Hari Rabu Abu
Makna Perayaan Rabu Abu dan Penggunaan Abu Tradisi Gereja Katolik Setiap Tahun
Sejumlah orang mungkin bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu?Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
Oleh: Romo William P. Saunders
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Sejumlah orang mungkin bertanya mengapa orang Katolik mengenakan abu pada hari Rabu Abu?
Bagaimanakah asal mula perayaan dan penggunaan abu?
Berikut ini adalah ulasan mengenai Rabu Abu dan penggunaan abu bagi umat Katolik setiap tahun.
Baca juga: Jadwal Misa Rabu Abu 2024 di Sejumlah Gereja Katolik Keuskupan Maumere
Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/ tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).
Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, "Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu." (Dan 9:3).
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.
Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka talah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tangahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11:21).
Gereja perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu."
Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja Perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan.
Baca juga: Pesta Santo Santa Selasa 13 Februari 2024 Lengkap Cerita Perjalanan Iman
Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepada mereka setelah pengakuan.
Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu."
Setelah memercikkan air suci, Imam beranya, "Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?" Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, "Saya puas." Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.
Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.