Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Salah satu aktivis lingkungan, keadilan dan hak - hak masyarakat adat sekaligus Ketua Inisasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty, dalam kunjungan ke Pulau Sabu dan Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Mei-awal Juni 2023, menyoroti secara khusus soal tambang pasir laut.
Berdasarkan rilis yang diterima POS-KUPANG.COM, perjalanannya di Kabupaten Sabu Raijua sedikit terganggu pada perjalanan hari kedua, ketika Nukila mendapati banyaknya penggalian dan penambangan pasir yang diduga dilakukan masyarakat lokal dan juga pebisnis.
Menurut Nukila, hal ini sangat disayangkan karena masyarakat harus mendapatkan informasi tentang dampak yang dapat ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir di kawasan pesisir tersebut diantaranya pantai akan tercemar, kualitas pesisir pantai dan perairan laut ternodai, abrasi atau pengikisan pesisir pantai dan rusaknya ekosistem flora dan fauna termasuk rumput laut yang menjadi salah satu komoditas andalan di Sabu Raijua.
Baca juga: Ratusan Murid TK/PAUD dan SD di Labuan Bajo Ikuti Lomba Mewarnai Denatas Bajo
"Pemerintah daerah yang paling punya peran dan bertanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap pasir pantai dan pesisir, pemerintah harus punya program yang jelas, apa mitigasinya jika masyarakat yang melakukan illegal atau tanpa prosedur menggali pasir tersebut ternyata mengandalkan pekerjaan itu untuk menghidupi diri mereka dan keluarganya, memastikan bahwa bisnis yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan pesisir, mengelola pesisir sebagai potensi pariwisata yang bisa mendatangkan pendapatan dan ingat kita tak hidup sendirian dibumi ini, karena masih ada anak cucu kita penghuni bumi berikutnya," kata Nukila, Kamis, 8 Juni 2023.
Dia mengungkapkan perasaannya serta kebanggaannya dengan keindahan pasir pantai seperti pantai Hai Rawu, pantai Wuihebo, pantai Kol Udju dan pantai Napae serta Kelabba Maja yaitu bukit berwarna dan termasuk sakral (sacred place ) bagi penduduk setempat terutama masyarakat adat Gelanalalu yang mengganggap sebagai tanah dewa (the land of God) dan dipercaya sebagai tempat suci Dewa Maja.
Nukila optimis bahwa Pulau Sabu kelak bisa seperti Maldives yang sedikit lebih luas dari Pulau Sabu sekitar 661,5 km persegi yang terkelola dengan baik dengan keterlibatan pemerintah dan masyarakat Maldives terutama terhadap perlindungan ekosistem pantai dan lautnya yang sangat indah.
Namun, kata Nukila, persoalan lainnya adalah beberapa regulasi diabaikan dan belum kuat implementasinya seperti tercantum dalam bunyi pasal 69 (1a) Undang-Undang ( UU) No. 32 /2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup".
Kemudian UU No. 27 / 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyebutkan bahwa, “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
Lanjut dia, untuk lebih mengatur secara operasional kedua UU diatas diatur dalam Keputusan Menter (Kepmen) Kelautan dan Perikanan No. KEP.33/MEN/2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk kegiatan pengusahaan pasir laut.
Baca juga: PLN UIP Nusra Optimis Kejar Target 100 Persen Aset Legal di Tahun 2024
Dalam Kepmen tersebut jelas pemerintah menetapkan beberapa zona perlindungan, yaitu zona yang dilarang untuk kegiatan penambangan pasir laut, diantaranya, kawasan perlindungan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, terdiri dari Taman Laut Daerah, Kawasan Perlindungan bagi Mamalia Laut (Marine Mammals Sanctuaries), Suaka Perikanan.
Ada juga daerah migrasi biota laut dan Daerah Perlindungan Laut, terumbu karang, serta kawasan pemijahan ikan dan biota laut lainnya; perairan dengan jarak kurang dari atau sama dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah perairan kepulauan atau laut lepas pada saat surut terendah dan perairan dengan kedalaman kurang dari atau sama dengan 10 meter dan berbatasan langsung dengan garis pantai, yang diukur dari permukaan air laut pada saat surut terendah.
"Bahkan Undang - Undang nomor 27 tahun 2007 dan Undang - Undang Cipta kerja menyebutkan bahwa peran masyarakat dan hak masyakat untuk melaporkan kepada penegak hukum akibat adanya dugaan pencemaran/perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya karena masyarakat lokal dan masyarakat adat sebenarnya memiliki kewajiban menjaga, melindungi dan memelihara kelestarian wilayah pesisir mereka serta menyampaikan laporan jika terjadinya bahaya, pencemaran serta kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mereka," ujar Nukila.
"Baru-baru ini ada beberapa debat dan pemikiran pro dan kontra dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 26 / 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dengan materi muatan tentang pengelolaan dan pemanfaatan pasir laut.Tetapi perlu diingat bahwa siapapun itu termasuk pebisnis wajib mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku termasuk UU yang menjadi dasar utama dari peraturan-peraturan yang bersifat delegasi terutama harus tetap mengikuti perizinan berusaha serta proses persetujuan lingkungan serta ada sanksi hukumnya juga," tandasnya.(Pos Kupang.Com).
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News