TRIBUNFLORES.COM, BAJAWA- Kampung Adat Bena salah satu warisan budaya zaman megalitikum yang masih lestari di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perkampungan tradisional ini tepatnya berada di Desa Wisata Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, arah selatan Kota Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada.
Kampung Bena masuk dalam daftar destinasi wisata budaya yang populer di Flores. Tempat ini dikunjungi banyak wisatawan domestik maupun mancanegara.
Keindahan bangunan, sejarah, budaya, alam, dan masyarakat di Kampung Adat Bena sangat unik dan menarik untuk ditelusuri. Wisatawan harus menempuh jarak sekitar 22 kilometer dari Kota Bajawa.
Berikut beberapa fakta unik Kampung Adat Bena di Bajawa, Ngada, Pulau Flores, NTT;
Baca juga: Melihat Pesona Kearifan Budaya dan Indahnya Lanskap Alam di Kampung Adat Wae Rebo NTT
1. Kampung Megalitikum
Kampung Bena diperkirakan telah ada sejak 1.200 tahun yang lalu. Kampung Bena merupakan sebuah perkampungan megalitikum yang terletak di Kabupaten Ngada, Flores, NTT, tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere.
2. Terletak di Puncak Bukit
Pesona kampung zaman batu ini berdiri di sebelah timur kaki Gunung Inerie sekitar 785 di atas permukaan air laut. Kampung Adat Bena berada di puncak bukit dikeliling bukit dan berada di kaki gunung.
3. Kepercayaan yang Unik
Kampung Bena yang terletak di puncak bukit merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa (leluhur).
Baca juga: Gelang Tenun Kampung Adat Bena di Ngada Bikin Penasaran Pengunjung
Masyarakat Kampung Adat Bena mempercayai dan meyakini Gunung Inerie sebagai tempatn Dewa Yeta bersinggasana dan melindungi kampung mereka.
Kampung ini hanya memiliki satu pintu gerbang untuk masuk dan keluar. Di tengah-tengah kampung terdapat bangunan yang disebut bhaga dan ngadhu, Ngadhu merupakan representasi nenek moyang laki-laki sedangkan Bhaga merupakan representasi nenek moyang perempuan.
4. Aristektur Bangunan Unik dan Syarat Makna
Arsitektur bangunan rumah yang sangat sederhana disebut Sa'o. Dilihat dari tata ruang atau pola pemukiman yang khas sebagai identitas budaya.
Terdapat satu pintu gerbang untuk masuk dan keluar seperti pada peradaban di zaman purba. Sepuluh anak tangga yang disebut Ture E'bu merupakan simbol 10 keluarga yang pertama kali datang ke Dusun Bena.
5. Membentuk Huruf U
Berada di puncak bukit dengan latar Gunung Inerie membuat suasana kampung semakin eksotis. Dengan luas wilayah Kampung Bena kurang lebih 3 hektar dan sekilas menyerupai perahu.
Kurang lebih 45 buah rumah yang saling mengelilingi dari 9 suku membentuk huruf U. Setiap rumahnya pun memiliki hiasan atap yang berbeda satu sama lainnya berdasarkan garis keturunan yang berkuasa dan tinggal di rumah tersebut.
Sembilan suku tersebut yaitu suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Untuk membedakan antara satu suku dengan suku lainnya dipisahkan berdasarkan sembilan tingkat keinggian tanah yang disebut Undakan.
Sementara itu di tengah Kampung Adat Bena terdapat bangunan yang disebut Bhaga dan ngadhu. Ukuran dua bangunan ini lebih kecil daripada rumah.
Kedua bangunan tersebut merupakan simbol leluhur kampung yang berada di halaman tempat upacara adat sebagai media penghubung dan juga berfungsi sebagai lambang keberadaan suatu suku.
6. Rahang Babi Digantung di Teras Rumah
Wisatawan juga akan melihat rahang babi yang digantung pada teras rumah yang melambangkan jumlah babi yang dikorbankan pada saat upacara pembangunan rumah adat. Tanduk kerbau yang dipajang juga menandakan status sosial masyarakat.
Bangunan rumah di Kampung Adat Bena tak sekadar hunian namun memiliki makna yang mendalam terkait lingkungan.
7. Jaga Alam
Mereka menjaga alam sebagai ibu yang menghidupi keberlanjutan kehidupan anak-cucu Kampung Bena. Tak heran bila eksistensi kampung ini masih terjaga, baik dari aristektur banguna, sejarah dan tradisi.
8. Penenun
Mayoritas perempuan Kampung Adat Bena bekerja sebagai penenun kain tradsional. Di sini, wisatawan juga bisa melihat mama-mama menenun.
Mereka mengolah kapas dengan cara manual untuk menghasilkan selembar kain tenun yang indah. Kain ini dijual ke wisatawan dengan kisaran harga mencapai Rp 300 ribuan. Wisatawan juga dapat membeli syal tenun khas Bena dengan harga 75.000-100.000.
Berita TribunFlores.Com lainnya di Google News