Berita NTT
Tes Diagnostik Cepat Rabies Bantu Upaya Pengendalian Rabies di Nusa Tenggara Timur
Wabah penyakit rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), belum sepenuhnya teratasi. Salah satu
Penulis: Berto Kalu | Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Wabah penyakit rabies di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), belum sepenuhnya teratasi. Salah satu tantangan utamanya adalah deteksi dini hewan penular rabies (HPR), seperti anjing, kucing, dan monyet, untuk memastikan hewan tersebut positif rabies.
Hingga Agustus 2024, tercatat 18 warga Kabupaten TTS meninggal dunia akibat gigitan anjing dari total 4.915 kasus gigitan. Gigitan anjing tersebut menyerang semua usia, mulai dari bayi dan anak-anak, dewasa, hingga lansia.
Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies ditetapkan di Kabupaten TTS pada bulan Mei 2023, setelah kejadian gigitan anjing yang berakibat fatal menjadi kasus pertama di daerah tersebut.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dengan dukungan dari Kemitraan Australia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), bergerak cepat dalam menanggapi situasi tersebut dengan memberikan pelatihan bagi laboratorium kesehatan hewan di empat kabupaten (Sikka, TTS, Belu, Manggarai Barat) dan provinsi terkait Panduan Teknis Diagnosis Rabies.
Dilaksanakan pada bulan Juli 2024 bekerja sama dengan Balai Besar Veteriner Bukit Tinggi (laboratorium untuk mendeteksi kasus rabies), pelatihan tersebut mencakupi cara mendeteksi rabies lebih cepat menggunakan Rapid Immunohistochemical Test (dRIT) dan Rapid Antigen Test.
Setelah pelatihan, AIHSP juga mendistribusikan 40 alat tes ke setiap distrik serta ke Laboratorium Kesehatan Hewan Provinsi, yang juga menerima delapan tabung dRIT, yang masing-masing dapat digunakan sebanyak 16 kali.
Tes cepat tersebut dapat memberikan hasil dalam waktu sekitar 10 menit, sehingga memungkinkan diagnosis awal sebelum sampel otak anjing dapat dikirim ke laboratorium hewan di Denpasar, Bali, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kepala Dinas Peternakan TTS drh. Dianar A. S. Ati, menjelaskan bahwa meskipun tes cepat rabies memudahkan diagnosis awal, namun bukan satu-satunya tes definitif. Sampel otak anjing masih harus divalidasi melalui pengujian laboratorium, yang biasanya memakan waktu lebih dari satu bulan untuk mendapatkan hasilnya.
"Jika hasil tesnya positif, hampir dapat dipastikan positif karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap rabies. Namun, jika hasilnya negatif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan di Denpasar untuk konfirmasi. Ini sebagai uji skrining awal," katanya.
Meski memiliki keterbatasan, drh. Ati menegaskan bahwa rapid test yang diperkenalkan oleh AIHSP ini sangat membantu dalam pendeteksian dini penyakit yang ditularkan oleh anjing pembawa rabies. Keunggulan lainnya adalah rapid test ini mudah dipahami dan digunakan oleh petugas vaksinasi lapangan.
“Ini tentu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Meskipun merupakan alat skrining, alat ini sangat membantu. Pengoperasiannya yang sederhana tidak memerlukan teknologi canggih atau peralatan laboratorium, sehingga cocok untuk digunakan di lapangan sebagai uji awal. Mungkin itulah yang memotivasi pengembangannya,” jelasnya.
Drh. Ati menambahkan, selain inovasi rapid test, AIHSP juga memberikan dukungan yang cukup besar kepada Pemerintah Kabupaten TTS dalam upaya pencegahan dan penanggulangan rabies.
Dukungan ini meliputi peningkatan kapasitas petugas lapangan untuk meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat.
Setelah mengikuti pelatihan dRIT dan Rapid Test, petugas laboratorium kesehatan hewan di TTS kini telah memenuhi syarat untuk menguji sampel otak anjing guna mendeteksi rabies sendiri.
Sejak Juli 2024, telah ada 226 sampel otak anjing yang diuji dengan Rapid Antigen dan dRIT.
Setelah melihat efektivitas penggunaan rapid test di lapangan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNBD) provinsi, turut membantu mendistribusikan rapid test secara lebih luas.
Data rapid test juga membantu para pengambil keputusan dalam pendistribusian vaksin rabies untuk hewan serta Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR).
“Pada tahun 2023 tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk penyakit ini, karena kemunculannya tidak terduga, dan anggaran tahun 2023 sudah ditetapkan. Kami menghadapi kendala operasional di lapangan, namun kendala anggaran tersebut kemudian diatasi melalui intervensi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Untuk anggaran tahun 2024, Pemerintah Kabupaten TTS telah mengalokasikan dana operasional untuk sosialisasi pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di 20 desa,” kata dr. Ati.
Pemerintah Kabupaten TTS tetap berkomitmen pada pencegahan dan penanggulangan rabies. Saat ini, Pemerintah Kabupaten TTS memiliki 54 vaksinator, yang menjalankan berbagai peran, termasuk sebagai inseminator dan petugas kesehatan hewan. Semuanya berpartisipasi dalam program peningkatan kapasitas yang diselenggarakan oleh AIHSP.
Semua sumber daya pemerintah daerah telah dikerahkan untuk menanggulangi wabah tersebut. “Ada komitmen kuat untuk memberantas rabies karena ini menyangkut keselamatan nyawa manusia,” tegas drh. Ati.
“Kami tentu berharap bahwa ketika program ini berakhir, akan ada perhatian yang berkelanjutan, mungkin dengan nama program yang berbeda, tetapi tetap melanjutkan pekerjaan yang digagas oleh AIHSP di TTS. Menanggulangi rabies bukanlah upaya satu atau dua tahun; ini memerlukan tindakan berkelanjutan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten TTS, Dirkh Jonmelson Sunbanu, melaporkan bahwa rapid test rabies sudah dilakukan di wilayahnya sejak November 2023. Dua orang petugas Dinas Peternakan Kabupaten TTS mendapatkan pelatihan dari Dinas Peternakan Kabupaten TTS dan menularkan ilmunya kepada tenaga vaksinator lapangan yang tergabung dalam tim sosialisasi.
“Rapid test ini sangat membantu. Sampel HPR diuji menggunakan rapid test, dan saat sampel dikirim ke Bali, hasilnya 99 persen akurat,” ungkapnya.
Ia menambahkan, hal ini membantu dalam penanggulangan penyakit rabies di Kabupaten TTS secara lebih efektif, karena memungkinkan diagnosis yang cepat, sehingga korban gigitan dapat segera ditangani.
“Saat tim puskeswan menerima sampel dari lapangan, mereka akan membawanya ke kantor Dinas Pertanian untuk dilakukan pemeriksaan. Jika hasilnya negatif, sampel akan dikirim ke Balai Veteriner Denpasar untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika hasilnya negatif, tim puskeswan akan menginformasikan kepada korban bahwa tidak perlu dilakukan vaksinasi lagi. Jika hasilnya positif, kami memastikan korban mendapatkan vaksinasi lengkap. Proses ini sangat efektif karena korban gigitan akan segera mendapatkan penanganan,” kata Dirkh.
Ia menceritakan bahwa ketika penyakit rabies pertama kali muncul di TTS, masyarakat takut untuk memvaksinasi anjing mereka. Bahkan ada yang menyembunyikan hewan peliharaan mereka di dalam rumah karena takut dimusnahkan.
Ketika Pemerintah Kabupaten TTS mengumumkan wabah rabies, semua anjing dan hewan pembawa rabies (seperti kucing dan monyet) wajib diikat atau dikandangkan oleh pemiliknya. Anjing yang tidak diikat akan dimusnahkan.
Peraturan ini tertuang dalam Keputusan Bupati TTS Nomor Dinkes 07.3.1/2694/V/2023 tentang wabah penyakit rabies di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai menyadari bahaya penyakit rabies setelah mendapatkan penyuluhan.
“Sekarang masyarakat sudah paham. Kalau anjing masih berkeliaran di desa-desa, apalagi secara berkelompok, itu sangat berbahaya. Sekarang sudah lebih mudah untuk melakukan vaksinasi, bahkan masyarakat sudah menghubungi kami langsung untuk memvaksinasi anjingnya,” kata Dirkh. Total 69.500 ekor hewan penular rabies (anjing, kucing, dan monyet) di TTS sudah divaksinasi.
Terlepas dari kemajuan ini, Dirkh mengakui masih terdapat kendala keuangan dan tantangan lain dalam pencegahan dan pengendalian rabies di TTS.
Yang memotivasi tim puskeswan untuk bekerja secara sukarela adalah karena mereka paham betapa berbahayanya penyakit rabies. Sebagai manusia, kita memiliki tanggung jawab sosial untuk mencegahnya karena tidak ada obat untuk penyakit rabies selain pencegahan. Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi, AIHSP, dan pihak universitas membantu kami dalam pengadaan vaksin,” jelasnya.
Dirkh berharap kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta terus diperkuat. Ia optimis, Provinsi NTT khususnya Kabupaten TTS, dapat segera terbebas dari penyakit rabies.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Tes Diagnostik Cepat Rabies
vaksin anti rabies
Cegah Penularan Rabies
Penyakit rabies
TribunFlores.com
Seorang Pria di Sikka NTT Ditemukan Tewas di Bambu Petung |
![]() |
---|
Renungan Harian Katolik Sabtu 14 September 2024, Anak Manusia Harus Ditinggikan |
![]() |
---|
Viral di TikTok, Pemuda NTT ke Jember Temui Pacarnya Namun Ditolak |
![]() |
---|
Fitur Live Streaming Dorong Penjualan Brand Lokal Naik 5X Lipat di Shopee 9.9 Super Shopping Day |
![]() |
---|
Ketua APDESI dan Warga Nagekeo Harap Bantuan Rumah bagi Keluarga Kurang Mampu Terus Dilanjutkan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.