LBH APIK

LBH APIK NTT Gugah UU TPKS Diterapkan Menjerat Predator Seksual

LBH APIK NTT mendorong agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah diundangkan pada 9 Maei 2022 diimplementasikan menjerat predator seksual.

Editor: Egy Moa
POS-KUPANG.COM/NOVEMY LEO
Direktris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara dan staf menjelaskan catatan akhir tahun LBH APIK NTT kepada wartawan di Kupang, Senin 22 Januari 2024. 

Persentasi kasus kekerasan seksual mencapai 27.persen dari total kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT. Selain kasus KS, kasus perceraian juga marak ditangani oleh LBH APIK NTT, angkanya mencapai 20 persen dari total kasus yang ditangani. 

Kasus lain yang mendominasi adalah kasus KDRT 15 persem dari total kasus yang ditangani, kasus KGBO 7 persen, dan kasus Ingkar Janji Menikah 6 persen.

Dari segi kuantitas, kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ditangani pada tahun 2022. 

Data memperlihatkan, Tahun 2022, LBH APIK NTT menangani 118 kasus. Ini menurun pada tahun 2023 menjadi 73 kasus.  Pada kasus KS, korban masih didominasi oleh anak, di mana dari total  19 kasus KS, 16 kasus 86 persen korban adalah anak-anak.

Baca juga: Jadwal dan Kapal Ferry yang Beroperasi Sabtu 20 Januari 2024 di NTT

Pada penerapan pasal, sebagaimana data dari Polda NTT, kasus KS masih belum sepenuhnya menggunakan pasal dalam UU TPKS. Tercatat 1 kasus yang menggunakan UU TPKS, yakni kasus pelecehan seksual. Ansi menilai, tidak digunakannya UU TPKS pada kasus kekerasan seksual disebabkan oleh kepolisian masih menunggu petunjuk lebih lanjut dalam penerapan pasal UU TPKS. 

"Kondisi ini membuat penerapan UU TPKS belum dapat berjalan dengan maksimal. Selain penggunaan pasal dalam UU TPKS, hukum acara yang diatur dalam UU TPKS belum sepenuhnya dipergunakan oleh APH pada kasus-kasus KS yang deliknya diatur pada UU yang lain," jelas Ansi. 

Jika merujuk pada pasal 2 ayat (2) UU TPKS yang mengadopsi konsep listing dan menjangkau UU lain yang memuat KS (blanco strafbepaling), maka UU TPKS ini berlaku secara lex specialis systematis. Artinya secara sistematis semua kasus KS, mekanisme acaranya akan merujuk pada hukum acara dalam UU TPKS.

Jadi, apakah UU TPKS masih dibutuhkan? Pasti. "Problemanya bukan pada UU TPKS ini, tetapi kemauan baik dan kapasitas APH dalam menggunakan UU TPKS ini. Semoga kita terhindar dari berbagai bahaya KS," harap Ansi.

Baca juga: Kondisi Terkini Jalan Provinsi NTT Bealaing-Mukun-Mbazang di Manggarai Timur Mulai Rusak

Lebih lanjut Ansi mengatakan, dalam upaya meningkatkan efektivitas Layanan LBH APIK NTT di wilayah dampingannya, perlu dilakukan penguatan peran paralegal sebagai perpanjangan LBH APIK NTT.

Hal ini dapat dicapai dengan memperkuat system pelaporan yang melibatkan peran aktif para paralegal. Diperlukan peningkatan kapasitas paralegal dalam menghimpun informasi dan memberikan pendampingan hukum kepada masyarakat.

"Selain itu, perlu diupayakan kebijakan yang bersifat pro gender dan pro minoritas melalui kajian-kajian mendalam. Para paralegal dapat berperan aktif dalam melakukan analisis dan riset terkait isu-isu hukum yang berkaitan dengan gender dan minoritas," ungkapnya.

Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari kajian-kajian ini dapat menjadi landasan untuk advokasi perubahan kebijakan yang lebih inklusif.

Baca juga: Eksotisnya Bukit Tuamese, Pesona "Raja Ampat" di Pulau Timor NTT

Dengan memperkuat peran paralegal, LBH APIK NTT dapat lebih efektif menjangkau dan memberikan bantuan hukum kepada kelompok-kelompok yang rentan. 

"Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan mendukung hak-hak semua individu, terutama yang berasal dari kelompok rentan, dan minoritas," kata Ansi. *

sumber:pos-kupang.com

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved