Lipsus Tribun Flores

Perjuangan Warga Palue di NTT, Suling Uap Panas Bumi Gunung Rokatenda Dapatkan Air Minum Bersih

Penulis: Gordy Donovan
Editor: Gordy Donovan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

AMBIL AIR - Warga Desa Kesokoja, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, NTT pulang ke rumah usai mengambil air minum dari uap panas bumi Gunung Api Rokatenda di Bukit Nuakaju atau Bukit Salib di Pulau Palue, Maret 2023.

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Cuaca siang itu cukup cerah. Suhu udara menyengat kulit. Sejumlah warga terlihat sibuk dengan aktifitas mereka. Ada yang menenun, ada yang gulung benang ada juga sedang asyik bercerita di rumah mereka masing-masing.

Tak jauh dari jalan rabat beton di tengah kampung, tampak berjejer ratusan lebih batang bambu kering. Panjang bambu sekitar 4-6 meter, penuh pada sebuah lembah di belakang rumah mereka.

Tampak juga sejumlah bambu kering berukuran 1-2 meter ditancap dalam tanah pada lubang yang kecil dengan kedalaman sekitar 40-50 Centi Meter.

Pemandangan itu terlihat jelas di Kampung Poa, Desa Rokirole, Pulau Palue, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: Penyulingan Air Minum dari Uap Panas Bumi Rokatenda, Kearifan Lokal Kebanggaan Warga Palue di NTT

 

Bambu-bambu kering yang terlihat di belakang rumah warga itu bukan dipajang sebagai hiasan. Tapi, sebagai wadah untuk bisa menyuling uap panas bumi yang bisa menghasilkan air minum layak konsumsi.

Bambu berukuran 1-2 meter yang sudah ditancap dalam lubang itu disambung dengan bambu lainnya dengan ukuran sekitar 4-6 meter menggunakan serat dari hutan agar tidak bocor ketika proses penyulingan berlangsung.

Agar airnya bisa mengalir lancar meskipun setetes demi setetes, Bambu mesti dipasang menurun atau lebih rendah dari ujung bambu yang ditancap dalam tanah.

Dibagian ujung bambu tempat air keluar, terdapat sebuah tempat untuk menyimpan wadah seperti jeriken, ember atapun gentong.

AIR MINUM BERSIH - Air minum bersih dari uap panas bumi Gunung Rokatenda, Palue, Sikka, NTT, Maret 2023.

Tempat itu dibuat sedemikian rupa dan menggunakan kunci sehingga menghindari orang ambil air sembarang. Selain itu, agar kotoran tidak masuk ke dalam penampungan air.

Sudah menjadi hal biasa, pagi, sore bahkan siang hari sejumlah warga mulai menuruni lembah berbatuan.

Di tangan mereka tampak jeriken kosong berukuran 5 liter untuk mengambil air yang sudah ditampung sejak pagi ataupun siang harinya.

Mereka mulai mencari tempat penyulingan masing-masing untuk mengambil air untuk keperluan rumah tangga.

Penyulingan air minum dari uap panas bumi Rokatenda merupakan kearifan lokal kebanggaan warga Palue.

Pasalnya, kekurangan sumber air bersih tak lantas membuat warga menyerah dengan keadaan.

Warga Palue harus kreatif bertahan dengan mengkonsumsi air dari penyuligan uap panas bumi akibat aktivitas gunung api Rokatenda yang masih aktif hingga saat ini.

Bagi mereka air inilah sumber air terbaik di pulau itu selain air hujan. Hampir di setiap rumah tampak sejumlah bak berukuran besar untuk menampung air hujan.

AMBIL AIR - Warga Kampung Poa saat mengambil air di Lembah belakang rumah warga, Desa Rokirole, Kecamatan Palue, Sikka, NTT, Maret 2023.

Topografi pegunungan dengan gunung api Rokatenda sebagai puncak tertinggi di pulau ini membuat pulau ini memiliki keunikan tersendiri dalam bentang alamnya.

Rupanya bentang alam yang demikian berpengaruh pada kehidupan warganya terutama sumber air bersihnya.

Menurut warga, keadaan itu sudah berlangsung ratusan tahun sejak nenek moyang mereka mendiami Pulau itu.

Uniknya, untuk mendapatkan air warga menggali tanah berbatu ini yang cukup keras sampai muncul uap panas yang cukup.

Setelah itu mereka akan menancap bambu utama terlebih dahulu dan menunggu seminggu agar uap panas ini bisa digunakan untuk dijadikan air bersih.

Menurut warga mereka mewariskan itu karena memang sumber mata air tawar untuk satu Pulau gunung itu.

Warga Kampung Poa, Konsolata Lanu (53) yang saat itu sedang menenun terlihat tergesa-gesa menuju lembah di belakang rumahnya.

Konsolata berjalan cepat menuju tempat penyulingan air.

"Sudah penuh itu saya bisa lihat dari sini rumah, ini sudah bisa ambil. Kami tampung dari malam hari, pagi hari bisa ambil, kalau uap panas buminya banyak begitu juga airnya pasti banyak, karena ini dari uap Rokatenda, gunung ini masih aktif sampai sekarang. Kita bisa lihat dari sini lumayan dekat,"kata Konsolata sambil tangannya menunjukkan ke arah Gunung Rokatenda, saat dijumpai TRIBUNFLORES.COM, Senin 6 Maret 2023.

Ia mengaku tradisi penyulingan uap panas bumi untuk mendapatkan air minum bersih merupakan warisan sejak dulu kala.

Karena nenek moyang dulu sangat kreatif dan tidak mudah menyerah untuk bisa bertahan hidup.

Proses penyulingan uap air panas ini akan diwariskan sampai kapanpun, kecuali kalau tidak ada lagi uap panas bumi dari gunung Rokatenda ini.

MENENUN - Warga Rokirole sedang menenun di Pulau Palue, Sikka, NTT, Maret 2023.

"Kami sejak kecil dan bahkan kami belum lahir sudah ada. Kami air susah. Kami dulu pakai air pisang, nenek-nenek dulu pakai air itu. Karena memang susah air waktu itu. Air pada pohon besar. Kami lahir itu sudah ada air, begini. Yang jelas kami punya cerita tersendiri,"ujarnya.

Kata dia sebagian warga Palue itu pekerjaannya adalah menenun. Sehingga banyak warga di Kampung Poa menenun dibelakang rumah sambil melihat air yang sudah ditadah dengan jerigen berukuran besar. Jika sudah penuh maka cepat-cepat menggantinya dengan wadah yang lain.

"Tidak ada mata air tawar disini, kita andalkan air penyulingan ini dengan air hujan,"ujar dia.

Warga lainnya, Maria Tomi (42) mengaku jika musim hujan warga juga bisa menikmati air hujan dan jika musim kemarau akan sepenuh tergantung pada air penyulingan uap panas bumi.

"Pokoknya begitu sudah yang terjadi, warisan nenek dulu yang kami jaga sampai saat ini. Kalau kami tidak mau jaga, siapa lagi dan ini tugas kami sebagai anak cucu, daripada kami susah,"ujarnya.

Ia berharap uap panas bumi gunung Rokenda terus mengepul sehingga warga bisa memperoleh air minum untuk keperluan sehari-hari.

Ia mengatakan setiap rumah di Desa Rokirole memiliki bak penampung air hujan. Jika musim hujan mereka bisa menggunakan air untuk keperluan cuci dan mandi sedangkan untuk minum mereka tetap menggunakan air penyulingan.

Baca juga: Cerita Mama-mama di Sikka, Gotong-royong Buat Sarung Tenun Ikat Agar Asap Dapur Tetap Mengepul

Berkah Bukit Kesokoja

Pemandangan serupa terjadi di Bukit Nuakaju, Desa Kesokoja, Pulau Palue.

Warga setempat menamai Nuakaju sebagai bukit Salib, karena terdapat sebuah salib besar tertanam mengarah ke laut Flores.

Sepertinya, salib ini yang menjadi simbol keselamatan bukit ini juga sebagai penyelamat orang Kesokoja.
Bagaimana tidak, di bukit inilah warga memperoleh air minum bersih untuk kelangsungan hidup mereka.

Bagi mereka, Rokantenda dan Bukit Salib adalah berkah yang disyukuri tiada akhir.

AMBIL AIR - Oma Lengu saat mengambil air dari uap panas bumi Rokatenda di Palue, Maret

Puncak gunung Rokatenda yang masih kelihatan, setiap pagi dan sore hari bahkan siang hari mereka menuju perbukitan batu untuk mengambil air uap panas bumi.

Di bukit ini juga terbentang bambu-bambu panjang empat sampai enam meter untuk menyuling uap panas bumi.

Membutuhkan waktu kurang lebih semalam untuk dapat menampung air di jeriken dua puluh sampai tiga puluh lima liter.

Pada pagi harinya warga akan mengambil air dan menggantinya dengan jerigen baru yang nanti akan diambil nanti pada sore hari.

Bagi warga Kesokoja, mereka selalu memnggunakan air uap panas bumi ini sebagai air minum utama walaupun pada musim hujan, karena tidak berasa dan jernih.

Warga Kesokoja, Angelinus Igo (55) mengaku ia mempunyai tempat penyulingan di kawasan bukit Salib. Setiap pagi, siang ataupun sore ia bersama anak-anaknya datang mengambil air untuk dibawa pulang ke rumah.

"Kalau kami laki-laki biasanya supaya tidak susah, kami langsung mandi disini. Nanti bawa ke rumah untuk masak dan minum juga keperluan di WC,"ujarnya.

Kata dia, air penyulingan uap panas bumi Rokatenda tidak berasa dan airnya bisa langsung diminum.

"Kami biasa langsung minum tidak perlu masak dan bisa putar langsung kopi dan teh disini, rebus ubi juga,"ujarnya meyakinkan.

Bangga Punya Rokatenda

Warga lainnya Frans Pajo (25) mengaku bangga dengan potensi alam yang menjanjikan itu.

Bagi Frans, hal itu harus disyukuri karena Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kemudahan kepada mereka sehingga bisa mendapatkan air minum bersih.

GUNUNG API -Tampak gunung berapi Rokatenda di Pulau Palue, SIkka, NTT, Maret 2023.

"Kami sangat bangga dengan potensi daerah kami, apalagi di Bukit Salib atau Nua Kaju ini. View ke Pantai Utara FLores sangat indah, sambil ambil air kami bisa berwisata lokal di tempat ini, kebetulan ini diketinggian sehingga bisa melihat langsung kampung-kampung lainnya di Pulau Palue ini,"ujar Frans sambil mengabadikan momen arah pantai Flores.

Frans saat itu datang mengambil air dan kebetulan saat itu air dalam wadah penyimpanannya penuh, Frans langsung mandi disitu.

"Kami biasanya kalau sudah sore mandi langsung disini, dari pada bawa lagi ke rumah baru mandi, lebih baik mandi memang disini. Ke rumah nanti hanya bawa air untuk masak dan minum,"ujarnya.

Kata Frans, bagi warga walaupun musim hujan mereka tetap mengambil air di sumr air panas bumi ini karena dinilai lebih bersih dan tidak berasa di bandingkan air hujan.

"Kami sangat-sangat bersyukur atas anugerah ini, karena bagaimanapun juga di tempat lain air sangat susah, tapi kami masih bisa nikmati air dari uap panas bumi Rokatenda. Kalau di Desa Kesokoja ada dua tempat penyulingan, pertama di Nua Kaju atau Bukit Salib dan kedua di Kampung Natakune,"ujarnya.

Andalkan Air Hujan

Sementara itu, warga Desa Lidi di Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka hingga belum ada menikmati listrik PLN.

Warga Warulo'o Desa Lidi, Petrus Penge (77) mengatakan sejak lama mereka merindukan penerangan listrik PLN.

"Listrik belum ada. Kami pakai PLTS bantuan dari Kementerian ESDM, " ujar Petrus.

Tak hanya listrik, warga kekurangan air bersih. Mereka hanya bertahan dengan air hujan. Itupun jika curah hujan tinggi, maka mereka akan menampung air hujan pada bak. Air hujan digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti untuk minum dan MCK.

Warga Kampung Warulo'o di Desa Lidi, Kecamatan Palue menimba air hujan dari bak untuk keperluan sehari-hari. Maret 2023. Mereka menampung air hujan pada musim hujan dalam bak untuk dikonsumsi. (TRIBUN FLORES.COM/GORDY DONOFAN)

"Soal air bersih tidak ada. Kalau masyarakat butuh air harus ke Pulau Flores, kalau kekurangan penampungan berarti beli di Ropa, Ende Flores, " ujar warga Kampung Waralo'o.

Ia mengaku jika curah hujan tinggi, warga bisa menikmati air hujan hingga bulan Agustus setiap tahunnya.

"Air bisa bertahan sampai bulan tujuh, delapan, hujan juga tidak tertentu. Bulan satu hingga bulan tiga itu musim hujan. Kami memang minum air hujan, kami bikin bak,"ujarnya.

Ia mengatakan akses jalan dari pusat Kecamatan Palue sudah dibuka tahun 2022, meski belum aspal.

Ia bersama warga Desa Lidi berharap agar dengan adanya buka akses jalan pemerintah melihat itu sehingga listrik PLN bisa masuk. Desa ini merupakan satu-satunya desa di Palue yang belum menikmati listrik PLN.

Bangun Sumur

Warga Desa Maluriwu juga memiliki masalah yang sama. Mereka hanya mengandalkan air hujan. Bak-bak penampung air hujan pasti dijumpai di setiap rumah.

Untuk mengantsipasi kekurangan sumber air bersih mereka harus membuat sumur gorong-gorong di bekas galian pasir.

SUMUR BOR - Dua warga di Maluriwu Palue Sikka sedang berpose berlatar sumur gorong-gorong yang belum selesai dikerjakan, Maret 2023.

Sumur gorong-gorong ini setinggi kurang lebih enam meter harus dikerjakan sendiri secara bergotong-royong.

"Kami kerja sumur ini manual semua, teknologi tidak ada. Kami hanya andalkan tenaga manusia,"ujar Sebas, warga Maluriwu.

Ia mengaku hingga kini sumur tersebut belum bisa digunakan karena masih curam disekilingnya.

"Belum bisa pakai karena kami belum ratakan kembali tanah yang digali ini,"ujarnya.

Optimis Menatap 2023

Warga Palue rupanya sangat optimis menatap 2023. Bagi mereka tidak ada yang tidak bisa dikerjakan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Mulai dari mencari uap air dari di bebatuan hingga menenun sarung demi menopang hidup.

Hal itu diakui oleh Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Palue, Bernadeta Roja (50).

Menurut Bernadeta warga Palue sangat optimis menatap tahun 2023 dengan penuh semangat.

Meski serba kekurangan diwilayahnya, ia sangat yakin pasti ada bantuan yang akan membantu warganya untuk bisa mengakses air bersih.

Bernadeta yakin pemerintah tidak akan tutup mata dengan keadaan warganya. Ia menilai warga sangat bersemangat untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan keterbatasan.

Kata Bernadeta bak-bak air hujan menjadi kebutuhan penting di Pulau Palue demi mengatasi kekurangan air.

Ia mengaku di Palue tidak ada sumber mata air tawar. Fasilitas air bersih seperti bak air belum maksimal karena kurangnya stok air ketika memasuki musim kemarau.

Ia mengaku hingga kini ada dua proyek dari Kementerian PUPR yang sedang dikerjakan berupa teknologi penyulingan air asin menjadi air tawar dan berharap bisa menjawab kebutuhan air minum bersih bagi sekitar 10 ribu penduduk di Palue.

Kearifan Lokal

Bernadeta juga memuji dan mengapresiasi warganya yang tidak pantang menyerah untuk bertahan hidup.

Warga Palue juga hingga masih sangat mempertahankan sejumlah warisan adat dan budaya.

Warisan nenek moyang untuk kepentingan hidup rumah tangga yang masih dipertahankan disana salah satunya yaitu penyulingan uap panas bumi Rokatenda.

Kata Bernadeta, penyulingan dari uap panas bumi saat ini yang digunakan warga menjadi kearifan lokal yang sudah terpelihara sejak lama.

Namun kata dia, butuh sentuhan teknologi untuk memproses air tersebut.

"Untuk penyulingan uap panas bumi disini kami ada, ada beberapa titik, itu airnya bagus dan kami tampung serta bersih sekali. Kami buatnya secara manual, pakai penyulingan dari bambu. Kami harapkan kedepan ada teknologi terbarukan untuk memproses air suling ini agar memenuhi kebutuhan rumah tangga,"ujarnya.

Ia berharap agar suatu saat nanti ada tim dari pemerintah pusat untuk melakukan survey mengenai sejumlah titik panas di Palue sehingga bisa dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat Palue.

Potensi Wisata

Bernadeta berujar, Pulau Palue memiliki potensi yang sangat besar seperti di bidang pariwisata, pertanian, kelautan dan perikanan serta budaya dan adat-istiadat.

"Sumber panas bumi itu kearifan lokal dan kami sangat bangga itu. Kami itu mau kearifan lokal ini menjadi ikon wisata. Karena potensi kami disini banyak, Palue itu uniknya itu bukan hanya panas bumi, tapi beberapa budaya itu yang dari jaman nenek moyang sampai hari ini kami tetap laksanakan,"ujarnya.

"Kami punya mimpi, kami masyarakat Palue menginginkan suatu saat Palue ini bisa dijadikan tempat wisata," ujarnya.

Ia mengaku di Palue masyarakat masih sangat melestarikan adat dan budaya.

"Kami punya kearifan lokal-lokal wajib dilestarikan saat ini, ada air panas di Pantai itu yang kita kalau masak makanan langsung makan, kemudian yang ada di darat itu tempat khusus disini kalau kita simpan ubi malam hari, esok paginya sudah masak dan kita bisa makan itu dari panas bumi juga, itu kami promosikan keluar. Kemudian kami punya adat, Patikarapau (acara adat penyembelihan seekor kerbau),"ujarnya.

"Patikarapau itu dilaksanakan lima tahun sekali, uniknya prosesinya kerbau diarak dari Flores yaitu dari daerah Lio. Harus kerbau dari Lio (Ende) atau dari Pantai Utara Flores. Kerbau itu diarak menuju Pulau Palue menggunakan perahu motor. Dan disini yang bikin acara itu ada 4 Desa, Desa Nitunglea, Desa Tuanggeo, Rokirole, Ladolaka. Sedangkan tiga desa lainnya ada acara ritual pengusiran tikus,"pungkasnya.

Tentang Palue

Pulau Palue terletak di lepas pantai Pulau Flores bagian Utara dan masuk wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pulau Palue merupakan sebuah pulau terluar di Sikka.

Menurut warga setempat Palue dalam bahasa lokal artinya mari pulang dengan luas wilayah sekitar 41 Km⊃2; dan memiliki penduduk sekitar 10.000 orang.

Kecamatan Palue terdiri dari 8 desa yaitu Maluriwu, Reruwairere, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole, Nitunglea dan Lidi.

Di Palue ada 3 desa yang memiliki tempat penyulingan uap panas bumi yaitu Rokirole, Kesokoja dan Reruwairere.

Mata pencaharian warga diantarannya nelayan, petani juga sebagian peternak.

Diketahui, jika hendak ke Pulau Palue biasanya menggunakan Perahu Motor dari Pelabuhan Lorens Say dengan biaya Rp 40.000 per orang dan membutuhkan waktu 4-5 jam perjalanan.

Sedangkan jika menggunakan kapal Fery dari Pelabuhan Kewapante ke Palue biayanya Rp 49.000 per orang dan membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam.

Jika dari Pelabuhan Ropa Ende menuju Palue menggunakan perahu motor ongkosnya Rp 20.000 per orang dan waktu tempuh 1 - 1,5 jam.

Dari Mausambi Ende menggunakan perahu motor biayanya Rp.20.000 dengan jarak tempuh 1-1,5 jam. (KGG).

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News