Berita Sikka

Riak Rocket Queen di Ujung Tahun, Ciptakan Pusaran Musik Indie di Kota Maumere

Senandung 7 lagu Rocket Queen dari dua mini album hangatkan dinginya Kota Maumere yang terus diguyur hujan bulan Desember di ujung tahun 2024.

|
Penulis: Cristin Adal | Editor: Cristin Adal
TRIBUNFLORES.COM/KRISTIN ADAL
PERTUNJUKAN- Pertunjukan musik Rocket Queen di aula Karmel Biara Bo. Dionisus Wairklau, Kamis (12/12/2024) malam. 

Laporan Reporter TribunFlores.Com, Kristin Adal

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE- Senandung 7 lagu Rocket Queen dari dua mini album hangatkan dinginya Kota Maumere yang terus diguyur hujan bulan Desember di ujung tahun 2024.

Rocket Queen, musik project yang dijalankan pasangan suami istri, Bernad Lazar dan Trisna di Kota Maumere, Kabupaten Sikka. Proyek musik dengan genre indie sebagai singkatan dari ”independen” menyiratkan kebebasan, ketakterikatan dan gerilya menunjukan wajahnya.

Kebebasan dan katakterikatan sebagai ciri dari genre musik indie, Rocket Queen mulai membuat riaknya sendiri di ujung tahun ini dengan meluncurkan mini album kedua yang berjudul "Logic" di aula Karmel Biara Bo. Dionisus Wairklau, Kamis (12/12/2024) malam.

Lagu "Kabut di Pagi Hari" dari mini album pertama berjudul "Geo" dinyanyikan oleh Trisna sebagai lagu pembuka dalam extand play (EP) launching album "Logic" mengantar penonton masuk dalam pusaran musik Rocket Queen. Membuat penonton menikmati pesan yang tersirat dari setiap kata dalam lirik lagu yang ditulis Bernad Lazar, juga keyboardist Rocket Queen.

Baca juga: Tarian dan Musik Tradisional, Ungkapan Syukur Masyarakat Pemo Ende Sambut Pesta Adat Musim Tanam

 

 

"Ego, mini album pertama kami rilis dua tahun lalu kemudian hari ini ada tujuh lagu yang kami nyanyikan. Tidak terasa Rocket Queen sudah bikin tujuh lagu walapun lagu terbaru dari mini album kedua 'Logic' akan beredar tahun depan 1 Januari 2025. Sekilas perjalanan album kedua,"ungkap Trisna usai menyelesaikan lagu pembuka.

Trisna kemudian mengajak penonton untuk menikmati lagu dari album pertama "Matahari Terbit" yang ditulis suaminya dan Erlny Lasar. Sampai pada tiga lagu dari album kedua, "Adu Rayu Jarak, Bujur Timur, dan Bersandar & Menanti". 

Sebelum setiap lagu dinyanyikan, Trisna dan Bernad berbagi cerita di balik setiap lagu baik itu pengalaman hidup mereka sebagai pasangan suami istri, orang tua, maupun sebagai manusia, musisi dan masyarakat sosial.

"Lagu-lagu di album pertama ini sebenarnya adalah pesan bagaimana pembangunan pemerintah mulanya atas nama cinta  namun tanpa disadari merusak alam dan menyengsarakan masyarakat,"kata Bernad.

Hingga dua lagu lagi dari album pertama, "Musim Mencintaimu dan Badai dari Selatan" di akhir konser mini album ini, Trisna mengajak menonton untuk berdiam sejenak untuk mengenang 32 tahun tragedi gempa dan Tsunami Flores yang merengut banyak jiwa di Kabupaten Sikka dan beberapa daerah di Pulau Flores.

"Lagu ini juga dari keadaan alam dari sehari-hari menjadi bagian dari hidup kita, kita sering lihat angin jahat kemudian menjadi bencana dari sudut pandang manusia mungkin kita anggap biasa namun sebenarnya tidak jarang kita tidak memperlihatkan cinta kita pada alam dengan banyak cara. Mari kita menggenang 32 Tsunami Flores dan sama-sama berdoa untuk korban dan komitmen kita untuk hidup bersama dalam kasih,"ucap Trisna menutup konser mini ini dengan lagu "Badai dari Selatan".

Baca juga: Gideon Internasional Cabang Maumere Salurkan Bantuan Alkitab ke Warga Binaan Rutan Maumere

Ciptakan Pusaran Sendiri

Bernad Lazar di tengah-tengah mini konser musik ini berbagi cerita perjalanan Rocket Queen bergerak dari Maumere dari panggung kecil yang didukung Komunitas KAHE untuk menciptakan riaknya sendiri dalam genre musik indie di Pulau Flores.

"Harapan untuk Rocket Queen, bisa menginspirasi teman-teman yang lain yang tetap menghasilkan karya di tengah kesibukannya.  
Harapannya lebih besar, saya sering cerita ke teman termasuk KAHE, Rocket Queen pernah mendaftar untuk ikut festival di  di luar NTT tapi terkendala biaya akomdasi yang mahal jika membawa band,"kata Bernad. 

Bernad mengakui  biaya akomodasi yang sangat besar membuat Rocket Queen tidak berani untuk tampil pada festival-festival ternama yang dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia seperti Makassar, Jogja hingga Jakarta. Namun bagi Bernad itu bukan penghalang tapi menjadikannya ruang untuk berkarya di daerah sendiri.

"Kami memberi tahu bahwa kita juga bisa, bikin pusaran kita sendiri tidak  harus ke sana dan kita bisa bikin karya di sini. Sebenarnya Rocket Queen mau memberi contoh bahwa kita punya satu acara musik besar dan kita punya karya yang selalu bersabar dan bisa maju,"ujar Bernad.

Memulai Kebiasaan

Menurut Ketua Komunitas KAHE Eka Putra Nggalu, genre musik indie mungkin belum familiar di Flores dan Maumere khususnya. Tapi kata Eka, genre musik indie di Maumere mulai berkembang seperti Rocket Queen, Pon Daisy dan beberapa lainnya.

"Saya secara pribadi melihat potensi teman-teman banyak sekali yang membuat music indie dan bagus-bagus. Kita bisa mulai dulu dengan apa yang ada dan hasil rekamannya setelah kita rekam bagus,"ungkap Eka. 

Memperkenalkan musik indie tak harus dalam konser besar.  Musisi dapat membangun kebiasaan masyarakat melalui pertunjukan musik sekala kecil atau gigs dan kebiasaan membeli tiket sebagai bentuk apresiasi untuk musis lokal.

"Kebiasaan itu kita harus buat dan kita kondisikan walapun kita punya keterbatasan alat dan banyak hal tapi kita harus mulai dulu. Selain itu dengan adanya platform musik  digital  kita bisa pakai itu dulu. Sambil yang digital jalan kita membiasakan yang offline-offline kata Eka.

Ia mengakui bahwa penonton dalam pertunjukan musik yang dilakukan Rocket Queen bersama Komunitas KAHE kali ini jauh di bawah target. Namun itu bukan soal kuantitas tapi bagaimana membangun kebiasaan, dan membangun keiingan orang membayar tiket.

"Tidak apa-apa di awal bukan soal kuantitas dulu. Ini masih dalam tahap uji coba bagaimana warga mengapresiasi atau teman-teman seniman mendukung tidak. Belum yang muluk-muluk,"ujar Eka.

Eka menyebut Komunitas KAHE secara kolektif bergerak dalam seni pertunjukan dan fokusnya pada teater, riset, dan produksi pameran. KAHE akan terus buka ruang untuk musisi lain dan konsisten mendukung seniman untuk konser karya mereka. 

"Musik ini kami bukan pencipta, kami bukan creator tetapi kami mengambil posisi menjadi platform yang mengupayakan tumbuh suburnya karya para musisi. Banyak bakat banyak komunitas, komunitas sudah bergerak dan kapan pemerintah. ungkapnya

Eka juga mengingatkan bahwa kesenian itu bisa jadi alat untuk transformasi sosial. Seni itu punya kemampuan untuk mendokumentasi,mempersuasi orang, dan mengajak orang bergerak. 

"Lagu, teater, musik, karya visual foto itu selalu bisa punya energi untuk menggerakan perubahan sosial. Kami percaya itu berlangsung lama, ini harus didukung oleh semua orang. Seni punya kedewasaan untuk menyampaikan pesan terhadap masalah politik, kemiskianan, kasus korupsi, pembangunan yanag tidak ramah ekologi,"pungkas Eka.

Apresisasi Dewan Kesenian Sikka 

Ketua Dewan Kesenian Sikka (Waniana) Nyong Franco mengapresiasi gelaran konser skal kecil Rocket Queen yang diprakarsai Komunitas KAHE di pengujung tahun 2024. 

"Sebagai pegiat seni juga mewakili teman-teman Dewan Kesenian Sikka mengapresiasi, kita tahu bahwa di Indonesia Timur banjir lagu joget kemudian, banjir lagu Ambon. Dan kita tahu musik seperti Rocket Queen ini mereka punya komunitas yang ada di mana-mana tapi jarang  yang mau karena ini ekslusif,"kata pencipta lagu Gemu Fa Mi Re ini.

Menurutnya, pertunjukan musik Rocket Queen menyeimbangkan genre musik di Kabupaten Sikka dan anak-anak muda memiliki banyak referensi musik.

Berita TribunFlores.Com Lainnya di Google News

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved