Berita Ende
Hari Ini 98 Tahun Lalu, Perempuan Cantik, Watu Gamba Tak Bisa Diledakan di Jalan Trans Flores
FLORESWEG GEOPEND 31 Agustus 1925. Tulisan ini terpahat prasasti batu marmer yang menempel bongkahan batu raksasa warna hitam pada KM 17 Kota Ende.
Penulis: Egy Moa | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM, ENDE - FLORESWEG GEOPEND 31 Agustus 1925. Tulisan ini terpahat pada prasasti batu marmer yang ‘menempel’ pada bongkahan batu raksasa warna hitam pada Kilometer 17 arah timur Kota Ende tepatnya di Desa Tomberabu 2, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores.
Setiap saat melintasi ruas jalan Maumere-Ende atau sebaliknya akan menemukan batu raksasa pada bahu jalan di tikungan yang bersebelahan dengan jurang dalam disebelah selatan.
Beragam cerita tentang prasasti dan batu raksasa ini. Prasasti menjadi penanda dibukanya jalan Trans Flores pada masa pemerintahan Belanda menjajah Indonesia juga di Pulau Flores.
Jalan Flores berkelok-kelok mengitari punggung bukit, turun ke lembah, mendaki lagi ke punggung bukit ketemu pesisir. Liukan yang entah berapa banyak belum ada yang menghitungnya.
Baca juga: Final El Tari Memorial Cup Lawan PSN Ngada, Manajer Bintang Timur Optimis Bawa Piala ke Pulau Timor
Hari ini, Kamis 31 Agustus 203, tepat 98 tahun yang lalu. Jalan ini dirintis dan dibangun dengan kerja paksa atau kerja rodi oleh pemerintah kolonial Belanda yang menggerakan warga lokal.
Tak terhitung pula berapa banyak tenaga kerja dikerahkan di masa itu membangun jalan yang kini kita lewati setiap hari. Entah berapa banyak pula warga menjadi korban dari cara kerja paksa penjajah.
Budayawan Ende, Titus Tara menuturkan prasasti Watu Gamba menceritakan tentang perintisan pembangunan jalan lintas Flores dari Maumere ke Ende pada tahun 1920.
Kemudian antara tahun 1923 sampai 1924, demikian Titus, dilakukan pelebaran jalan menemui hambatan pada lokasi yang kini di sebut Kilometer 17.
Pelebaran terhalang batu besar, sedangkan jalan sempit. Bukit dan jurang di sisi-sisinya. Halangan itu, kisah Titus Tara dilaporkan kepada Ratu Belanda, Wihelmina.
Ratu mengutus sekelompok mahasiswa Belanda untuk meneliti batu tersebut agar bisa melebarkan jalan. Watu Gamba akan diledakan menggunakan bahan peledak.
Menurut penuturan narasumber Gedhe Ngasu, Hasan Ngoi, dan Reba Redo asal Tumberabu didukung oleh Ketua Adat Kampung One Witu Ende, Haji Abdulah Dae Mare, ada empat orang warga lokal mendampingi sekelompok mahasiswa Belanda supaya meledakan Watu Gamba.
Baca juga: Kantor Desa Lowolabo Sikka Disegel, Pelayanan Dialihkan ke Rumah Ex Camat
Alhasil, batu raksasa tersebut tidak bisa diledakan. Kelima mahasiswa asal Belanda jatuh pingsan ditempat akhirnya meninggal dunia di Ende.
Menurut tuturan lisan, demikian Titus Tara, sebelum kelima mahasiswa ini meninggal dunia, muncul perempuan cantik dari batu tersebut berkata demikian,”Mengapa kamu hancurkan tanah kami. Mengapa kamu bakar rumah kami. Kami akan usir kamu dari sini.”
Empat warga lokal yang menemani sekelompok orang Belanda mendadak menjadi buta dan tuli selama 19 bulan. Ketika sembuh, mereka menceritakan situasi mistik yang dialaminya. Semenjak itu, Watu Gamba tersiar ke seluruh Lio dan Ende. Watu Gamba dianggap mistik dan angker.
Musibah itu tak membuat kapok. Ratu Belanda, kata Titus Tara, mengutus lagi kelompok mahasiswa datang mengukur Pulau Flores. Kelompok mahasiswa yang satu datang dari arah timur menyatakan bahwa titik nol Pulau Flores ada di Kilometer 13.
Sedangkan kelompok mahasiswa yang datang dari barat menyatakan titik nol ada di Watu Gamba. Silang pendapat terjadi menentukan titik nol, sehingga disepakati titik nol Pulau Flores ada di Watu Gamba sebagai sentral Pulau Flores. Cerita yang terus terus berkembang hingga tahun 1940.
Baca juga: Serena Francis Terharu Bintang Timur Atambua Lolos ke Final El Tari Memorial Cup Rote Ndao
Kemudian pada 1937 atau sembilan tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Bung Karno yang saat itu berada di pengasingan di Ende menulis naskah sandiwara berjudul tujuh belas delapan empat lima.
Bung Karno, kata Titus Tara, dengan cerdas menganalisis angka-angka tersebut. Angka 17 di Kilometer 17, angka delapan atau Agustus sebagai peringatan dari Ratu Belanda atas kemistikan tanah Tumberabu, Ende dan Lio.
Kemudian angka empat dari penduduk lokal yang hidup dan angka lima dari mahasiswa Belanda yang meninggal dunia.
Maka lahirlah komitmen Bung Karno bahwa apapun terjadi harus proklamirkan Kkemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Berita Ende
Watu Gamba
Jalan Trans Flores Timur
Jalan Trans Flores Ende - Maumere
Tribun Flores.com
Ada Potensi Tersangka Baru Kasus Internet Desa, Simak Penjelasan Jaksa |
![]() |
---|
Jenazah Korban Tenggelam Disemayamkan di Teras Rumah, Keluarga Buat Ritual Adat |
![]() |
---|
Keluarga Berdatangan di Rumah Duka Doakan Kepergian Korban Tenggelam di Flores Timur |
![]() |
---|
Kantor Desa Lowolabo Sikka Disegel, Pelayanan Dialihkan ke Rumah Ex Camat |
![]() |
---|
Final El Tari Memorial Cup Lawan PSN Ngada, Manajer Bintang Timur Optimis Bawa Piala ke Pulau Timor |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.