Dua karakter hamba dihadirkan oleh Yesus dalam perumpamaan untuk mengarahkan pilihan para Rasul dan juga kita saat ini, dalam mempersiapkan kedatangan hari Tuhan.
Persiapan akan kedatangan hari Tuhan itu bukanlah soal hitungan hari, bulan, atau tahun, atau memastikan dengan hitungan matematis.
Persiapan kita adalah sebuah proses seumur hidup. Menjalani apa yang telah diajarkan Yesus, adalah cara kita mempersiapkan diri sepanjang hidup kita.
Tindakan atau perbuatan baik kita bukan untuk mendatangkan pujian atau memberi kesan yang baik kepada orang lain, atau bahkan kepada Tuhan.
Kita memilih untuk menjalani kehidupan yang baik, karena kita meyakini bahwa ini adalah pilihan hidup yang benar-benar layak untuk dijalani, yang pada akhirnya mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan bagi banyak orang.
Inilah karakter dari hamba yang pertama, yang setia dengan tugasnya, terlepas dari apakah tuannya berada di rumah atau tidak. Dia hanya puas dengan apa yang dilakukannya, karena menyadari statusnya sebagai pelayan.
Pada titik inilah dia menyadari perannya dalam rencana keselamatan Allah. Dia menemukan sukacita, kebahagiaan, dan kekuatan melalui apa yang dilakukannya, karena menyadari panggilan hidupnya ini.
Karakter hamba ini tidak membutuhkan pengawasan dalam bentuk apa pun karena motivasi untuk melakukannya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan sebuah paksaan dari luar.
Dalam perspektif Yesus, gambaran hamba ini adalah hamba yang setia dan bijaksana. Kesetiaannya itu berbuah pada apa yang diterima dari tuannya, “sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya”(Mat. 24:47).
Pada saat kita menjalani hidup dan panggilan kita dengan setia dan mengasihi sesama kita, maka kita juga akan diberi tanggung jawab yang lebih besar.
Kasih kita kepada sesama, bertumbuh dari cara kita mengasihi diri kita sendiri. “Kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri” (Mat. 19:19).
Ketika kita tidak bisa mencintai diri kita sendiri secara otentik, maka kita juga tidak sanggup untuk mencintai lebih banyak orang lagi dalam hidup kita.
Panggilan kita menjadi orang Kristen bukan berarti serta merta menjadikan kita orang yang sempurna atau kudus.
Justru dalam kelemahan kita sebagai manusia itulah Allah menghendaki agar cinta-Nya yang telah diberikan kepada manusia itu menjadi cara kita juga mengejar kesempurnaan bersama Dia.
Rasul Paulus menyadari panggilan hidupnya sendiri, dan tahu bahwa tidak ada kesempurnaan yang utuh selama manusia masih berada di dunia ini.