Oleh: Emanuela Natalia Nua, S.Kep.,Ns.,M.Kep
Dosen Keperawatan Universitas Nusa Nipa Indonesia
Stunting adalah kondisi ketika tinggi badan anak balita lebih pendek dari usianya akibat dari kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu yang lama. Istilah lain stunting adalah balita yang bertubuh pendek atau terlalu pendek untuk usianya. Tidak semua balita pendek itu stunting, tetapi anak yang stunting sudah pasti pendek. Untuk itu perlu dibedakan dengan dilakukan pemeriksaan oleh tenaga professional.
Secara umum penyebab utama stunting adalah malnutrisi atau kekurangan nutrisi dalam jangka panjang (kronis). Kekurangan asupan gizi ini bisa terjadi sejak bayi masih dalam kandungan karena kebutuhan nutrisi ibu tidak mencukupi selama kehamilan. Selain itu, anak yang kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi selama masa tumbuh kembangnya juga bisa mengalami stunting.
Merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, angka stunting di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 42,6 persen dan menempati urutan tertinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, faktor risiko kejadian stunting pada balita di NTT meliputi usia anak, tingkat pendidikan ibu dan tempat tinggal anak.
Prevalensi lebih banyak ditemukan pada anak usia 12-23 bulan dibandingkan dengan anak usia dibawah 12 bulan. Anak usia dibawah 12 bulan memiliki efek perlindungan dari ASI Eksklusif enam bulan pertama yang dapat memberikan perlindungan yang efektif.
Baca juga: Ketua Prodi Gizi Poltekkes Kemenkes Kupang; Perlu Mitigasi di Posyandu Atasi Stunting di NTT
Praktik pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat selama tahap penyapihan diduga menjadi faktor penyebab, ketika bayi beralih dari ASI eksklusif ke makanan pendamping dalam makanannya, dapat menyebabkan peningkatan prevalensi stunting pada anak balita di Nusa Tenggara Timur.
Jika anak hanya diberikan ASI terus menerus tanpa diberikan makanan pendamping ASI pada usia yang tepat, maka akan timbul masalah tumbuh kembang anak. Selain itu, seiring bertambahnya usia anak, mereka lebih banyak terpapar penyakit dan gangguan masa kanak-kanak, termasuk makanan dengan kebersihan yang buruk dan lingkungan yang tidak bersih, yang dapat mengganggu pertumbuhan mereka.
Faktor dominan lainnya terkait kejadian stunting di NTT, yaitu anak dari ibu yang berpendidikan rendah dan anak yang tinggal di daerah pedesaan. Pendidikan ibu mempengaruhi pola pengasuhan, termasuk pengaturan gizi selama praktik pemberian makan dan menjaga kesehatan anak. Ibu yang berpendidikan dapat menerima informasi dari luar dan menambah pemahaman serta pengetahuannya tentang pengasuhan anak.
Anak yang orangtuanya tinggal di pedesaan memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan karena sistem pelayanan kesehatan yang lengkap dan akses fasilitas kesehatan yang lebih mudah di daerah perkotaan. Selain itu, penduduk perkotaan biasanya memiliki pendidikan dan status ekonomi yang tinggi.
Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai macam strategi untuk mempercepat penurunan stunting, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Untuk menurunkan kejadian stunting di NTT, diperlukan intervensi yang berfokus pada peningkatan pengetahuan ibu balita tentang kesehatan, pola asuh dan gizi. Untuk mencegah stunting pada anak, diperlukan kerjasama lintas sectoral untuk melakukan intervensi bagi ibu berpendidikan rendah.
Perlunya peningkatan peran kader dalam pemantauan tumbuh kembang balita di Posyandu khususnya di pedesaan. Sosialisasi intensif tentang peningkatan status gizi selama kehamilan dan mempraktekkan kebiasaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan ASI sampai anak berusia 24 bulan. Pemberian makanan tambahan dapat berupa biskuit yang kaya nutrisi dan makanan sehat sesuai usianya.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News