Breaking News

Lipsus Tribun Flores

Gotong-royong Buat Sarung Tenun Sikka, Warga Kampung Ona Bisa Hidupi Keluarga hingga Jaga Tradisi

Warga Kampung Ona di Sikka harus menenun sarung tenun Sikka. Sarung tenun Sikka menjadi pekerjaan mereka untuk bisa menghidupi keluarga & jaga tradisi

Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM / GORDY DONOFAN
MENENUN - Dua orang anggota Kelompok Ulimuri tampak sedang menenun di Lo'a Kampung Ona Nangahure, Sikka, Flores NTT, Sabtu 19 Maret 2023. 

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Pagi itu, suasana di Kampung Ona Nangahure, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, sudah ramai.

Matahari sudah mulai menunjukkan batang hidungnya, mama-mama di Kampung Ona sudah bergegas menjalankan aktivitas mereka seperti biasa.

Cuaca yang begitu cerah dengan hawa dingin masih sangat menusuk kulit, tak mengurangi semangat mereka.

Warga terlihat mulai dengan rutinitas mereka masing-masing. Ada yang menyapu halaman, ada pula yang mengambil air di tempat penampungan.

Baca juga: Perjuangan Warga Palue di NTT, Suling Uap Panas Bumi Gunung Rokatenda Dapatkan Air Minum Bersih

Pagi itu juga terlihat sejumlah mama-mama mulai datang dan berkumpul di sebuah pondok atau warga setempat menyebutnya Lo'a.

Tampak satu-persatu mereka mulai duduk dan menunggu kawan-kawannya.

Sambil menunggu, mereka tampak saling bercerita sambil menyiapkan sirih pinang. Nantinya sirih pinang itu akan digunakan untuk memberi makan para leluhur.

Anggota Ulimuri Pose bersama
POSE BERSAMA - Anggota Ulimuri Pose bersama usai menenun, Sabtu 19 Maret 2023.

Bagi masyarakat di Kampung Ona yang mayoritasnya merupakan pengungsi dari Pulau Palue, Lo'a menjadi tempat menyimpan hasil panen dan tempat untuk menemukan ide-ide kreatif.

Mama-mama yang berkumpul di Lo'a itu merupakan Kelompok Tenun Ikat Ulimuri. Menurut warga setempat, Ulimuri berarti Tunas Baru.

Rupanya, kelompok Tenun Ikat Ulimuri ini terus berjuang untuk melestarikan warisan dari leluhur mereka.

Hingga kini, warisan budaya leluhur ini masih tetap dipertahankan dan dikembangkan, karena bernilai budaya dan ekonomi tinggi.

Sebelum mulai aktivitas, Bertina Toji tampak memberikan sesajian berupa sirih pinang dalam Lo'a. Hal itu dilakukan sebagai bentuk doa dan mohon restu leluhur bahwa hari itu mereka akan mulai bekerja.

Setelah memberi makan leluhur, mereka mulai bergegas ke kebun untuk mengambil bahan pewarnaan alami yang akan diolah sebagai warna pada benang untuk menghasilkan sebuah sarung yang cantik.

Saat tiba di tempat pengambilan daun, Ina Toji pun kembali melakukan ritual memohon restu leluhur.

Bagi mereka, ritual tersebut merupakan salah satu ungkapan syukur mereka atas berkat dan segala kebaikan Sang Pemberi napas kehidupan.

Tak lama kemudian, mereka mulai memetik daun. Bagi warga Ona, daun itu namanya Nila. Daun itulah yang nantinya akan dijadikan sebagai pewarna alami.

Baca juga: Cerita Mama-mama di Sikka, Gotong-royong Buat Sarung Tenun Ikat Agar Asap Dapur Tetap Mengepul

Proses Menenun

Daun-daun yang diambil kemudian dibawa dan dikeringkan untuk pewarnaan. Proses pengeringan memakan waktu 1 hari.

Proses kerja ikat tenun membutuhkan waktu yang cukup lama berawal dari menyiapkan peralatan, proses mendapatkan serat kapas, membuat serat menjadi benang, proses mengikat di atas benang, pewarnaan secara alami, dan menenun dilakukan secara turun temurun.

Proses awal adalah merubah serat kapas menjadi benang. Serat kapas akan dipintal hingga menjadi benang dengan menggunakan sebuah kayu berbentuk lonjong. Setelah selesai, benang tersebut lalu digulung pada batu kecil.

Proses berikutnya adalah Goan atau merangkai benang. Dari benang yang sudah dirangkai kemudian diikat membentuk sebuah motif. Dari motif yang telah diikat itulah yang kemudian akan diculup dengan dedaunan untuk pewarnaan.

Bahan dasar untuk pewarnaan alampun bervariasi.

Daun Nila untuk warna biru, kulit Mahoni untuk warna merah dan kunyit untuk warna kuning. Dari semua bahan tersebuh akan ditambahkan kapur siri sebelum benang dicelupkan.

