensi untuk dapat berjalan bersama Yesus.

Kita semua yang menamai diri sebagai murid Kristus, siap sedia mengabaikan kehendak diri, meninggalkan keinginan pribadi dan mengutamakan kebahagiaan dan keselamatan jiwa, mau dan berusaha menerima konsekuensi untuk melaksanakan ajakan Yesus untuk mengikuti Dia.

Misalnya, setia pada pasangan hidup, menekuni profesi tertentu sebagai pilihan hidup, menyelesaikan tugas karya pelayanan. Setia menjalani panggilan khusus menjadi imam, bruder, suster dan frater dan semua bentuk panggilan hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.

Orang yang menamai diri sebagai pengikut Kristus tidak hanya sekedar mengaku sudah mengikut Kristus, namun harus setia dan bersedia menerima konsekuensinya.

Injil Minggu Biasa XXII tahun A ini (Mat 16:21-27) berbeda nadanya dengan petikan yang dibacakan Minggu sebelumnya (Mat 16:13-20).

Kali ini Yesus menyampaikan pemberitahuan yang pertama mengenai penderitaan, kematian, dan kebangkitannya.

Lho lha kok sekarang bicara begitu? Baru saja (Mat 16:16) Petrus menyatakannya sebagai “Mesias, anak Allah yang hidup”.

Tentunya ia tokoh yang luar biasa. Tentu saja Petrus tak habis mengerti. Dengan spontan ia menegur Yesus agar tidak berpikir aneh-aneh.

Tapi ia malah balik dibentak. Yesus yang tadinya menyebut Petrus berbahagia kini meng-iblis-iblis-kannya! Malah Petrus disebut-sebut sebagai batu sandungan segala.

Beberapa saat sebelumnya Yesus menyebutnya sebagai batu karang yang di atasnya akan dibangun umatnya dan alam maut tidak akan menguasainya!

Selanjutnya dalam ayat 21-27 Yesus malah menandaskan, siapa yang mau mengikutinya harus menyangkal diri terlebih dulu, lalu memikul salib, dan setelah itu baru bisa disebut menjadi pengikutnya.

Barangsiapa kehilangan nyawa karena dia akan memperolehnya, katanya pula. Ke mana Yesus hendak membawa kita? Apa maksud Injil menampilkan semua ini?

Petrus yang mewakili para murid baru saja mengakui Yesus sebagai Yang Terurapi, Mesias, yakni dia yang ditugasi oleh Yang Mahakuasa untuk memimpin umat-Nya.

Dialah yang kehadirannya diharapkan banyak orang. Dan memang mereka mulai menyadari Yesus sebagai tokoh istimewa.

Mereka menyaksikan pelbagai pengusiran roh jahat, macam-macam penyembuhan, serta pengajarannya yang memerdekakan batin.

Namun Injil ingin menumbuhkan kesadaran yang lebih utuh akan siapa Yesus itu, bukan hanya lewat tindakan-tindakannya saja.

Menurut Mat 16:17 bukanlah manusia melainkan Bapa di surga yang menyatakan kepada Petrus siapa Yesus itu sesungguhnya: Mesias, anak Allah yang hidup.

Kemesiasannya tidak pertama-tama berasal dari kesan hebat yang ada di mata orang, tetapi karena Allah sendiri berkenan kepadanya.

Perkenan ilahi ini terungkap pada peristiwa pembaptisan Yesus (Mat 3:17 Mrk 1:11 Luk 3:22) dan ditegaskan kembali dalam penampakan kemuliaan Yesus di gunung (Mat 17:5 Mrk 9:7 Luk 9:35). Di situ juga terdengar suara dari langit yang menghimbau orang agar mendengarkan dia.

Mendengarkan dia juga berarti mulai mengenal siapa Allah Yang Mahakuasa yang mengutusnya, yakni Dia yang bisa diseru sebagai Bapa.

Lebih lanjut, siapa yang mau mendengarkannya dengan sungguh akan dapat memahami peristiwa yang nanti terjadi pada diri sang Mesias ini, yakni ditolak para pemimpin agama, dibunuh, tetapi dibangkitkan pada hari ketiga.

Semua itu terjadi sebagai akibat keteguhannya pada perutusannya tadi. Ia nanti dituduh menghujat oleh lembaga agama Yahudi karena tidak menyangkal kemesiasannya yang sejati; lihat Mrk 14:61-64 Mat 26:63-66.

Rangkaian kejadian ini memang sulit diterima. Pemberitahuan mengenai penolakan, kematian dan kebangkitan tadi disampaikan hingga tiga kali dan tiap kali para murid dikatakan tidak memahami pernyataan tadi. (Pemberitahuan pertama: Mrk 8:31-9:1 // Mat 16:21-27 // Luk 9:22-26; kedua: Mrk 9:30 // Mat 17:22-23 // Luk 9:33-45; ketiga: Mrk 10:32-34 // Mat 20:17-19 // Luk 18:31-34.) Memang demikianlah kenyataannya. Satu-satunya cara untuk mengerti ialah mendengarkannya.

Menarik bila diingat bahwa setelah pemberitaan yang pertama, ketiga Injil langsung memberitakan penampakan kemuliaan di gunung.

Lebih menarik lagi, kedua peristiwa yang berurutan ini disampaikan langsung setelah pengakuan Petrus mengenai kemesiasan Yesus.

Urutan ketiga peristiwa tadi (pengakuan Petrus pemberitahuan pertama kesengsaraan – penampakan kemuliaan) termasuk warta Injil juga.

Ringkasnya, kemesiasan Yesus itu tidak menyangkal penderitaan. Ia justru menghayatinya sebagai jalan ke arah kebesarannya. Inilah pokok yang paling dalam dan sekaligus paling sulit diterima para murid Yesus. Hanya bisa dipahami dengan mempercayainya.

Berupaya menerima kenyataan ini menjadi bentuk nyata mengimaninya. Dengan demikian orang belajar mengakui ketergantungan pada Yang Mahakuasa.

Tidak mempertahankan apa-apa, bahkan nyawa sendiri, maksudnya diri sendiri termasuk pendapat, anggapan, serta kemauan sendiri. Yesus menghayatinya hingga akhir. Karena itu ia juga dibangkitkan.

Dengan penuh spontanitas Petrus bermaksud mencegah agar Yesus tidak berjalan ke arah penolakan dan kematian tadi. Ia menegur Yesus dengan keras. Reaksi Yesus juga keras, bahkan lebih. Petrus malah didampratnya sebagai “Iblis”.

Pembaca akan ingat pada peristiwa Yesus menghadapi godaan di padang gurun. Satu saat penggoda memperlihatkan seluruh kerajaan dunia dengan seluruh kemegahannya dan menawarkannya kepada Yesus asal ia mau bersujud kepadanya.

Reaksi Yesus ketika itu (Mat 4:10) sama dengan yang kini diarahkan kepada Petrus: menghardik penggoda yang disebutnya “Iblis” dan mengusirnya pergi.

Ditambahkannya kutipan ayat suci yang tegas-tegas mewajibkan orang menyembah hanya pada Tuhan Allah dan kepadaNya sajalah berbakti.

Inilah yang dipegang Yesus di padang gurun. Terhadap Petrus kini Yesus berkata bahwa ia menjadi batu sandungan baginya.

Maksud baiknya malah akan menjauhkan Yesus dari jalan kemesiasannya. Hal yang tadi tak berhasil dilakukan penggoda kini hendak diusahakan oleh Petrus.

Bentakan Yesus dalam 16:23 maupun dalam 4:10 memang dapat dialihbahasakan sebagai “Enyahlah, Iblis!”. Namun ada perbedaan kecil yang mengandung arti bila teks aslinya diterjemahkan secara harfiah.

Dalam 16:23 sebetulnya tidak hanya dikatakan kepada Petrus, “Pergi sana, Iblis!” seperti dalam 4:10, tetapi “Pergi sana kebelakangku Iblis!” Dalam konteks pengusiran, ungkapan “kebelakangku” jelas berarti “mundur pergi dariku”, maksudnya menjauh, tidak lagi menghalang-halangi.

Tetapi bila ungkapan “kebelakangku” tadi dibaca seolah-olah didahului dan diikuti tanda koma, akan tampil juga perintah agar pindah ke belakang.

Jadi dalam hardikan menyuruh enyah tadi tersirat juga perintah agar Petrus tahu tempatnya yang sebenarnya, yakni di belakang Yesus, sebagai pengikutnya, dan bukan sebagai yang mau mengarah-arahkan dia yang baru saja diakuinya sebagai Mesias, anak Allah yang hidup tadi. Ada ajaran untuk tidak berusaha mengambilalih kepemimpinan.

Bila diucapkan dengan suara lantang, pembaca teks asli atau terjemahan harfiah bisa menampilkan makna yang satu atau makna yang lain, bergantung apa berhenti sejenak pada awal dan akhir ungkapan “ke belakangku” tadi.

Tanpa jeda, bentakan Yesus kepada Petrus tadi menjadi dampratan keras yang sama rasanya dengan yang diarahkan pada penggoda di padang gurun.

Bila diadakan jeda, memang hardikannya masih keras bunyinya, namun nadanya seperti seorang guru bijak yang mengingatkan muridnya agar menaruh diri pada tempat yang semestinya, yakni di belakang, mengikuti dan tidak menjadi penghalang, apalagi mengambilalih perannya.

Pembaca Injil pada zaman itu melihat betapa para murid pertama mengalami kesulitan menerima kenyataan salib dan prospek kebangkitan.

Para murid dari generasi kedua dan selanjutnya sudah hidup dalam iman akan salib dan kebangkitan. Mereka sudah mengerti alasan pemberitahuan kesengsaraan tadi.

Bagi mereka, makna kedua yang terdapat dalam teguran balasan tadi (yang timbul bila dibuat jeda sebelum dan sesudah “ke belakangku”) memuat saran tersirat agar pemimpin umat tetap berada di belakang Yesus dan tidak berusaha merebut kedudukannya! Saran ini boleh jadi masih berarti pada zaman ini juga.

Uraian di atas dapat membantu menjelaskan mengapa setelah mendamprat Petrus dengan cara tadi Yesus menambahkan serangkai tuntutan keras.

Siapa yang mau mengikutinya, yakni yang mau berjalan di belakang dan tidak menaruh diri di muka atau menghalangi derap langkahnya itu harus berani juga menyangkal diri.

Yang dimaksud dengan menyangkal diri di sini ialah menanggalkan praanggapan-pranggapan sendiri mengenai Yesus. Bukan tuntutan bermatiraga keras. Penyangkalan diri yang diminta Yesus berbeda.

Orang diminta tidak lagi memegang pendapat dan keyakinan yang tidak cocok mengenai siapa Yesus itu, dan baru demikian dapat dengan tulus mengakui dia sebagaimana adanya. Dan penyangkalan diri ini ialah jalan berbagi salib dengannya dan mengimaninya.

Bisa berat bila sikap keagamaan yang dipegang sudah membeku dan tidak berkembang, tidak lagi bisa menerima kenyataan iman, dan hanya bisa mempercayai pikiran-pikiran sendiri.

Dalam hubungan itulah dibicarakan tentang “kehilangan nyawa karena aku akan memperolehnya”. Menanggalkan pikiran sendiri dan meluangkan diri bagi dia yang hidup dalam iman kita.

Ayat 26 memuat pertanyaam retorik, “Apa gunanya memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya!” Gagasan dalam kalimat ini perlu dihubungkan dengan peristiwa godaan di padang gurun ketika Iblis menunjukkan kebesaran dunia (Mat 4:9). Yesus menolaknya dengan berpegang pada ayat Kitab Suci bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah.

Kini kepada murid-muridnya dijelaskannya mengapa seluruh dunia tidak sepadan dengan kehidupan sejati yang perlu dijaga sampai akhir zaman. Mereka yang menjalani pilihan tadi akan mendapati diri berjalan bersama Yesus sendiri.

Doa Penutup

Allah Bapa yang kekal dan kuasa, seluruh dunia dan segala yang baik adalah milik-Mu, berasal dari pada-Mu.

Tanamkanlah dalam hati kami cinta kasih akan nama-Mu dan pupuklah yang baik, yang tumbuh dalam diri kami. Peliharalah semangat ibadah kami dan teguhkanlah dengan kasih setia-Mu.

Dengan pengantaraan Tuhan kami, Yesus Kristus, Putra-Mu, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam persatuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa. Amin. (sumber https://renungankatolik.id/).

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved