TRIBUNFLORES..COM, LABUAN BAJO - Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi belum lama ini menyebut banyak hutan mangrove di wilayah Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, dibabat untuk pembangunan hotel mewah.
Menurutnya, ini menjadi persoalan serius yang harus diselesaikan bersama oleh pemerintah daerah dan seluruh instansi terkait, guna menjaga kelestarian alam di Labuan Bajo. Bagi Edi slogan saja tidak cukup, melainkan harus ada tindakan nyata.
"Bagaimana kita menonton bakau ditebang untuk pembangunan hotel, saya kira ini jadi pekerjaan rumah kita bersama. Jika menatap ke arah barat, yang 10 tahun lalu bakaunya bertumbuh dan berkembang sangat bagus, saat ini kalau kita lihat bisa menangis, sudah hancur berantakan, yang ada hanya hotel-hotel mewah," kata Edi.
Edi mengatakan, hutan mangrove merupakan salah satu jenis ekosistem yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan di bumi. Kerusakan hutan mangrove bisa menimbulkan berbagai dampak buruk bagi manusia dan lingkungan.
Baca juga: Provinsi NTT Kembali Terima Tiga Jenazah PMI dari Malaysia, Total 112 Jenazah hingga September 2023
Selain itu, mangrove juga menjadi tameng dari ancaman abrasi hingga rob di tengah bencana iklim yang bisa saja menerpa kawasan pesisir Labuan Bajo.
"Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, seluruh institusi ada di tempat ini (Manggarai Barat) tugasnya bagaimana menjaga ekosistem," kata Edi mengingatkan.
Ribuan Hektare Lahan Mangrove Belum Dilindungi Negara
Berdasarkan data dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Manggarai Barat, luas lahan mangrove di Manggarai Barat mencapai 2.892,36 hektare, tersebar di Kecamatan Komodo, Lembor, Boleng, Macang Pacar dan Kecamatan Sano Nggoang.
"Tersebar dari Barat (Komodo) sampai ke wilayah utara (Boleng) Manggarai Barat, itu yang terbanyak," jelas Kepala KPH Manggarai Barat, Stefanus Nali, Selasa 26 September 2023.
Baca juga: Presiden Jokowi dan Keluarga akan Libur di Labuan Bajo Selama 4 Hari
Meski Manggarai Barat memiliki wilayah mangrove yang luas, ternyata belum ada yang dilindungi negara, atau masuk dalam kawasan konservasi laut (marine protected area/MPA), program Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Wilayah mangrove yang tidak masuk dalam kawasan konservasi tersebut rawan dialihfungsikan.
Stefanus menyebut pernah ada rencana menjadikan lahan mangrove di wilayah Boleng dan Pulau Longos menjadi kawasan ekosistem esensial (KEK), namun hingga kini belum terealisasi.
Selain itu, angka 2.892,36 hektare itu merupakan data tahun 2015, pihak KPH belum memiliki data terbaru sehingga tidak bisa dibandingkan dari sisi jumlah luas lahan setiap tahunnya.
"Artinya potensi untuk dia (luas lahan) bertambah bisa, kurang juga bisa," kata Stefanus.