Benang dan motif yang telah dicelup kemudian dikeringkan. Untuk mendapatkan hasil yang bagus, benang dan motif yang sudah kering dikanji lagi.

Setelah dikanji benang dan motif dibentang untuk melepaskan ikatan-ikatan tali pada motif. Setelah dilepas maka tahapan akhir yakni menenun.

Baca juga: Penyulingan Air Minum dari Uap Panas Bumi Rokatenda, Kearifan Lokal Kebanggaan Warga Palue di NTT

Gotong-royong

Usai melaksanakan kegiatan diluar, mama-mama ini kembali ke Lo'a.

Ukuran luasnya sekitar 3x4 meter dengan dindingnya pakai bambu. Di bagian depannya tempat untuk mama-mama mengikat benang dan di dalamnya untuk menenun. Semantara di bagian dinding-dinding yang tidak ditutupi dipajang sejumlah sarung tenun hasil kerja mereka.

Setiap hari, Lo'a itu sangat ramai. Pasalnya di Lo'a ini mama-mama melakukan aktivitas mereka mulai dari menyulam benang menjadi sebuah sarung tenun.

Ketua kelompok tenun Ikat Ulimuri, Maria Fatima Pali mengatakan, Lo'a mereka mulai dikerjakan bulan Oktober 2022.

Fatima menyebutkan, anggota Kelompok Tenun Ikat Ulimuri berjumlah 16 orang dan sistem kerjanya dibagi pakai sift. Dalam sehari, 5 orang akan bertugas untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing untuk membuat sebuah sarung tenun.

"Kami ada 16 orang dan kerjanya satu hari lima orang per hari. Untuk menghasilkan satu kain tenun kami kerja empat hari dan kami jual langsung ke Pasar Alok setiap hari Selasa," ujarnya saat dijumpai TRIBUNFLORES.COM Sabtu 19 Maret 2023.

Harga sarung tenun pun bervariasi. Jika bahan tenun dibuat dari pewarna alami, maka harganya berkisaran satu juta lebih dan jika dari bahan kimia harganya berkisaran lima ratusan ribu lebih.

"Kalau tenun yang dari pewarna alami harganya satu juta hingga satu juta tiga ratus ribu. Kalau yang dari bahan kimia harganya lima sampai enak ratus ribu rupiah, " ujar dia.

Menurut Fatima, dengan kerja berkelompok sangat mempermudah dan cepat menghasilkan selembar sarung. Perbedaan sebelum membentuk kelompok yaitu lama baru bisa menghasilkan satu buah sarung tenun karena tidak fokus dan banyak pekerjaan lain yang menghambat proses tenun.

"Kalau arti dari Ulimuri itu banyak, bisa tunas muda atau tunas baru, atau kemudi baru. Banyak artinya," ujarnya.

Ia mengatakan benang yang dipakai bisa didapatkan secara alami dari kapas asli dan digulung serta benang dibeli di toko.

"Kami gulung kapas asli dan juga beli di toko-toko," ujarnya.

"Kelompok Ulimuri ini dibentuk dari 2018. Dulu kami kerja sendiri-sendiri, tapi sekarang kami sudah bentuk 1 kelompok. Dulu kami kerja sendiri-sendiri, tapi sekarang kami sudah bentuk 1 kelompok. Dengan adanya kelompok ini membuat kami lebih semangat dalam bekerja. Untuk membuat 1 buah sarung tenun, kerjanya rumit. Dari Goang, dari pewarnaan, dari ikatnya, sangat-sangat sulit. Tapi dengan adanya kelompok ini kami senang," ujar Fatima.

Sementara itu, Sekretaris Kelompok Tenun Ikat Ulimuri, Maria Avelina Sophu (42) mengatakan kawasan itu setiap hari ramai. Karena mama-mama mulai menenun pada pukul 10.00 Wita hingga pukul 17.00 Wita.

Ia menuturkan kebersamaan disana sangat kuat dan jiwa saling membantu atau gotong royongnya masih sangat kuat sehingga tidak ada kendala bagi mereka untuk bekerja bersama-sama.

"Kalau lebar 84-85 centi meter dan panjangnya 180 Centi Meter atau 1,8 Meter," ujarnya.

Oma Kristina sedang memintal benang di Loa
PINTAL KAPAS - Oma Kristina sedang memintal kapas untuk jafikan benang di Loa, Kampung Ona Nanghure, Sikka, Flores, NTT Maret 2023.

Ia mengatakan saat ini mereka didampingi oleh beberapa orang yang peduli terhadap warisan leluhur itu. Mereka konsen dan fokus memberikan pelatihan serta motivasi agar ibu-ibu di Kampung Ona terus berjuang untuk bisa bertahan hidup.

Sebab tidak ada pekerjaan lain untuk mereka lakukan selain menenun. Dari menenun mereka bisa menghidupi keluarga mereka dan memenuhi kebutuhan sosial lainnya seperti acara adat.

Ia mengaku kendala saat itu adalah pemasaran. Jadi merekam masih sangat kesulitan untuk pemasaran tenun. Mereka biasanya langsung ke Pasar Alok, Kota Maumere untuk menjual tenun.

"Kendalanya pemasaran. Alat-alat di Lo'a ini belum lengkap. Belum ada ada papan pemidang, penyangga dan alat untuk rendam benang seperti periuk tanah tidak ada, terpaksa kami pakai baskom,"ujarnya.

Ia mengatakan jika tidak menenun maka secara ekonomi akan kesulitan dan tidak akan ada penghasilan.

Sebelum pandemi Covid-19 mereka banyak mendapatkan uang dari menjual sarung tenun.

Namun, saat pandemi semua mimpi mereka seolah sirna. Semangat mereka untuk menenun perlahan mulai pudar karena kesulitan memasarkan tenun, apalagi daya beli di pasaran sangat kurang.

Tapi mereka terus optimis karena kini pandemi sudah berakhir dan harus bangkit meskipun masih memiliki keterbatasan sarana dan prasarana, namun jiwa semangat mereka mulai berkobar lagi untuk menghasilkan sarung tenun yang berkualitas baik.

"Pekerjaan kami setiap hari begini sudah, kalau kami tidak tenun kami tidak bisa beli ini, beli itu, tidak bisa biayai anak-anak sekolah. Menenun ini sangat membantu kami,"ujarnya.

Ajarkan Anak-anak

Ada hal menarik pada Kelompok Tenun Ikat Ulimuri ini. Mereka tidak hanya mementingkan diri sendiri untuk menenun tapi juga mereka tidak mau warisan leluhur itu hilang.

Hal yang mereka lakukan adalah mengajarkan dan membimbing anak-anak mereka yang masih mengenyam pendidikan dibangku SD dan SMP.

Bagi mereka hal itu harus dilakukan sehingga anak-anak terbiasa dan bisa menjaga agar warisan itu tetap dilestarikan.

Hari itu tampak empat orang anak sedang bersama mereka untuk ikut menenun. Anak-anak itu juga tampak antusias melakukan Goang atau merakit benang sebelum dimulainya menenun.

Menurut mereka anak-anak sudah terbiasa menenun sejak SD karena di rumah orangtua juga diajarkan cara menenun.

Maria Marice Ndasa (14), siswi SMP Negeri 3 Maumere mengaku bangga dan senang karena sejak SD ia sudah bisa menenun.

Bagi Ica, menenun memang susah-susah gampang tapi demi membantu orangtua, tidak ada kata menyerah dan terus berupaya agar bisa menghasilkan tenun yang berkualitas.

"Saya belajar dari mama. Mama punya alat tenun jadi saya bisa. Saya belajar mulai pulang sekolah itu kalau saya tidak capai, "ujar siswi yang akrab disapa Ica ini.

Ica hampir setiap hari usai pulang sekolah biasanya langsung membantu sang mama untuk menenun atau aktifitas lainya seperti goang.

Baginya menenun bisa menghasilkan uang asalkan bekerja serius dan tekun.

"Saya senang karena dari tenun ikat bisa dapat uang. Harga tenun bisa mencapai 500.000 rupiah. Mama biasanya bagi kalau sarung tenun laku,"ujarnya

Dibimbing

Kelompok Ulimuri tak sendirian. Mereka dibimbing oleh seorang anak muda bernama Kristianus Pana.

Pemuda yang akrab disapa Tian ini sehari-hari bersama mereka di Lo'a untuk membimbing dan mengajarkan hal-hal baru terkait motif dan cara tenun yang baik.

Bagi Tian hal itu ia lakukan berawal dari keprihatinannya terhadap warga Kampung Ona yang merupakan pengungsi dan tidak memiliki lahan untuk digarap.

Tian kemudian berinisiatif untuk membentuk kelompok tenun. Tidak mudah memang, tapi ia tetap sabar dan terus memberikan motivasi kepada mama-mama, sehingga bisa bergotong-royong menghasilkan sarung tenun.

Jadi saya pikir Ulimuri yang kami beri nama Tunas Muda ini akan menjadi muda terus.

"Meskipun penghuni di dalam itu rambutnya sudah putih-putih semua. Tapi semangat usaha dan perjuangan mereka untuk mendukung perekonomian sebagai masyarakat pengungsian. Yang notabenenya bahwa di sini tidak ada lahan untuk bertani ataupun menghasilkan sesuatu. Sehingga mereka ambil jalan untuk menjadi penenun dan hasil tenun mereka sangat membantu perekonomia keluarga. Tidak hanya keluarga tapi banyak orang yang tertolong termasuk saya sendiri juga mengalami itu. Jadi saya bisa menolong lagi orang yang lain. Mereka juga mampu menolong keluarga, membiayai anak bersekolah, itu hasil dari mereka mengerjakan ini (tenun)." ujarnya.

Tian bersyukur tak hanya mama-mama yang semangat melestarikan budaya, tapi anak-anak usia sekolah juga mau ikut belajar menenun. (Kgg).

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved