TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Uskup Kupang, Mgr. Petrus Turang memimpin misa pemberkatan gedung gereja/kapela Santa Maria Bertaburan Rahmat Petuk, Stasi Santo Fransiskus Xaverius Naimata, Paroki Santo Yosef Pekerja Penfui Kupang, Minggu (25/2/2024).
Mgr. Petrus Turang menyebutkan umat Katolik Keuskupan Agung Kupang (KAK) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akan segera mendapatkan uskup baru pengganti uskup saat ini, Mgr. Petrus Turang, Pr, yang akan pensiun. Namun, siapa calon uskup baru itu, hingga saat ini masih rahasia.
"Ini pemberkatan gereja yang terakhir untuk saya. Pada tanggal 9 Maret nanti kita sudah punya uskup baru," kata Mgr. Petrus Turang di bagian penutup misa pemberkatan itu, yang langsung disambut tepuk tangan umat yang hadir.
Baca juga: Surat Gembala Pra Paskah 2024 Uskup Maumere, Ekonomi Ekologis
Misa pemberkatan itu dihadiri oleh segenap umat KUB Santa Maria Bertaburan Rahmat Petuk, perwakilan umat dari KUB se-Stasi Santo Fransiskus Xaverius Naimata, perwakilan dari umat stasi lain dan umat Paroki Santo Yosef Pekerja Penfui.
Hadir pula Penjabat Wali Kota Kupang, Fahrensy P. Funay, Danrem 161 Wirasakti Kupang, Brigjen TNI Joao Xavier Barreto Nunes, Kepala Kantor Kemenag Kota Kupang, Antonius Nggaa Rua, Camat Maulafa, Matheus A. B. H. da Costa, Lurah Kolhua, komunitas PIKAT selaku donatur pembangunan gereja, pendeta GMIT Petuk, dan para undangan lainnya.
Mgr. Petrus Turang yang memimpin misa pemberkatan gereja didampingi tiga imam konselebran, yakni RD. Krispinus Saku (Pastor Paroki Penfui), RD. Fransiskus Atamau (Co-Pastor Stasi Naimata), RP. Egi Taimenas (imam dari komunitas Soverdi Kupang).
Baca juga: Pengembangan PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Uskup Ruteng Sebut Masyarakat Harus Diperhatikan
Siapa Calon uskup?
Wacana mengenai uskup baru KAK sempat ramai dua tahun lalu menjelang hari ulang tahun ke-75 Mgr. Petrus Turang, saat seorang uskup boleh pensiun (emeritus). Namun, mungkin karena setelah perayaan ulang tahun tersebut, uskup baru belum juga diumumkan, sehingga wacananya meredup bersamaan dengan ramainya wacana calon presiden RI untuk Pilpres 2024.
Beberapa nama sempat disebut-sebut di kalangan umat, antara lain RD. Gerardus Duka (Vikjen KAK), RD. Dr. Florens Maxi Un Bria (Ketua Unio Indonesia/Ketua STIPAS KAK), RD. John Rusae (Pastor Paroki Santo Yosef Naikoten Kupang), Mgr. Dominikus Saku (Uskup Atambua), Mgr. Hilarion Datus Lega (Uskup Sorong, Papua Barat).
Namun nama-nama itu semata-mata hasil spekulasi dan perkiraan di antara umat dan sama sekali tidak bisa dijadikan pegangan karena pemilihan uskup baru bukan urusan umat dan tidak dipilih oleh umat, melainkan hak prerogatif Paus selaku pemimpin tertinggi gereja Katolik universal.
Sekadar nama-nama calon uskup baru pun Mgr. Petrus Turang sendiri tidak pernah menyebut dan menyampaikannya kepada publik. Semuanya masih rahasia dan baru akan terungkap pada tanggal 9 Maret 2024 ketika pihak Kepausan mengumumkannya dari Vatikan.
Baca juga: Uskup Agung Ende Wafat, Mengenang Mgr Vincentius Sensi Potokota
Meskipun bersifat rahasia dan menjadi keputusan Paus, Gereja Katolik memiliki tradisi dan mekanisme sendiri dalam proses pengangkatan seorang uskup.
Artikel yang ditulis RD. Rikardus Jehaut di laman mirifica.net, berjudul "Pengangkatan Seorang Uskup Diosesan: Sejarah, Prosedur, Dan Konsekuensi Yuridis", bisa dijadikan rujukan.
Dikatakan bahwa proses pengangkatan seorang uskup diatur dalam internal legal system dari Gereja Katolik, yakni Kitab Hukum Kanonik, kan. 377-380.
Syarat-syarat untuk Menjadi Uskup
Kan. 378, §1 secara eksplisit menggarisbawahi kualifikasi yang harus dimiliki oleh calon Uskup. Pertama, unggul dalam iman yang teguh, bermoral yang baik, saleh, memiliki perhatian terhadap jiwa-jiwa, bijaksana, arif, memiliki berbagai keutamaan manusiawi serta sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut.
Kedua, memiliki nama baik; ketiga, minimal berusia tiga puluh lima tahun; empat, minimal sudah lima tahun ditahbiskan imam; mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam bidang kitab suci, teologi atau hukum kanonik yang diperoleh pada lembaga pendidikan lebih tinggi yang disahkan Tahta Suci, atau sekurang-kurangnya sungguh-sungguh ahli (vere peritus) dalam disiplin-disiplin itu.
Norma kanon di atas merujuk pada norma yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1972 yang secara esplisit berbicara tentang kualitas yang harus diselidiki pada diri seorang yang hendak menjadi gembala jiwa-jiwa dan pendidik iman: apakah memiliki reputasi yang baik dan moralitas yang tak tercela, apakah memiliki kemampuan untuk memberi pertimbangan dengan baik dan bijaksana, apakah mereka memiliki sifat dan karakter yang stabil, apakah kuat memegang ortodoksi iman, apakah setia pada Tahta Apostolik dan magisterium gereja, apakah memiliki pengetahuan menyeluruh tentang teologi dogmatis dan moral dan hukum kanonik, apakah memiliki kesalehan hidup dan semangat pengorbanan serta semangat pastoral, apakah memiliki kecakapan untuk mengatur.
Pertimbangan juga harus diberikan kepada kualitas intelektual, rasa sosial, semangat dialog dan kerja sama, keterbukaan terhadap tanda-tanda zaman, latar belakang keluarga, kesehatan, usia dan karakteristik yang diwariskan (bdk. Consilium pro Publicis Ecclesiae Negotiis, Normae Episcopis facultas de promovendis ad episcopale ministerium in Ecclesia Latina, dalam “AAS” 64 (1972)
Penting untuk dicatat bahwa salah satu atau beberapa syarat yuridis di atas dapat didispensasikan dalam situasi dan konteks tertentu, khususnya menyangkut kualifikasi akademik. Di tempat di mana terdapat kekurangan atau ketiadaan imam yang memiliki gelar lisensiat atau doktor di bidang yang dituntut, dispensasi dapat diberikan oleh Tahta Suci.
Proses Seleksi
Kan, 377, §1 secara tegas menyatakan para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus, atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya. Hal ini memperlihatkan the bond of communion yang dimiliki di antara gereja-gereja partikular di seluruh dunia dan Gereja universal, di mana Paus adalah tanda kesatuan yang kelihatan.
Jika pengangkatan seorang Uskup merupakan hak Paus, pernyataan sederhana yang seringkali muncul adalah bagaimana Paus mengenal kelayakan seorang imam sebagai calon Uskup yang secara geografis berjarak ribuan mil jauhnya dari “radar” pantau Vatikan? Bagaimana Paus mengetahui dan yakin bahwa kandidat yang diusulkan might be a good choice untuk menjadi Uskup di tempat tertentu?
Norma kan. 377, §2 menggarisbawahi mekanisme internal yang didesain untuk proses awal seleksi calon Uskup. Norma kanon ini menegaskan bahwa para Uskup provinsi gerejawi atau di mana keadaan menganjurkannya, Konferensi Para Uskup, melalui perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para presbiter, juga anggota-anggota tarekat hidup bakti, yang dinilai paling tepat untuk menjadi Uskup dan menyampaikannya kepada Tahta Apostolik.
Norma kanon yang sama, di sisi lain, menggarisbawahi hak setiap Uskup untuk secara pribadi menyampaikan kepada Tahta Apostolik daftar nama-nama para presbiter yang dianggapnya pantas dan cakap.
Daftar nama-nama ini harus dibuat secara berkala, sekurang-kurangnya setiap tiga tahun sekali agar tetap up to date sekalipun secara aktual tidak ada “sede vacante”di keuskupan tertentu.
Jadi, para Uskup yang tergabung dalam wilayah provinsi gerejawi, yang dipimpin oleh Uskup Agung/Uskup Metropolit (cf. kan. 431), harus mengisi daftar nama calon Uskup yang dianggap layak. Hal ini sangat membantu proses seleksi calon Uskup karena sudah tersedia daftar nama, jika sewaktu-waktu dibutuhkan sekaligus membantu setiap Uskup untuk memiliki informasi yang cukup memadai terkait imam yang direkomendasikan untuk menjadi Uskup.
Usulan nama-nama untuk dicalonkan sebagai Uskup tidak terbatas hanya dari kalangan imam diosesan, melainkan dapat juga dari tarekat religius tertentu yang dipandang layak.
Daftar nama-nama menjadi bahan referensi yang sangat membantu Tahta Suci jika dibutuhkan sewaktu-waktu di kemudian hari. Ketika waktunya tiba untuk memilih Uskup baru untuk keuskupan tertentu, para Uskup yang tergabung dalam wilayah provinsi gerejawi tersebut sekali lagi, secara lebih spesifik, menentukan beberapa nama.
Selanjutnya, para Uskup dari provinsi di mana keuskupan yang membutuhkan Uskup itu berada mengajukan beberapa nama calon kepada Tahta Apostolik melalui Duta Vatikan untuk selanjutnya diteruskan kepada Paus.
Peran Duta Vatikan
Proses seleksi calon Uskup tidak terlepas dari peran penting yang dimainkan oleh Duta Vatikan. Beliau yang bertugas untuk menyampaikan atau mengajukan nama-nama calon kepada Paus dan juga menyelenggarakan proses informatif mengenai calon yang akan diangkat (bdk. kan. 364, 4°).
Norma kanon 377, §3 lebih jauh menggarisbawahi beberapa hal penting yang perlu dilakukan oleh Duta Vatikan sebelum menindaklanjuti terna dari para Uskup provinsi dan juga pendapat dari Konferensi para Uskup, yakni: pertama, menyelidiki dengan saksama nama-nama calon dan latar belakangnya satu per satu sambil memperhatikan catatan dan pertimbangan dari Uskup Metropolit dan para uskup di wilayah provinsi gerejawi yang mengusulkan calon Uskup tersebut.
Kedua, mendengar pendapat beberapa orang dari Dewan Konsultores (bdk. kan. 502, §1) dan Kapitel Katedral (bdk. kan. 503) dan jika dinilainya berguna juga mendengar pendapat dari orang-orang lain dari kalangan klerus diosesan dan religius satu demi satu dan rahasia, termasuk pendapat awam yang unggul dalam kebijaksanaan.
Ketiga, atas dasar input dan pendapat yang masuk, membuat penilaian (votum) pribadi terkait nama-nama calon yang diusulkan untuk menjadi Uskup dan menyeleksi tiga nama (terna) untuk dikirim ke Vatikan.
Seleksi pada Level Tahta Suci
Ketiga nama calon Uskup yang dikirim oleh Duta Vatikan dipelajari lebih lanjut oleh Paus, casu quo, Kongregasi Para Uskup yang secara khusus membantu Paus dalam berbagai urusan berkaitan dengan para Uskup (bdk. Pastor Bonus, art. 77) atau Kongregasi Untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa (bdk. Pastor Bonus, art. 89) untuk urusan yang berpautan dengan keuskupan di tanah misi.
Tugas Kongregasi adalah mempelajari usulan ketiga nama tersebut dan kualifikasi yang mereka miliki masing-masing. Kongregasi dapat meminta tambahan informasi atau dokumen tertentu kepada Duta Vatikan jika dipandang perlu.
Jika Kongregasi menolak ketiga nama tersebut, maka proses dimulai lagi dari awal. Jika tidak, maka Kongregasi tersebut akan memilih satu di antara ketiga nama yang diusulkan dan merekomendasikannya kepada Paus.
Ada dua kemungkinan: Paus menerima rekomendasi yang diberikan oleh Kongregasi, dan melalui Duta Vatikan menghubungi kandidat yang bersangkutan terkait pengangkatannya sebagai Uskup, atau kemungkinan lain, Paus dapat meminta nama lain untuk direkomendasikan. Paus dapat dengan bebas memilih sendiri Uskup di luar ternus yang ada.
Kerahasiaan Proses Seleksi
Proses seleksi ini berlangsung secara rahasia, sub secreto pontificio. Semua yang terlibat dalam proses seleksi calon Uskup terikat pada kewajiban moral-yuridis untuk menjaga kerahasiaan (bdk. The Norms Episcopis facultas no. 14; bdk. Rescript of the Secretariat of State Secreta continere, dalam “AAS” 66 (1974) hlm. 89-92).
Mengapa ada kerahasiaan seperti ini? Ada dua alasan mendasar terkait kerahasiaan seleksi calon Uskup. Pertama, calon secara resmi tidak diumumkan bahwa namanya sedang dipertimbangkan untuk menjadi Uskup demi menghindari tekanan secara psikologis pada calon yang bersangkutan.
Jabatan Uskup adalah jabatan demi pelayanan (servitium) dan hal ini menuntut keberanian untuk memikul salib setiap hari.
Kedua, dengan merahasiakan proses seleksi calon Uskup, proses seleksi dilindungi dari intervensi pihak luar atau para suporter kandidat tertentu yang berusaha untuk melakukan ‘lobby’ tertentu.
Seorang imam yang ambisius dan memiliki unholy desire untuk menjadi Uskup tidak dapat melakukan “kampanye” terselubung demi merebut jabatan sebagai Uskup.
Tuntutan untuk menjaga kerahasiaan juga harus diperhatikan oleh mereka yang secara pribadi dimintai pendapatnya oleh Duta Vatikan untuk mengusulkan nama imam tertentu.
Mereka yang secara khusus diminta untuk memberikan penilaian diharapkan menjalankan hal ini dengan baik sesuai dengan hati nurani yang jujur.
Adalah merupakan perbuatan yang tidak etis secara moral dan merugikan secara prosedural jika membocorkan proses seleksi ini karena itu berarti bahwa proses seleksi harus dibuat dari awal.
Kita dapat melihat bahwa keseluruhan proses seleksi, mulai dari para Uskup se-provinsi gerejawi, Duta Vatikan, dan Paus dijalankan secara bebas tanpa campur tangan pihak lain atau muatan politis tertentu.
Paus memiliki hak untuk melihat terna yang diusulkan Duta Vatikan dan memutuskan secara pribadi siapa yang dipilihnya menjadi Uskup.
Proses yang ditempuh mulai dari level provinsi gerejani hingga penentuan terna membantu Paus dalam mengambil keputusan.
Namun, penting untuk diingat bahwa Paus tidak terikat secara hukum untuk memilih satu di antara ketiga nama yang diusulkan.
Dengan kata lain, Paus bebas untuk memilih nama lain di luar ketiga nama tersebut. Kan. 378, §2 secara tegas mengatakan, “Iudicium definitivum de promovendi idoneitate ad Apostolicam Sedem pertinent”, artinya penilaian definitif tentang kecakapan calon Uskup ada pada Tahta Suci.
Konsekuensi yuridis pastoral
Sekurang-kurangnya ada beberapa konsekuensi pengangkatan seseorang menjadi uskup oleh Paus.
Pertama, keputusan Paus bersifat definitif. Atas dasar itu maka seluruh umat beriman Katolik harus menerima keputusan tersebut dengan ketaatan kristiani dan terikat kewajiban untuk selalu memelihara persekutuan dengan Gereja dengan cara bertindak masing-masing (bdk. kan. 209, §1; kan. 212, §1).
Kedua, secara khusus bagi para klerus. Norma kanon 273 secara eksplisit menyatakan bahwa para klerus terikat kewajiban khusus (speciali obligatione tenentur) untuk menyatakan hormat dan ketaatan kepada Paus dan Ordinaris masing-masing.
Dalam konteks pengangkatan seorang Uskup untuk dioses tertentu, para klerus wajib taat terhadap keputusan Paus tersebut. Penolakan terhadap keputusan Paus merupakan sebuah bentuk ketidaktaatan berat dan dikenai sanksi kanonik tertentu jika, sesudah diperingati, tetap membandel dalam ketidakpatuhannya.
Kasus beberapa imam di Keuskupan Ahiara, Negeria, yang diancam suspensi oleh Paus Fransiskus karena menolak uskup terpilih hanya karena berasal dari daerah yang lain menjadi catatan kelabu dalam Gereja.
Ketiga, oleh karena Paus adalah otoritas tertinggi Gereja yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat Uskup, maka Paus juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau menerima pengunduran diri seorang Uskup.
Dengan kata lain, secara hukum kanon, tidak ada seorang atau lembaga atau negara mana pun yang berhak membatalkan keputusan Paus atau melakukan intervensi politis mendesak Paus menggantikan seorang Uskup yang telah diangkat secara sah. Demonstrasi menentang Uskup yang terpilih secara sah tidak dikenal dalam hukum Gereja.
Untuk diketahui, wilayah Keuskupan Agung Kupang meliputi Kota Kupang, Kabupataen Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, dan Kabupaten Alor.
Keuskupan Agung Kupang merangkul dua keuskupan sufragan yakni Keuskupan Atambua (Belu, TTU, dan Malaka) dan Keuskupan Weetabula (Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur).
Selamat menyambut uskup baru KAK.*
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News