TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Warga Kampung garam di Sikka sejak dulu kala sudah memproduksi garam halus.
Mereka bertahan hidup dengan menjual garam halus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mereka tak pantang menyerah. Kadang mengalami kesulitan dan kadang beban hidup mereka ringan saat garam yang mereka produksi lari di pasaran.
Berikut ini adalah liputan khusus TRIBUNFLORES.COM.
Baca juga: Pelajar di Pedalaman Ende Menantang Sungai Demi Cita-cita: Pak Jokowi Tolong Kami
Di dalam pondok beratapkan daun kelapa, pada siang yang terik di Pesisir Pantai Teluk Maumere, Petrus Blasing (41) dengan peluh membasahi sekujur kulitnya yang legam.
Lelaki itu memandang bara api yang membakar batang-batang kayu dalam tungku. Di atas tungku itu, sebuah bak aluminium berukuran 1 x 2 m dengan tinggi 30 cm berisi air warna putih kekuningan sedang mendidih.
Tempat itulah yang disebut Kubik oleh masyarakat Kampung Garam.
Piter, pria bujangan itu tak beranjak dari pondoknya untuk menjaga agar api tetap membara.
Dalam hitungan empat atau lima jam, cairan yang menggelegak itu akan memadat berubah menjadi butiran garam.
Begitulah cara orang-orang Kampung Garam, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka membuat garam secara turun-temurun.
Baca juga: Cerita Warga soal Penemuan Tengkorak dan Tulang Belulang Manusia di Desa Habi Sikka
Sebelum dimasak, garam kasar harus direndam dengan air laut pada tempat penyaringan yang dibuat semacam bak yang diisi lumpur berpasir di ketinggian dua meter.
Di bawah bak, disiapkan tandon penampung air yang menetes dari atas penyaringan.
Air tirisan itulah yang kemudian dipindahkan ke dalam bak di atas tungku untuk dimasak menjadi salah satu bahan utama pemberi rasa asin pada makanan.
Prosesnya masih sangat tradisional, 12 ember air dari titisan tadi akan dimasak selama 4 jam untuk menghasilkan butiran-butiran garam halus.