Unika Santu Paulus Ruteng

Mahasiswi Unika Ruteng Kupas Kebebasan Berpikir dalam Sastra, Masa Kolonialisme-Pascakolonialisme

Editor: Nofri Fuka
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswi Unika Santu Paulus Ruteng, Yulita Andara.

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Mahasiswi Unika Santu Paulus Ruteng, Yulita Andara mencoba "menggali" kebebasan berpikir dalam dunia sastra saat masa kolonialisme dan pascakolonialisme.

Pada awal pembahasannya, Yulita menjelaskan kebebasan berpikir merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari hari terutama dalam bentuk ekspresi pada sebuah karya sastra. 

Dalam kolonialisme dan pascakolonialisme, menurut dia, kebebasan berpikir tidak semata mata menjadi alat yang mengekspresikan diri tetapi juga sebagai alat untuk merefleksikan kekuasaan yang ada. 

"Banyak bentuk negatif dalam kolonialisme membatasi cara berpikir dan identitas budaya yang terpojokkan," tuturnya.

 

Baca juga: Mahasiswi Unika Ruteng Kritik Anak Muda yang Suka Pentingkan Gengsi

 

 

Ia melanjutkan, paham kolonialisme bertujuan tujuan memperluas wilayah kekuasaan. Tetapi dalam hal lain, kolonialisme tidak hanya tentang memperluas wilayah tetapi juga mengendalikan cara berpikir masyarakat yang dijajah. 

"Banyak penulis asing menuliskan banyak hal, mereka sering mengabaikan suara suara rakyat lokal yang sangat sangat berharga," kata dia.

Secara langsung hal itu membatasi kebebasan berpikir masyarakat. 

Oleh karena itu, banyak penulis masyarakat lokal secara terpaksa menyesuaikan diri dengan segala hal yang telah ditetapkan oleh penjajah.

Contoh nyata dapat dilihat dalam karya karyanya Cecil Rhodes.

Sebagai seorang kolonialis, pandangannya tentang Afrika sering kali mengabaikan keberagaman budaya dan sejarah. Ketidakadilan seperti ini telah menciptakan ruang bagi berbagai penulis lokal untuk menantang narasi tersebut sekalipun itu merupakan resiko yang sangat besar 

Pascakolonialisme muncul sebagai reaksi terhadap budaya kolonial yang masih melekat. Pascakolonialisme bukan hanya mengkritik masa lalu tetapi juga membangun masa depan yang makmur dan adil.

Kebebasan berpikir menjadi dasar yang sangat penting dalam memahami identitas budaya. 

Penulis pascakolonialisme menemukan kebebasan untuk mengekspor identitas mereka tanpa terikat pada batadan yang telah ditetapkan kolonialis.

Salah satu penulis dalam konteks ini adalah Homi K.Bhabhadalam karyanya tetutama buku “The Location Of Culture. Bhabha mengeksplorasi bagaimana individu dan komunitad dapat menemukan kebebasan dalam mengekspresikan identitas mereka diluar batasan yang ditetapkan oleh kolonialis. 

Bhaba mengemukakan konsep Hibriditas yang merujuk pada penciptaan identitas baru yang muncul dari pertemuan antara budaya kolonial dan lokal. Dalam pemikiran ini tidak hanya menggali kebebasan berpikir tetapi juga membangun kembali identitas yang telah terpinggirkan.

Pascakolonialisme, memberi ruang yang sangat luas untuk mencoba dengan bentuk dan gaya sastra. 

Negara pascakolonial seperti kita terus berjuang untuk membangun sistem politik yang demokratis kebebasan berpikir menjadi dasar bagi partisipasi politik.

Dalam hal ini ada dua kebebasan yaitu kebebasan Liberti dan Freedom

1. Liberti dalam konteks pascakolonialisme mengacu pada hak individu untuk mengekspresikan diri, berkreasi, dan berbicara tanpa ada penekanan dan paksaan dari pihak manapun. 

Ada banyak penulis dalam pascakolonialisme seringkali berjuang untuk kebebasan melawan narasi yang ditentukan oleh kekuatan kolonial 

2. freedom menyoroti pentingnya kebebasan dalam konteks komunitas dalam sastra pascakolonial, penulis seringkali mengeksplorasi bagaimana kebebasan individu berkaitan dengan kebebasan kolektif dimana identitas dan suara Rakyat harus diakui dan dan dihargai.

Kebebasan berpikir dalam sastra merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kita untuk menggali kolonialisme dan pascakolonialisme.

Kolonialisme menciptakan hambatan yang signifikan bagi penulis untuk mengekspresikan diri, sementara pascakolonialisme membuka jalan bagi penemu identitas yang lebih kaya dan kompleks. 

Melalui sastra, penulis tidak hanya merefleksikan pengalaman mereka, tetapi juga menantang pembaca untuk berpikir secara kritis tentang warisan yang ada.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News