Berita NTT
Kisah Petani di NTT, Sukses Kembangkan 6.000 Pohon Salak
Saat ini ribuan pohon salak itu sudah berbuah. Pemilik kebun sudah menikmati hasil jerih payahnya dengan omzet jutaan rupiah setiap bulan.
TRIBUNFLORES.COM, ATAMBUA - Warga Desa Fatulotu, Kecamatan Lasiolat, Kabupaten Belu, Pilipus Andreas Moruk adalah petani yang sukses membudidayakan tanaman salak hingga 6.000 pohon.
Saat ini ribuan pohon salak itu sudah berbuah. Pemilik kebun sudah menikmati hasil jerih payahnya dengan omzet jutaan rupiah setiap bulan.
Ketika dihubungi POS-KUPANG.COM, Kamis 14 Juli 2022, Andreas Moruk menuturkan, awalnya ia menanam 25 pohon salak yang dibagi oleh pemerintah desa tahun 1988. Kala itu, ia berusia belasan tahun.
Ia menanam salak tersebut sesuai kebiasaan petani setempat tanpa menerapkan pola khusus karena ia tidak mengetahui cara membudidaya salak. Alhasil, sudah bertahun-tahun ditanam, salak tak kunjung berbuah.
Baca juga: WNA Asal Spanyol Berada di Sikka Serasa di Rumah Sendiri
Kondisi itu membuatnya kecewa. Saking kecewanya, Andre Moruk memutuskan untuk merantau ke Kalimantan. Misi utama dia ke sana adalah belajar. Selama di Kalimantan, ia fokus kerja di kebun salak milik perusahan.
Setelah tiga bulan bekerja, Andre memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan salak. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman guna melanjutkan usaha kebun salak yang sebelumnya ia tinggalkan.
Ia yakin tanah di Fatulotu cocok untuk budidaya salak sama seperti di Kalimantan. Hanya pola perawatan yang harus diubah.
Berbekal pengetahuan yang ada, Andre Moruk menggarap lahan seluas lima hektare secara bertahap.
Setiap hari ia menanam salak dan merawatnya dengan meniru pola perawatan yang pernah ia lakukan di Kalimantan.
Ternyata benar, dalam beberapa tahun kemudian, tanaman salak bertumbuh subur dan berbuah.
"Saya baru tahu ilmunya sekitar belasan tahun setelah pulang dari Kalimantan. Awalnya saya tanam 25 pohon tahun 1988. Sekarang sudah 6.000 pohon", katanya.
Lanjut Andre Moruk, saat ini ribuan pohon salak sudah berbuah dan sudah dipasarkan di wilayah Atambua. Harga pasaran salak Rp 40 ribu per kilogram.
"Satu kilo 40 ribu. Orang beli sedikit sedikit, ada yang beli 1 kilo, 2 kilo. Kalau satu hari bisa dapat 100 ribu sampai 200 ribu", ungkapnya.
Menurut Andre Moruk, panen salak tidak serempak tergantung proses kawin. Enam bulan setelah kawin sudah bisa dipanen.
"Usia panen enam bulan Tapi tidak terasa karena tiap dua hari kasih kawin. Tidak lama sudah panen lagi ", tuturnya.
Ia menambahkan, pola perawatan kebun salak berbeda dengan tanaman lainnya. Ia harus merayap saat membersihkan tanaman salak dan juga saat panen agar terhindar dari tusukan duri yang ada di ranting salak.
Kata Andre Moruk, hasil usaha salak ini selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya juga membantu biaya pendidikan dua orang adiknya hingga selesai kuliah.
Andre Moruk belum mengekspansi penjalan salak ke luar daerah karena masih kekurangan modal.
Ia menjual hanya skala lokal saja. Meski demikian, banyak pedagang salak atau masyarakat yang datang beli langsung di lokasi. (*)