Pangan Lokal
Jagung Gagal Panen, Sorgum Dua Kali Panen, Maria Loretha: Pemda Masih Juga Belum Sadar
Penggiat sorgum, Maria Loretha bersama dua orang mahasiswa dari Kupang melakukan panen sorgum di kebun.
Penulis: Paul Kabelen | Editor: Ricko Wawo
Laporan Reporter Tribun Flores.Com, Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Penggiat sorgum, Maria Loretha bersama dua orang mahasiswa dari Kupang melakukan panen sorgum di kebun Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka (Yaspensel) di Kota Lewoleba, Jumat, 3 Mei 2024.
Di hamparan kebun seluas hampir satu hektare itu, tanaman sorgum yang sangat adaptif dengan model pertanian lahan kering, tumbuh subur dan siap dikonsumsi.
Panen sorgum di kebun tersebut seolah oase di tengah fenomena gagal panen jagung yang banyak ditanam petani di Lembata.
Dari data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lembata, kerusakan tanaman jagung akibat kekeringan musim tanam 2023/2024 per 20 Februari 2024 cukup signifikan.
Baca juga: Pangan Lokal Punah, Warga Posiwatu Lembata Beli Beras Rp 40 Juta Sebulan
Luas kerusakan tanam jagung sebanyak 2704,45 hektare dari total 3673,72 hektare luas tanam yang ada di Kabupaten Lembata. Kerusakan tanaman jagung ini berdampak pada 7932 jumlah kepala keluarga tani (KKT) dengan total jumlah tanggungan dalam keluarga 24.523 orang.
Di lain pihak, tanaman sorgum justru tumbuh subur di lahan kering yang rendah hujan. Sorgum menurut Maria Loretha seharusnya menjadi pilihan rasional di tengah fenomena gagal panen jagung yang mempengaruhi pola konsumsi warga.
"Ini kebun sorgum untuk kebutuhan benih dan makanan. Pemda tidak peduli dan tidak punya minat dengan tanaman ini," ujar Maria Loretha, Jumat, 3 Mei 2024.
Menurut dia, pemerintah daerah tidak paham dengan situasi alam yang terus berubah. Ada gelombang panas, El Nino dan La Nina yang sebabkan petani gagal tanam dan gagal panen.
"Padahal sorgum ini sudah tahan banting dengan situasi alam," tambahnya.
Maria Loretha, penggerak pangan lokal di NTT ini juga menyebutkan, pangan lokal yang pernah berjaya di masa lalu sebenarnya merupakan fondasi orang Lamaholot (Flotim dan Lembata) bisa tumbuh dan berkembang.
“Manusia Lamaholot itu bisa tumbuh dan berkembang karena makanan yang ada di desa atau kampung kita masing-masing,” kata Maria.
Dia sadar kalau perjuangan menjaga eksistensi pangan lokal di tengah masyarakat itu tidak selalu mudah. Masyarakat dengan tahu dan mau melupakan kejayaan pangan lokal termasuk sorgum yang dulu selalu ada di meja makan.
“Mendapatkan pangan lokal sekarang itu tidak mudah karena derasnya distribusi makanan atau produk pangan dari luar yang membuat orang malas untuk mengolah makanan lokal mereka,” imbuhnya.
Benediktus Kia Assan, peneliti pangan lokal di Lembata, menjelaskan, dalam konteks yang lebih jauh, pemerintah daerah sendiri selama ini belum mempunyai perspektif yang baik perihal pentingnya mengembalikan kejayaan pangan lokal di tengah masyarakat.
Menurut dia, pemerintah masih selalu berbicara tentang beras yang diimpor dari luar untuk memenuhi kebutuhan makan masyarakat di tengah situasi perubahan iklim dan gejolak perang Rusia-Ukraina. Padahal beragam pangan tradisional di NTT dan di Lembata khususnya sudah memiliki daya tahan yang baik terhadap kekeringan.
“Ketergantungan pada beras dan pangan dari luar pulau melemahkan daya tahan masyarakat berhadapan dengan perubahan iklim dan juga memperburuk kesehatan,” kata Benediktus.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.