Cerpen Terbaru
Cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2, Nostalgia Anak Kampung
Ini adalah part yang kedua. Sebenarnya sudah diposting pada sehari sebelumnya namun karena kendala teknis malam ini baru diposting.Simaklah cerpen
Penulis: Nofri Fuka | Editor: Nofri Fuka

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Simaklah cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2.
Inti cerita kali ini adalah tentang nostalgia anak kampung. Menceritakan tentang keseharian Lar di kampung dan di rumahnya.
Ini adalah part yang kedua. Sebenarnya sudah harus diposting pada sehari sebelumnya namun karena kendala teknis, malam ini baru diposting.
Simaklah cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 2, Nostalgia Anak Kampung.
Baca juga: Cerpen Romantika Bangku Tua: Di Pantai yang Bisu Part 1, Ending Bikin Ngakak
***
Duduklah...
Kulihat sendu matamu isyaratkan rindu yang terpendam. Mungkinkah ada saatnya diam untuk sebuah penantian tak berujung?
Jangan kecewa Lar..Hujan tak pernah menyuruh mendung pergi jauh. Ia hanya diam. lalu mendung datang. Setelah itu kau tahu genangan yang tertinggal di depan rumah ialah apa.
Kita memiliki harapan untuk sesuatu di depan sana. Bermimpi memeluknya hingga batas terakhir. Lalu ada malam yang lewat memotongnya jadi terpisah. Itu bukan sandiwara itu sudah digariskan alam.
Jadi jika ada damai di sana, percayalah cinta menunggu dengan sabar. Untuk tangan yang tulus dari kasih yang sabar serta cinta yang membara selalu ada jawab yang terselip di jalan yang rancu.
Di pantai yang bisu ada rapal yang belum selesai. Ombak yang menggulung isyaratkan gelora yang tiada henti. Akankah kau tenggelam dalam lipatannya yang menyentuh bibir senja?
***
Obrolan kemarin masih menyisakan sesak di hati Lar. Pikiran Lar pun berkecamuk bukan kepalang. Di atas ranjang yang lusuh, pada jam 3 pagi, Lar sudah puluhan kali membolak balikkan badannya. Tak seperti biasanya kali ini Lar bangun pagi begitu awal. Jam 2 pagi. Dan selama jam 2 hingga jam stengah 4 pagi Lar larut dalam pergumulan yang penuh drama. Bolak balik badan. Kepala mendongak ke atas, lalu tertanam di kasur, Bangun lalu tidur lagi, Kaki dilipat sana sini, Pokoknya banyak aktinglah ditampilkan Lar membahasakan carut marut nuansa pikiran dan hatinya.
Apa mau dikata itulah yang terjadi hampir pagi 4 Januari 2023. Tak bisa dielak. Lar terlanjur menjadi gila atas kecerobohannya pada hari sebelumnya. Angggap saja itu bagian dari hidup Lar.
Bicara tentang hidup Lar memang selalu menghadirkan ragam cerita yang unik.
Kali ini yang unik dari Lar itu soal kebiasaan tidurnya yang tak biasa. Bayangkan saja ia harus pakai celana pendek olahraga berlogo klub Real Madrid ukuran selutut saat tidur. Warna celana bebas saja intinya ada logo klub Real Madrid. Ingat!! Intinya ada logo klub Real Madrid karena itu sudah cukup menegaskan fanatismenya akan klub kebanggaannya itu.
Untuk baju tidur, dia lebih jatuh hati pada singlet putih andalannya yang sudah dibiasakan mamanya untuk dipakai sejak kecil. Tentu dengan balutan singlet putih yang kelihatan kedua ketiaknya. Menurut dia, singlet jadi pilihan utama karena ada banyak celah yang dapat memungkinkan angin malam yang dingin menerpa tubuhnya.
Untuk ranjang atau tempat tidur, Lar masih setia dengan tempat tidur kuno yang hanya berukuran satu orang. Jujur saja untuk ukuran body Lar yang aduhai gemuknya rasanya tak sebanding. Namun percaya atau tidak ranjang itu sudah menemani Lar semenjak kelas 1 SD hingga kini.
Ranjang itu terbuat dari kayu jati dengan campuran bambu. Kasurnya pun berbahan dasar serat kapuk. Kebetulan juga sudah berlubang pada bagian sudut kiri bawah karena termakan usia, jadi terkadang ketika bangun pagi badan Lar penuh riasan serat kapuk warna putih yang tercecer keluar dari lubang kasur itu. Bahkan kadang kadang Lar merasakan sesak napas yang sangat menyiksa. Nah..setelah dicek ternyata serat kapuklah yang menyumbat lubang hidungnya.
Di ranjang itu, kebetulan juga tersedia bantal guling (bantal peluk). Bantal itu menjadi teman Lar membagi kasih yang belum tersampaikan. Namun kasihan bantal itu tersiksa karena harus menahan pelukan dan dekapan yang kuat dari Lar saat Lar mulai terasuk pikirannya akan Si Dia. Sehingga terlihat bantal guling itu sudah mulai mengempes.
Berkaca dari semuanya. Lar tampaknya memang seperti pria kesepian. Tidur sendiri, meraung sendiri, pokoknya macam-macamlah. Apakah harus dijuluki sad boy? Ah.. bisa juga demikian melihat pola hidupnya yang pilu dan dramatis. Duhh.. Kasian yah.
Kembali pada memori pagi tanggal 3 Januari yang masih merasuk pikiran Lar. Lar benar benar mengutuk diri sendiri kala itu. Rasanya ia telah kalah taruhan taji ayam seperti yang biasa dirasakan om om di kompleksnya yang tersiksa batinnya ketika kalah judi taji ayam.
"Salah apa dosaku apa. Seharusnya kami dua masih chattan," demikian gumamnya membayangkan kembali memori kemarin pagi 3 Januari 2023 dalam posisi masih tergolek di ranjang.
Lar menyesalkan akhir obrolan yang tak sesuai ekspektasi.
"Seharusnya kamu itu langsung omong. Ngomong dong!! Ini masa putar sana putar sini. Hasil akhir Dianya pamit cuci piring. Nah..kau pi ikut sudah. Bantu dia cuci piring. Dasar bodoh," gumamnya mengutuk diri sendiri.
Lar seakan jatuh pada titik terbawah. Pergumulan memakan waktu dua jam lebih membuat dia kelelahan seolah-olah baru saja menyelesaikan pekerjaan berat. Sempat keringat halus juga. Maklumlah, mungkin lemak yang membandel di tubuhnya membuat tubuhnya cepat kepanasan dan mengeluarkan keringat. Tapi jangan cepat percaya ini hanya terkaan saja. Tapi nyatanya demikian, Lar benar benar keringatan.
Pukul 06.00 wita, Lar beranjak dari tempat tidurnya. Itupun karena teriakan, omelan serta kiriman kata mutiara dari mamanya, barulah Lar bisa bangun.
Alunan musik nostalgia yang terdengar bising dari tape recorder bapaknya selalu setia menyambut kehadiran Lar saat bangun pagi, setelah Lar mengalami tidur panjang, mengalami mimpi buruk, Meraung, bergumul bahkan berguling-guling.
Sambutan itu terlihat meriah namun menjengkelkan untuk Lar. Dulu Lar sempat ingin melenyapkan tape itu hanya niatnya diurungkan karena Tape tersebut memiliki nilai sejarah tersendiri dalam perjalanan hidup keluarganya. Katanya tape itu dulu ditinggalkan seorang prajurit Jepang semasa penjajahan pada kakek buyutnya. Lalu tape itu diwariskan kakek buyutnya turun temurun dan hingga kini sudah berada di tangan ketiga yakni bapaknya.
Lagu yang diputar tiap pagi saat Lar bangun pun judulnya masih sama yakni Kambing Kecil. Judulnya kedengaran Lucu, tapi jangan sangka itu merupakan lagu kesukaan bapaknya bahkan kakek buyutnya juga menyukai lagu itu. Lirik lagu itu menceritakan perjuangan seorang penggembala kambing di kaki bukit Surau.
Entahkah benar demikian namun bapaknya Lar sangat menikmati lagu itu. Apalagi dengan berkainkan sarung hitam khas Maumere sambil menikmati kopi tumbuk buatan emaknya Lar, rasanya sempurna. Tiap kali mendengar bait reff pada lagu itu kepala bapaknya selalu mendongak ke atas seakan berpikir jauh. Tak lupa, kaki kanannya terangkat dan bertumpu pada pagar teras rumah. Maklumlah bapaknya Lar lebih suka duduk di atas pagar pada pagi hari. Alasannya sederhana, supaya dapat angin segar dan mendapatkan lebih banyak sinar ultarviolin ..eh.. ultraviolet maksudnya.
Sementara itu, emaknya (ibu) Lar sibuk menyiapkan sarapan pagi berupa ubi dan pisang rebus hasil panenan sang ayah kemarin sore di kebun. Ubi dan pisang mentah dipanen setelah sang ayah mendapati hasil padi dan jagung di kebun kurang memuaskan dan rusak separoh lantaran musim penghujan beberapa waktu lalu merusak semuanya.
Memang tahun itu adalah tahun yang sulit bagi para petani ladang di kampungnya Lar. Terkhusus para petani di kampung yang mengandalkan pertanian tradisional yang jauh dari penggunaan pupuk kimia. Sangatlah susah. Semuanya tergantung perhitungan musim hujan dan musim panas. Jika salah hitung maka minta maaf anda belum beruntung, tunggulah musim berikut.
Meski demikian hidup di kampung masih lebih beruntung jika terjadi krisis pangan ketimbang di perkotaan. Di kampung jika tak ada padi dan jagung, masih ada pisang dan ubi. Jadi segala sesuatu bisa diakali. Sedangkan di kota jika makanan di rumah habis, dibeli di toko makanan dan pangan, jika di toko habis maka selesai. Larilah ke kampung, itu jalan terbaik. Di sana ada ubi, pisang, sayuran, jamur dan masih banyak tanaman lokal yang bisa dijadikan makanan.
Mungkin dikarenakan hal itu orang di kampungnya Lar tidak protes jika terjadi inflasi maupun deflasi. Bahkan mereka merasa enjoy saja dan menikmati hidup apa adanya. Untuk mereka, jika ada panenan melimpah itu berarti sebuah keberuntungan yang patut disyukuri dan dipertahankan. Jika panenan gagal itu sebagai kegagalan yang jadi pembelajaran untuk musim berikut.
Kebahagiaan orang di kampung pun tampak dalam diri emaknya Lar. Ditengah krisis pangan yang merebak dari kota ke desa emaknya Lar begitu bersemangat dan sibuk dengan rutinitasnya tiap pagi yakni menyiapkan sarapan pagi.
Sarapan pagi yang disiapkan dengan dimasak ala tradisional memang beda. Bermodalkan tunggu api tradisional, menghasilkan asap pekat yang mengepul dari dapur dan membumbung hingga mencemari udara bahkan memasuki kompleks dan rumah tetangga sebelah. Dan itu sudah biasa terlihat. Bahkan aroma masakan yang numpang di hidung tetangga pun itu hal biasa.
Di kampungnya fenomena itu bukan hal yang asing atau tindakan mencari masalah. Orang di kampung tahu membedakan masalah sosial dan masalah di dapur. Jika ada masalah sosial itu berarti melanggar norma atau hukum publik jika ada masalah dapur itu masalah keluarga atau privasi tak layak jadi persoalan publik.
Demikian nikmatnya hidup di kampung. Tidak kaya amat tidak miskin amat. Yang ada selalu berkecukupan. Cukup ubi dan pisang rebus rutinitas harian bisa dilewati tanpa hambatan.
Kembali pada Lar. Setelah bangun pagi Lar masih saja menerima wejangan penuh makna dan melukai hati dari emaknya.
"Tidur saja terus. Jangan bangun, buat apa bangun. Nanti juga kau kenyang dengan tidur itu. Anak bandel benar," demikian ocehan emaknya yang konsisten bernada tinggi.
Lain hal dengan bapaknya. Cukup satu dua kata sudah menjinakkan omelan ganas emaknya Lar.
"Anak capek kemarin juga kau (emak) marah-marah terus. Tiap hari saja begitu," tegur bapaknya pada emaknya Lar yang terus mengoceh.
Mendengar teguran suaminya dari depan teras rumah, emaknya Lar persis langsung diam dan melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Lar adalah pria yang cuek dan tidak gampang tersinggung. Dia Lebih banyak memendam rasa dan galau sendirian. Apalagi ocehan emaknya semacam sudah jadi habitus. So, Lar tidak tersinggung malahan ia menganggapnya sebagai hal yang lumrah terjadi tiap pagi.
Hanya saja kali ini Lar memang tampak lesu. Kulit sawo matangnya seolah tambah gelap melihat wajahnya yang murung. Pagi ini ia tak langsung melaksanakan tugas harian yang sudah dijadwalkan bapaknya. Usai sikat gigi dan mandi, Lar malah langsung kembali ke kamarnya. Ia juga lupa sarapan.
Sementara itu, sapi satu ekor milik keluarga yang terikat di belakang rumah mereka terus berlarian mengelilingi pohon. Hari ini adalah giliran Lar memberi makan sapi tersebut namun ia keburu masuk kamar.
Melihat sapi yang tak kunjung berhenti berlari sang ayah menggantikan tugas Lar mendekat dan melemparkan seikat daun pada sapi untuk dimakan. Alhasil sesaat kemudian sapi tersebut kembali tenang dan jinak setelah melahap seikat daun lamtoro.
Sang ayah yang melihat sikap Lar sempat dibuat bertanya. Hanya saja sebagai seorang ayah ia memilih bijak melihat sikap anaknya. "Namanya anak muda. Ah..itu urusan mereka kita sudah tua tidak perlu ikut campur," gumam ayahnya sembari pergi ke dapur.
Pagi itu listrik di kampung dipadamkan. Sesuai instruksi kepala desa beberapa waktu lalu, akan ada pemadaman listrik bergilir di wilayah pinggiran kota. Kampungnya Lar juga mendapat giliran pemadaman. Ini bukan yang pertama dirasakan warga kampung itu namun bagi Lar ini menjadi tekanan tersendiri untuknya.
"Waduhh mati lampu lagi. Mana HP baterai habis tadi malam lagi. Susah benar," kesal Lar dalam hati.
HP android yang dibeli Lar setahun lalu dari uang hasil jualan pinang terpaksa disimpan saja karena lobat. Lar hanya merenung tak karuan. Sekali-sekali berdiri depan jendela lalu memandang jauh ke pinggir pantai. Singlet dan celana pendek olahraga masih ia kenakan. Ia tak bersendal. Sendalnya dibawa lari anjing peliharaan semalam entah kemana. Yang tersisa hanya bekas lumpur sendal yang terkelupas karena mengering di depan kamarnya.
Di tempat Lar berdiri tampak juga di depan sana di pinggir pantai depan rumahnya, bocah bocah usia 7 tahunan penerus kampung sedang bermain pasir dan berenang menabrak ombak. Tak ada yang perlu ditakutkan, mereka sudah menyatu dengan alam laut di sana. Tingkah para bocah rupanya menjadi hiburan tersendiri bagi Lar yang lagi "suam-suam kuku". Sekali sekali Lar tersenyum melihat para juniornya itu. Namun tetap saja ada yang masih mengganjal dalam pikirannya.
Dalam kamar yang hening. Sunyi yang sendiri. Lar diam seribu bahasa. Sekali-sekali bola matanya mengarah pada lampu pijar yang bergantung di langit langit kamarnya.
"Aduhh..Tuhan e nyala sudah kh..masa lama ngeri," ngomelnya penuh kesal.
Entah apa yang diinginkan Lar dari lampu pijar itu? Mungkin ada yang belum terjawab. Masih dalam tanya. Namun bayang obrolan dengan si dia nampaknya terus merasuk pikirannya.
Pukul 10.00 wita lampu masih padam. Lar beranjak ke dapur mencari makanan yang telah disiapkan emaknya sedari pagi hari. Di sana pas didapati ubi dan pisang rebus serta sambal tomat buatan mamanya dicampur daun kemangi. Tanpa pikir panjang 20 buah pisang dan ubi sepiring ludes dilahapnya. Sambal di mangkok tua putih pun bersih tak bernoda dihabiskan Lar.
Sambal itu rupanya cukup pedas hingga membuat Lar berkeringat. Dari permukaan hidungnya juga berjatuhan tetesan keringat yang muncul dari pori pori kulit kepalanya. Singlet putih bersih pun basah bak Lar baru selesai mandi.
Untuk itu Lar langsung bergegas ke kamar mandi membersihkan diri sambil menunggu listrik dihidupkan. Usai mandi Lar masih mencuci pakaiannya sendiri. Pakaiannya dilaburi dengan sabun wings. Perlu diketahui di kampungnya Lar sabun yang paling laris dan banyak dipakai untuk mencuci pakaian adalah sabun wings dalam kotak plastik. Mencuci menggunakan sabun wings dirasa sangat ampuh membunuh kuman. Bahkan kadang-kadang untuk membersihkan dan membunuh kuman di kepala, emak emak di kampung rutin menggunakan jasa sabun wings mencuci rambut dan kulit kepalanya.
Tapi tidak dengan Lar. Sabun wings cukuplah untuk mencuci pakaian. Karena ia sudah membeli shampo kesukaannya yakni sunslik. Meski permukaan bungkusan shampo itu bergambar seorang wanita cantik berambut panjang hitam terurai. Lar tetap kukuh memakainya, baginya semua rambut itu sama saja jadi wajar shampo sunslik juga bisa ia pakai.
Selesai mandi Lar mengeringkan badannya di bawah terik matahari. Bertelanjang dada dan bercelana pendek, Lar menikmati hangatnya mentari yang sebentar lagi mencapai ubun ubun. Lar pun masih melirik bola lampu depan rumah, memastikan listrik sudah bernyala atau belum.
Hingga pukul 11.30 wita lampu pun dinyalakan. Bocah- bocah pun berteriak "hore lampu nyala".
Rupanya mereka bahagia karena sebentar lagi akan menonton televisi di rumah tetangga yang memutar film Wiro Sableng. Bocah-bocah itu pun berlari meninggalkan area pinggir pantai dengan ombak menawan dan pasir putih halus.
Lar pun tak ketinggalan, berbalutkan celana olahraga pendek tipis menutup aurat serta bertelanjang dada, berlari ke kamarnya.
HP yang sedari tadi tersimpan di laci diambil lalu dicas pada terminal yang terpasang di meja kamarnya.
Tak menunggu lama, baterai HPnya yang baru terisi 10 persen langsung dicabutnya lalu dihidupkan. Mata yang terpaku seakan menanti sesuatu yang akan muncul dalam HP itu membuat situasi sekitarnya begitu menegangkan. Benar benar menegangkan.
Yang ditunggu akhirnya tiba. HPnya Lar akhirnya aktif. Ribuan pesan WA masuk pun bermunculan pada layar HPnya. Namun mata Lar hanya tertuju pada nama WA Si Dia.
Menunggu cukup lama, akhirnya pesan yang dari si dia pun masuk.
"Mat pagi kaka..," tulis Si Dia. Rupanya pesan itu telah dikirim sejak pagi tadi.
Lar kebingungan. Obrolan kacau kemarin malam masih menghantui pikirannya. "Aduh sa balas apa ini," katanya dalam hati.
Lar pun beranikan diri mengetik pesan "mat siang ade maaf baru balas, lagi apa adk," tulisnya. Saat hendak mengirim tulisan itu HP Lar habis baterainya dan off.
Lar begitu kesal. Hendak membanting HPnya tapi hanya itu saja yang ia miliki. Terpaksa dengan kesal dicasnya lagi hp tersebut. Tiba terdengar teriakan keras seorang ibu dari kejauhan.
"Tolonggg..Tolongggg," tampak terdengar dari jauh.
Seperti suara emaknya Lar.
***
Akhirnya bersambung...
Akhir Kata, kadang harapan selalu bergantung pada alam yang beri restu. Angin tak pernah mengatakan permisi lalu harus disalahkan. Tidak. Itu tidak mungkin.
Hal yang perlu diperbuat adalah tetap mengalir. Nanti juga ada yang datang dan kau sambut penuh senyuman.
Tunggu part 3 yah guys...
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.