Berita Lembata

Nonton Film dari Kampung ke Kampung Langit Jingga Tawarkan Alternatif Pemajuan Kebudayaan Lembata

Komunitas Langit Jingga Film hingga saat ini tidak saja konsisten memproduksi karya. Mereka juga mulai masuk keluar kampung menggelar nonton film bers

Editor: Laus Markus Goti
TRIBUNFLORES.COM/RICKO WAWO
LANGIT JINGGA. Kegiatan Cinema Masuk Sekolah Langit Jingga Film di Lopo Pantai Waipukang, desa Laranwutun, Rabu, 10 Agustus 2022. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, RICKO WAWO

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA - Komunitas Langit Jingga Film hingga saat ini tidak saja konsisten memproduksi karya. Mereka juga mulai masuk keluar kampung menggelar nonton film bersama masyarakat. Tak hanya menghibur, Langit Jingga Film membawa misi menjadikan film sebagai salah satu alternatif pemajuan kebudayaan di Kabupaten Lembata. Kegiatan ini kemudian dinamakan, Cinema Masuk Sekolah.

Anggota Komunitas Langit Jingga, Abdul Gafur Sarabiti, mengungkapkan, inovasi yang digagas tersebut ternyata mampu menyatukan komunitas dan masyarakat. Mereka tidak saja larut dalam alur cerita dalam film, tapi lebih dari itu, masyarakat juga turut terlibat langsung dalam diskusi sehabis menonton film.

“Kita konsisten dengan kegiatan ini karena apresiasi dan tanggapan positif dari masyarakat juga,” ujar Abdul Gafur yang juga adalah penggiat budaya di Kabupaten Lembata, Selasa, 16 Agustus 2022.

Rintho Djaga, seorang seniman muda dari Ile Ape, memotret secara gamblang bagaimana Cinema Masuk Sekolah menawarkan nilai alternatif, lebih daripada sekadar hiburan belaka.

Baca juga: Langit Jingga Film dan Upaya Merawat Kebudayaan di Lembata

 

Rintho, dalam laporannya, menyebutkan, kegiatan Cinema Masuk Sekolah tidak hanya untuk menciptakan kehidupan ekosistem perfilman di Lembata, tetapi juga menciptakan ruang alternatif dalam pemajuan kebudayaan melalui seni dengan media film. Juga, menjadi ruang alternatif pembelajaran bagi pelajar dan masyarakat.

Hal ini dia saksikan saat kegiatan dimaksud terjadi di Lopo Pantai Waipukang, desa Laranwutun, Rabu, 10 Agustus 2022.

Ada dua film yang ditonton, pada malam “Cinema Masuk Sekolah”, yakni film Pendek “Untuk Mama” yang diproduksi para pegiat film dari Maumere, dan film pendek “The Story Of Aquarius” yang diproduksi Komunitas Film Kupang.

Rintho menilai, kedua film itu mempunyai hubungan yang sama berkaitan dengan cinta. Tetapi ekspresi dan objek cinta dari kedua film ini berbeda. Film pertama, “Untuk Mama”, cinta yang diungkapkan adalah cinta kepada kebudayaan sendiri berupa kain tenun tradisional yang dibuat menggunakan bahan dan pewarna alam. Konflik dalam film ini bermula dari permasalahan pandangan yang berbeda antara seorang anak dan orang tuanya dalam memandang pembuatan kain tenun.

Film ini, demikian Rintho, ingin menggambarkan bagaimana posisi kain tenun tradisional mulai terasingkan oleh kain tenun hasil produksi mesin. Film ini mengingatkan bahwa tenun bukan sebatas sebuah alat ekonomi, tetapi sebuah simbol yang memberikan identitas dan memberikan makna hidup tentang kesabaran dan kerja keras.

Film kedua, cinta yang ditampilkan adalah kecintaan manusia pada prinsip akan kerja keras dan kejujuran. Vero, seorang wanita yang baru menyelesaikan pendidikannya sebagai mahasiswa berhadapan dengan sistem kerja yang sengat nepotisme, atau dalam frasa gaul bagi masyarakat NTT disebut sebagai “orang dalam”.

Baca juga: Liga 3 El Tari Memorial Cup di Lembata Dimulai 9 September Bertepatan Haornas

 

Di situ terjadi pertentangan antara hati nurani Vero dan juga tuntutan dari ibunya untuk segera memiliki pekerjaan. Vero menolak tawaran dari ibunya untuk bekerja pada kantor, di mana kepala kantor tersebut adalah sahabat ibunya sendiri. Vero menolak tawaran tersebut karena berpegang pada prinsipnya untuk lebih mengandalkan kemampuan dan kerja keras sendiri daripada patuh pada sistem yang penuh nepotisme dan tidak kompetitif.

Film ini tidak hanya menyinggung mental instan dalam karakter masyarakat modern, tetapi menghadapkan penonton pada pertanyaan reflektif, apakah manusia rela mengabaikan hati nuraninya hanya untuk sebuah jabatan atau penghasilan?

Ketua komunitas Langit Jingga Film, Elmundo Alesio mengharapkan agar kegiatan ini bisa menciptakan ketertarikan para pelajar juga generasi muda, untuk mulai mencintai dan menggali kebudayaannya sendiri. Sehingga tidak melupakan jati diri mereka.

Seniman dan juga guru, Haris Dores menganggap bahwa sudah saatnya sistem pembelajaran dalam kelas menciptakan kreativitas mengajar untuk menumbuhkan semangat kreativitas siswa yang tumbuh dari dalam tanah. Artinya, kreativitas itu tidak mengesampingkan realitas sosial yang ada di sekitarnya, tetapi suatu kreativitas yang lahir dari kepekaan akan apa yang generasi muda lihat dan rasakan atas fenomena yang ada di sekitarnya. (*)

 

Berita Lembata Lainnya

 

 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved