Nama Bayi Katolik
Nama Bayi Katolik Lahir Tanggal 26 November Lengkap Kisah Tokoh dan Maknanya.
Berikut nama bayi Katolik yang cocok diberikan saat bayi tersebut lahir pada tanggal 26 November.
Santo Leonardus Porto Morizio, Pengaku Iman
Leonardus lahir di Porto Morizio, Italia pada tanggal 20 Desember 1676. Pada umur 13 tahun, ia dipanggil ke Roma oleh Agustinus, pa- mannya untuk dididik di kolese Yesuit yang dipimpin oleh Santo Philipus Neri. Pamannya menginginkan dia menjadi dokter, namun ia dengan tegas menolaknya. Oleh karena itu ia tidak lagi diakui oleh pamannya. Sejak itu ia mengatur hidupnya sendiri di Roma tanpa bantuan paman-nya.
Pada tahun 1697, ia diterima dalam Tarekat Fransiskan di biara Rifomalla di Ponticelli. Oleh pimpinan Ordo ia kemudian dikirim belajar di Universitas Roma. Di Universitas Bonaventura inilah ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1703. Bersama dengan beberapa rekannya, ia mengambil alih sebuah biara di Florence pada tahun 1709. Di bawah bimbingannya, biara ini kemudian menjadi pusat karya misi di Tuscany. Dari biara inilah, ia berkeliling ke berbagai tempat untuk berkotbah dan mengajar umat, teristimewa umat sederhana dari golongan rakyat jelata.
Leonardus dikenal sebagai seorang misionaris Fransiskan yang rajin dan tekun dalam tugasnya mewartakan Injil. Ia mengelilingi seluruh Italia untuk berkotbah. Dengan gayanya yang lucu, ia mengemukakan prinsip misionernya sebagai berikut: "Berkotbah kepada orang lain ha rus dimulai dan diselingi dengan berkotbah kepada diri sendiri." Leo menghayati semangat hidup miskin dan sederhana yang tinggi sehingga banyak orang terpikat padanya.
Salah satu keistimewaannya yang membuat dia dikenal hingga sekarang ialah kesukaannya merenungkan peristiwa Sengsara Yesus. Ia mengabdikan devosinya ini dan menjadikannya milik semua umat Katolik dengan merintis kebaktian "Jalan Salib" lengkap dengan 14 stasi-nya seperti yang kita kenal sekarang. Untuk mengumatkan devosi itu, ia mendirikan 'Jalan Salib Kristus' di berbagai tempat, termasuk di Colosseum, tempat pembantaian dan gelanggang sengsara orang-orang Kristen pertama di Roma. Tentang kebaktian Jalan Salib ini, ia berkata: "Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan berguna bagi pengudusan diri kita daripada merenungkan peristiwa sengsara Kristus." Selain devosi itu, ia juga menjadi perintis devosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus dan devosi kepada Bunda Maria.
Sampai usia tuanya ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dengan doa-doa pribadi dan perayaan Misa Kudus setiap hari. Pada tahun 1744 ia diutus paus ke pulau Corsica untuk menenteramkan suasana pertikaian antar-umat di sana. Namun sayang bahwa usahanya ini kurang berhasil. Dalam keadaan payah ia kembali ke Roma, dan tak lama kemudian ia meninggal dunia di biara Santo Bonaventura pada tanggal 26 Nopember 1751. Pada tahun 1867 ia di- nyatakan sebagai 'santo'.
Santo Sarbel Maklouf, Pengaku Iman
Seorang gadis dan seorang biarawati dengan mata terbelalak memandang ke arah dinding batu karang yang terletak di hadapan mereka. Mereka heran karena melihat bahwa batu (nisan) itu mengeluarkan peluh. Tetesan-tetesan air keluar dari permukaannya. Seperti kena hipnose, gadis itu mengulurkan dan menempelkan tangannya yang lumpuh itu pada batu itu. Sementara itu biarawati itu pun merasa tegang seluruh tubuhnya. Gadis lumpuh yang gemetaran itu, lalu terjatuh di pangkuan biarawati yang sedang tegang itu. Ketika gadis itu siuman lagi, ia merasa sudah terbebas dari penyakit lumpuh yang telah dideritanya selama 14 tahun. Bekas-bekas kelumpuhan pun tidak kelihatan lagi. Sekarang ia telah bersuami dan tinggal di Libanon.
Batu (nisan) yang bertuliskan huruf-huruf Arab itu mengingatkan penduduk setempat akan suatu peristiwa penyembuhan yang terjadi di situ pada tahun 1951. Batu itu adalah batu kubur Sarbel Maklouf, seorang rahib Gereja Maronit Libanon, yang dijuluki "Bapa Kami" oleh orang-orang Libanon, baik Kristen maupun Islam.
Pada tahun 1822, para rahib Maronit di Libanon membangun biara Maron d'Annaya, yang terletak di pegunungan Libanon. Tigapuluh tahun setelah biara itu berdiri, datanglah ke biara itu seorang pemuda sederhana dan miskin dengan pakaian yang tak teratur. Pemuda itulah Sarbel Maklouf. Semula Sarbel adalah petani dan gembala miskin di pegunungan Libanon. Menginjak usia 23 tahun, ia meninggalkan desa-nya, lalu melangkahkan kakinya ke daerah pegunungan Annaya menuju sebuah biara yang ada di sana. Ia diterima masuk biara itu untuk selamanya. Di sana ia belajar teologi dan giat membantu di paroki. Dalam waktu relatif singkat Sarbel segera terkenal di antara kaum Badui, petani-petani miskin di pegunungan, orang-orang Kristen dan kaum Muslim.. la selalu menolong mereka yang menderita dan menghibur orang-orang yang bersusah. Pengetahuannya sangat luas tentang rempah-rempah dan aneka jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Sesuatu yang luar biasa tidak tampak pada dirinya. Demikian juga setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1859, ia tetap seorang rahib yang rendah hati, sederhana dan rajin membantu siapa saja yang meminta bantuannya.
Duapuluh tiga tahun terakhir hidupnya, ia bertapa di puncak gunung Annaya, dekat dengan biaranya. Dalam biliknya yang sempit, Pastor Sarbel kusuk berdoa sampai larut malam. Pada waktu subuh ia sudah bangun untuk berdoa sebelum merayakan Misa Kudus. Ia selalu sendirian dan bekerja keras di kebun. Ia hanya makan sekali sehari dan itu pun tidak sampai kenyang. Sehari-harinya pertapa ini tidak banyak bicara. Dengan selembar kain yang membelit tubuhnya ia melawan panas dan dinginnya udara yang tidak kenal kompromi. Suatu hari halilintar menyambar kapelnya dan mengoyakkan jubah yang sedang dikenakannya. Namun aneh bahwa Sarbel yang sedang berdoa itu tidak terkena sedikit pun dan terus berdoa dengan tenang. Di tempat pertapaannya itu, Pastor Sarbel menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 16 Desember 1898. Jenazahnya diletakkan di atas dua lembar papan dan dimasukkan ke dalam lobang yang dipahat pada batu karang.
Sehabis penguburan Pastor Sarbel, orang-orang Badui menyaksikan suatu peristiwa ajaib yang membingungkan mereka: dari makam Sarbel itu terpancarlah berkas-berkas cahaya biru selama 45 hari penuh setelah penguburannya. Hal ini pun dilihat oleh rekan imamnya yang lain: Pastor Elie Abi-Ramia yang berusia 97 tahun dan satu-satunya imam Maronit yang masih hidup di antara biarawan-biarawan yang tinggal bersama Sarbel dibiara Santo Maron d'Annaya. Ia juga hadir pada upacara penguburan Sarbel Maklouf rekannya pada tahun 1898. Tentang Sarbel, ia berkomentar: "Sarbel Maklouf semasa hidupnya dikenal sangat sederhana, rajin dan menaruh perhatian besar kepada orang-orang miskin dan bersusah. Tidak ada sesuatu keistimewaan yang luar biasa pada dirinya. Yang tampak menonjol ialah bahwa ia rajin berdoa dan tekun memperhatikan orang-orang miskin."
Tahun-tahun berikutnya makam itu menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi. Di sana terjadi mujizat penyembuhan berbagai jenis penyakit. Berpuluh-puluh tahun kemudian, setelah menyaksikan berbagai mujizat penyembuhan di makam itu, makam Sarbel menarik perhatian Vatikan untuk turun tangan menyelidikinya.
Atas perintah Vatikan, jenazah rahib saleh itu dikeluarkan kembali dari makamnya untuk diselidiki kebenarannya. Vatikan mengirim dokter-dokter ahli dan para sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk menyelidiki makam dan jenazah Sarbel dan berbagai penyembuhan yang terjadi di makamnya. Makam itu, yang berbentuk sebuah lobang pahatan di dalam batu karang dan ditutup dengan batu itu, disegel dan dipasangi pintu besi yang berjeruji. Kunci pintu makam itu disimpan oleh ketua panitia internasional yang beranggotakan dokter-dokter ahli dan para sarjana itu. Mereka, bersama rekan-rekan Sarbel yang tinggal di biara Maron d'Annaya, heran menyaksikan bahwa meskipun sudah 68 tahun wafat dan dikuburkan, jenazah Sarbel masih dalam keadaan utuh.
Mereka terus menyelidiki kalau-kalau batu makam tersebut mengandung zat-zat kimia yang mempunyai daya pengawet. Tetapi penyelidikan itu tidak menemukan hal itu. Maka selama 6 tahun, jenazah Sarbel Maklouf dimasukkan kembali ke dalam sebuah lobang dalam batu karang untuk melihat apakah jenazah itu masih tetap mengeluarkan peluh-keringat. Karena peluh itu tetap mengalir, jenazah Sarbel dikeluarkan lagi dan dijemur selama tujuh bulan. Akibat penjemuran itu, warna ku- lit Sarbel menjadi sawo matang dan kulitnya mengerut, sambil tetap mengeluarkan peluh sampai tahun 1927.