Gunung Lewotobi Erupsi

Dosen FKM Undana Kupang Ungkap Dampak Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur

Editor: Gordy Donovan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

CERITA - Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana Kupang Mustakim Sahdan, membeberkan dampak erupsi Ile Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur bagi warga.

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi

TRIBUNFLORES.COM, KUPANG - Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana Kupang Mustakim Sahdan, mengungkapkan dampak erupsi gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur bagi warga.

Kepro Kesmas FKM Undana Kupang ini menyebut, biasanya ketika sebuah bencana itu terjadi muncul kepanikan. Bila saja masyarakat punya kesiapan, kepanikan yang timbul tidak berdampak lebih.

"Di samping kepanikan, muncul ketakutan akibat adanya pergerakan manusia yang melihat ekses dari dampak itu," kata Mustakim Sahdan, Jumat (26/1/2024).

Menurut dia, pasca kepanikan hingga ketakutan maka munculah trauma. Biasanya, setelah suasana kebencanaan mulai mereda, ada pemulihan dari sisi kejiwaan yang timbul ketika bencana terjadi.

Baca juga: Maria dan Anaknya Terbaring Lemah di Posko Pengungsian Gunung Lewotobi

 

Sisi lain, Mustakim Sahdan menjelaskan, erupsi yang terjadi akan muncul partikel debu dan bertebaran mengikuti arah angin. Saluran pernafasan jelas akan terganggu jika itu terjadi. Penggunaan masker menjadi sangat penting pada bencana seperti ini.

Partikel debu itu juga bisa tersebar dan menyebabkan iritasi kulit. Warga disarankan menggunakan pakaian, menutupi seluruh tubuh. Partikel itu bisa saja masuk ke dalam tubuh lewat makanan yang dikonsumsi.

"Erupsi itu menyebabkan kualitas lingkungan akan menurun. Karena adanya erupsi itu menyebabkan ekosistem akan terganggu," ujarnya.

Mustakim Sahdan menerangkan, erupsi itu pun akan menggangu sumber air di sekitarnya. Bukan saja itu, sumber air yang digunakan di posko pengungsian juga harus menjadi perhatian utama. Dia mengingatkan pentingnya menjaga itu untuk meminimalisir adanya masalah baru dikemudian hari.

Dia juga mengingatkan tentang aspek penggunaan MCK di posko pengungsian. Seringkali fasilitas semacam ini luput dari perhatian saat penanganan pengungsi. Akan sangat baik, kata dia, bila ada toilet portabel yang bisa dimobilisasi.

Baca juga: Pembunuhan di Bokong Kupang, Korban Duduk di Kursi Ditebas

Selain itu, jumlah dari MCK yang disiapkan juga harusnya seimbang dengan total pengungsi yang ada. Akan berimbas tidak baik bila itu tidak dipenuhi. Apalagi, ada pemanfaatan MCK di ruang sekitarnya.

"Maka akan muncul penyakit berbasis lingkungan baru. Jadi kalau MCK kurang maka muncul penyakit berbasis lingkungan seperti diare," katanya.

Sehingga, sebut dia, sanitasi kebutuhan dasar bagi pengungsi harus menjadi perhatian utama yang tidak bisa terabaikan. Ia menyentil mengenai jaminan kesehatan masyarakat dalam pengungsi yang kadang mendapat porsi kecil perhatian.

Untuk itu, Mustakim Sahdan kembali mengingatkan agar makanan dan minuman yang disiapkan di posko harus terlindungi dari tebaran debu akibat erupsi.

Terbaring Lemah

Sebelumnya, Maria Florida Nian (29) dan putranya, Gabriel Sua Keda (4), terbaring lemah di dalam kamp pengungsian Desa Konga, Kecamatan Titehena, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (23/1/2024) pagi.

Raut wajah keduanya terlihat murung. Sesekali Maria mengelus kepala putranya itu dengan lembut.

Dia ingin memastikan kondisi Gabriel sudah mulai membaik.

Namun bocah berusia empat tahun itu hanya mengangguk diam. Sorotan bola matanya mengarah teman-temannya yang tengah bermain di halaman tenda pengungsian.

"Kami dua kena pilek dan batuk sejak kemarin. Dia (Gabriel) pilek keras. Makan dan minum kadang tidak mau," ucap Maria dikutip dari Kompas.com Jumat 26 Januari 2024.

Baca juga: Penjelasan BMKG NTT soal Gempa 5,6 Nagekeo

Maria menuturkan, saat Gunung Lewotobi Laki-laki erupsi pada pergantian tahun 2023, ia bersama keluarga dan beberapa warga lain mengungsi di kebun. Di sana mereka tinggal selama beberapa hari.

Tiga hari kemudian mereka dipindahkan ke kamp pengungsian Konga karena aktivitas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki mulai meningkat.

"Pemerintah pindahkan kami ke sini (kamp pengungsian Konga) sejak tanggal 3 Januari 2024," ucapnya.

Selama menetap di kamp pengungsian, Maria tidak betah. Ia selalu memikirkan kondisi kesehatan Gabriel.

Pikiran Maria kian kacau ketika hujan lebat terus melanda wilayah itu selama beberapa hari terakhir.

Apalagi kondisi tempat pengungsian yang darurat kerap membuat mereka tidur tak nyaman.

"Hari Minggu itu kami dua mulai sakit. Pilek dan batuk. Mungkin karena tidur hanya beralaskan perlengkapan seadanya," ucap Maria.

Maria mengatakan, keduanya sudah menyampaikan keluhan tersebut ke tenaga medis di posko kesehatan Konga.

"Kemarin sudah diperiksa dan diberi obat, hanya kondisinya belum membaik," katanya.

Hal serupa juga dialami Fitriana Wea, bocah berusia 3 tahun 10 bulan asal Dusun Padang Pasir, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang.

Hampir sepekan Fitriana mengalami pilek dan batuk.

Fitriana bercerita awalnya ia sedang bermain bersama teman-temannya di halaman sekolah tempat mereka mengungsi.

Sore harinya ia merasakan tenggorokan sakit disertai pilek. Ia kemudian menyampaikan keluhan tersebut kepada ibunya.

“Saya dengan Mama sudah ketemu sama dokter tetapi sampai sekarang masih sakit,” ucapnya.

Lina Namang (33), nakes Puskesmas Ilebura, menjelaskan, pasien yang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) biasanya ditandai dengan batuk, pilek, radang tenggorokan selama lebih dari tiga hari.

ISPA juga salah satu penyakit menular sehingga dengan muda menyebar kepada orang lain.

"Apalagi yang tinggal di kamp pengungsian, itu sangat rentan terserang ISPA. Kalau satu sudah terpapar, pasti yang lain juga ikut terpapar," ujarnya.

Baca juga: Pengungsi Gunung Lewotobi Susah Tidur Pasca Gempa 5,6 SR Guncang Flores, NTT

Pengungsi terserang ISPA

Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Flores Timur, Hironimus Lamawuran menyebutkan, hingga Minggu (21/1/2024), pengungsi yang terserang ISPA sebanyak 2.172 orang.

Pengungsi juga terserang penyakit lain seperti dermatitis, mialgia, gastritis, rhinofaringtis akut, hipertensi, influenza dan penyakit lainnya.

"Kasusnya masih didominasi ISPA," ujar Hironimus.

Hironimus mengatakan, semua keluhan kesehatan yang dialami pengungsi akan ditangani para medis di posko maupun puskesmas.

Kadis Kesehatan Flores Timur Agustinus Ogie Silimalar mengungkapkan, tingginya kasus ISPA, selain karena terpapar debu vulkanik, juga kondisi tenda di posko pengungsian yang masih darurat.

Meski begitu, kata Ogie, pelayanan kesehatan untuk pengungsi terus dioptimalkan. Pihaknya juga menyiapkan puskesmas untuk menangani pengungsi dengan keadaan darurat.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News