Penganiayaan Jurnalis di Manggarai

Pemimpin Redaksi Floresa Ceritakan Kronologi Dianiaya Aparat di Poco Leok, Manggarai NTT

Kejadian ini dianggap sebagai ancaman serius terhadap kebebasan jurnalistik, terutama dalam konteks peliputan isu-isu publik yang krusial.

Penulis: Albert Aquinaldo | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/TANGKAPAN LAYAR
AKSI MASSA - Sejumlah elemen masyarakat mengecam keras aksi bentrok antara masyarakat dan aparat keamanan yang terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada Rabu, 2 Oktober 2024. 

Kepada mereka, saya mengulangi penjelasan saya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa saya adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.

“Silakan kalian memeriksa web Floresa, di situ ada foto saya dan status saya. Bandingkan muka saya dengan foto itu apakah ada perbedaan atau tidak,” kata saya.

Saya juga berkata, “ID card hanya salah satu item yang bisa menunjukkan identitas saya. Masih ada item lain yang bisa dipakai untuk menunjukkan identitas.”

Tanpa menghiraukan penjelasan itu, mereka terus-terusan menuntut saya menunjukkan kartu pers dan mulai memukul saya, sambil menggiring saya ke samping mobil milik TNI. 

Di samping mobil itu, sambil seorang aparat tetap “mengunci” lehersaya, beberapa lainnya mulai mencekik, meninju muka dan kepala saya, menarik tas saya hingga salah satu talinya terputus, dan menendang beberapa bagian tubuh, termasuk kaki.

Aksi itu dilakukan beberapa aparat, wartawan berinisial TJ, serta anggota polisi intel yang juga menyebut dirinya sebagai “anak media.”

Wartawan yang ikut memukul saya sebelumnya pernah terlibat konfrontasi dengan salah satu jurnalis Floresa dan seorang kuasa hukum warga adat Poco Leok di Polres Manggarai. 

Konfrontasi itu terjadi pada tahun lalu usai tujuh orang warga adat Poco Leok diperiksa karena menolak proyek geotermal. 

Mendapat pukulan bertubi-tubi itu, saya berteriak-teriak. Beberapa warga Poco Leok mendekat ke lokasi pemukulan itu dan merekam aksi aparat dan wartawan itu dengan kamera ponsel.

Beberapa warga merekam aksi pemukulan itu di balik semak-semak, sebelum ketahuan aparat keamanan yang lalu mengejar dan melarang mereka mendokumentasikan pemukulan itu.

Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka.  

Mereka mengklaim “potretan saya merupakan bagian dari upaya memprovokasi warga.” 

Mereka menuding saya sebagai “anak buah Pater Simon dan provokator.” Pater Simon merujuk pada Pater Simon Suban Tukan, SVD, direktur JPIC-SVD, lembaga milik Gereja Katolik yang selama ini mendampingi warga Poco Leok.

Mereka juga mengklaim bahwa “kalau mau mengambil gambar, harus minta izin kepada kami.” 

Mereka juga menuding “Floresa selalu membuat berita miring tentang proyek geotermal.” 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved