Festival Tedo Temu Wesa Wela

Bakar Nasi Bambu Rangkaian Ritual Adat Festival Tedo Tembu Wesa Wela di Pemo, Ende NTT

Penulis: Gordy Donovan
Editor: Gordy Donovan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

NASI BAMBU - Suasana masak nasi bambu di Ka Are Po'o Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, NTT, Selasa 24 Oktober 2023.

Laporan Reporter TRIBUN FLORES. COM, Gordy Donofan

TRIBUN FLORES. COM, ENDE - Sejumlah laki-laki Desa Pemo menuju Ka Are Po'o 500 an meter dari Kampung Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, NTT, Selasa 24 Oktober 2023 sekitar pukul 08.15 Wita.

Mereka mengenakan sarung khas Pemo. Bahasa setempat Kain Ragi. Beberapa pria terlihat membawa bakul berisi beras merah dan seekor ayam jantan.

Menuju Ka Are Po'o tidak memakai alas kaki. Medannya sangat terjal. Mereka tampak berjalan pelan menuju turunan yang cukup terjal.

Ranting pohon kiri-kanan jalan dan rumput-rumput kering menjadi tumpuan saat mereka jalan pada jalanan yang sangat sempit menembus hutan.

Baca juga: Warga Pemo Siapkan Persembahan saat Festival Tedo Tembu Wesa Wela di Pemo Ende Flores

 

 

Kaki-kaki mereka tak luput dari duri-duri hingga dedaunan gatal dan berduri.

Kurang lebih 30 menit perjalanan, mereka pun tiba di Ka Are Po'o. Sampai disana mereka langsung membersihkan tempat untuk melakukan ritual hingga membakar nasi bambu.

Seorang pria dengan cepat memotong sebuah bambu, lalu dipotong -potong dijadikan tempat menyimpan beras dan air untuk dimasak.

Sebelum dimasak, para pria lainnya menuju mata air Ae Wa'u untuk membersihkan ruas bambu.

Setelah ruas bambu dibersihkan. Mereka kembali menuju Ka Are Po'o untuk memasak nasi bambu.

Api begitu cepat menyala. Bambu berisi beras dan air pun disimpan persis dekat bara api. Beberapa orang sigap membalik agar tak hangus.

Selang setengah jam kemudian, nasi bambu pun masak. Mereka membela bambu dan langsung mencicipi nasi merah yang sudah masak.

Satu ekor ayam yang sudah dibunuh dimasak menggunakan bambu dan dibakar. Ayam bakar menjadi lauk saat makan bersama di Ka Are Po'o.

Masak nasi bambu merupakan Festival Tedo Tembu Wesa Wela yang digelar oleh masyarakat adat Desa Pemo.

Di Ka Are Po'o tampak sebuah tempat yang disiapkan untuk sesajian pemberian makan kepada leluhur dan tempat penyerahan tolak balak berupa perahu ukuran kecil.

Sekitar pukul 12.00 Wita, mereka bergegas menuju Kampung Pemo. Sementara nasi bambu sebanyak 11 ruas dan daging ayam yang dimasak dalam bambu ditempatkan di Ka Are Po'o.

Mereka pulang dengan tangan kosong. Mendaki menuju Pemo tak mudah. Mereka harus kuat menaiki tanjakan yang terjal hingga sampai ke Kampung. Bahkan mereka sempat berhenti pada sejumalah pohon untuk berteduh.

Panas mentari menyengat kulit sangat dirasakan disana. Berjalan tanpa alas kaki rupanya menantang mereka menuju Kampung.

Sesampainya di Kampung Pemo mereka makan siang bersama dengan warga yang sudah menunggu.

Ketua 3 Festival Tedo Tembu Wesa Wela, Kristoforus Riwu (25) mengatakan masak nasi bambu bertujuan untuk memberikan makanan kepada leluhur dan para mosalaki Kampung Pemo.

Ada sekitar 11 ruas nasi bambu dan daging ayam yang sudah disiapkan untuk mosalaki yang akan datang memberikan sesajian dan tolak bala pada sore hari.

"Orang-orang yang memberikan makanan leluhur yaitu mosalaki. Selanjutnya mosalaki pada sore harinya juga akan melakukan acara adat Tolak Bala," ujar Ketua Pengelola Destinasi Pariwisata Desa Pemo ini.

"Sore hari sekitar pukul 14.30 Wita mereka Mosalaki datang ke Loka Po'o untuk memberi makan sesaji dan tolak bala. Itu mereka yang melaksanakan ritual tolak bala," lanjut dia.

Sementara pukul 18.00 Wita seorang mosalaki, Ria Bewa akan mengumumkan soal pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat.

"Bahasa setempat Pire atau pantangan. Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar seperti tidak boleh jemur pakaian, tidak melakukan aktivitas seperti bakar sampai, tidak boleh gali tanah, tidak boleh cabut rumput, tidak putar musik dan suasananya harus hening, " ujarnya.

Ia mengatakan masih banyak lagi pantangan yang tidak boleh dilanggar. Karena jika dilanggar akan mendapatkan denda adat. Denda adatnya pun bervariasi sesuai dengan jenis pelanggarannya.

Tidak membuat onar dalam masyarakat, tidak membuat ricuh atau masalah dalam rumah tangga. Pokoknya selama masa Pire ada ketentuan yang berlaku oleh warga setempat.

"Misalkan saat menari Gawai pakai sendal itu di denda. Harus siapkan moke atau tuak satu botol," ujarnya.

Sementara untuk hari kedua dilanjutkan Wanda Pa'u dan Gawi.

"Dari pagi sampai sore itu hanya Wanda dan Gawi, lusa Wanda Pa'u lagi dan Woge. Woge itu momen memperkenalkan diri atau wewenang dan hak seorang mosalaki. Mereka akan menyampaikan peran dan tugas mosalaki. Ada 11 sebelas mosalaki akan bicara saat hari Kamis," ujarnya.

Ia mengatakan di zaman sekarang wajib memperkenalkan atau mempromosikan Desa.

Desa Pemo memiliki potensi yang layak dilestarikan dan menjadi daya tarik tersendiri. Misalnya budaya dan adat yang sangat kental.

Tradisi budaya dan adat masih dilestarikan hingga kini seperti upacara adat jelang masuk musim tanam atau bahasa Lio Tedo Temu Wesa Wela.

Wisata air terjun, ada sanggar seni, tenun ikat, argowisata, kuliner dan disini sudah memiliki banyak home stay. Jadi wisawatan bisa menepi di Pemo.

Pesona alam yang masih asri dengan pemandangan indah menjadi dari tarik sendiri disini.

Siap Persembahan

Sebelumnya, Cahaya matahari mulai jingga di puncak Gunung Kelimutu.

Masyarakat Desa Pemo tampak sibuk mempersiapkan pesta adat menyambut musim tanam yaitu Festival Tedo Tembu Wesa Wela Tana Pemo sejak Senin 23 Oktober 2023 sore.

Beberapa anak muda menabuh gendang dan membunyikan gong di Bhaku Leda (rumah menyimpan gong dan gendang) tepat di depan rumah Mosalaki Ria Bewa. Mereka menabuh gendang menggunakan kayu dan juga bambu.

FESTIVAL - Warga Desa Pemo saat mengikuti Festival di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Selasa 24 Oktober 2023. (TRIBUNFLORES.COM / GG)

Harmoni tautan suara gendang dan gong mengema Desa Pemo untuk persiapan Festival Tedo Tembu Wesa Wela. Suara gendang dan gong ini akan mengiringi tarian adat hingga gawi di pelataran. Sao Ria Tenda Bewa Pusu Ate

Di pelataran Sao Ria Tenda Bewa Pusu Ate (rumah adat utama yang dijaga Mosalaki Pu'u), beberapa warga menyapu dan menyiram pelataran dengan air. Diketahui mereka adalah anggota keluarga (aji ana) dari 11 mosalaki Desa Pemo.

Ramlan, Ketua Panitia Festival Tedo Tembu Wesa Wela Tana Pemo mengatakan, setiap ritual adat di kampung anggota keluarga mosalaki bertugas untuk membersihkan pelataran Sao Ria Tenda Bewa Pusu Ate. Di pelataran ini festival budaya akan diselenggarakan.

"Mosalaki akan duduk di pelataran Sao Ria Tenda Bewa Pusu Ate di atas bentangan tikar. Mereka menunggu persembahan-persembahan yang diantar oleh warga," kata Ramlan.

Di rumah-rumah warga, terlihat kaum ibu dengan nyiru bambu di tangan menapis beras merah. Mereka duduk di depan pintu rumah, tangan mereka lihai saat memisahkan biji padi dan batu-batu kecil yang tercampur pada beras.

Ramlan menjelaskan, bahwa persembahan yang diantar warga berupa beras merah dan ayam kampung disebut Kula. Mosalaki yang bertugas untuk memeriksa beras merah yang dibawa sebelum dipindahkan ke dalam bakul yang disiapkan. Sehingga harus memastikan berasnya bersih.

"Harus beras merah, beras juga bersih. Jadi sebelum di antar itu masing-masing ibu di rumah sudah tapis beras. Beras ini untuk nasi bambu bakar," jelas Ramlan.

Selain persiapan persembahan untuk pembukaan ritual Tedo Tembu Wesa Wela, masyarakat Desa Pemo sudah mempersiapkan segala bahan makan hingga kayu bakar menjelang ritual.

Kayu-kayu bakar terlihat penuh pada kolong panggung hingga samping rumah.

Beberapa ibu pulang dari kebun membawa sayur hijau yang cukup banyak ke rumah. Hal ini sudah menjadi kesadaran bersama karena diwariskan, ibu-ibu menyiapkan sayuran sampai ritual usai.

"Kami sudah siapkan ini jauh hari, kebutuhan kayu bakar dan bahan makanan dari kebun. Karena selama ritual ini berjalan kami tidak bisa ke kebun," ungkap Ramlan. (Gg).

Berita TRIBUN FLORES. COM Lainnya di Google News