Festival Wolobobo Ngada 2024

Mengenal Sejarah Wolobobo di Ngada NTT, Kawasan Hutannya Ada Sejak Zaman Belanda

Penulis: Cristin Adal
Editor: Gordy Donovan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KEBUN RAYA WOLOBOBO -Puncak Bukit Wolobobo di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT dikenal akan keindahan panorama negeri di atas awan. Ia juga menyuguhkan pesona hutan ampupu dan vegetasi lainnya.

TRIBUNFLORES. COM, BAJAWA- Puncak Bukit Wolobobo di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT dikenal akan keindahan panorama negeri di atas awan juga menyuguhkan pesona hutan ampupu dan vegetasi lainnya.

Puncak Wolobobo salah satu destinasi wisata alam unggulan Kabupaten Ngada. Namanya mulai tekenal luas hingga ke dunia luar.

Potensi ini dikembangkan dan ditata oleh pemerintah setempat.

Sejarah Kawasan Hutan Wolobobo

Wolobobo tak sekadar destinasi wisata tetapi memiliki sejarah yang penting untuk diketahui.

Baca juga: Hanya 30 Menit, Produk Tenun Ikat Raup Puluhan Juta saat Live Instagram di Festival Wolobobo Ngada

 

Kawasan hutan Wolobobo yaitu sejak zaman pemerintahan Belanda, kawasan hutan Wolobobo sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan negara berdasarkan Zelbestur van Ngadha presiden van Timor Besluit Bosreserve 129/LK/21.

Yang ditandai dengan tugu batu/ tumpukan batu atau sering disebut PAL Belanda dan lebih dikenal oleh masyarakat pda saat itu dengan Istilah “keke” dan “rate laja “.

Penetapan kawasan hutan Wolobobo sebagai kawasan hutan negara juga dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1998, melalui SK. Menhut No.579/KPTS/UB/2/1998 dengan total luasan 1.056,53 ha. Dengan Kode Register Tanah Kehutanan (RTK) No.30 yang secara fisik di lapangan ditandai dengan PAL atau Pilat Beton.

Kondisi Awal dari penampakan kawasan hutan Wolobobo masih didominasi oleh padang savanna dan sebagian kecil hutan alam di bagian selatan dan timur. Sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1987 Pemerintah Kabupaten Ngada mulai melakukan penanaman tanaman kehutanan yang didatangkan dari luar NTT dengan jenis Ampupu (Eucalyptus urophylla ) melalui kegiatan reboisasi. Yang merupakan tanaman tahan api dan cepat tumbuh.

Pada tahun 1995, terdapat 83 Kepala Keluarga (KK) dari Desa Rakateda II melakukan perambahan ke dalam kawasan hutan Wolobobo untuk penenaman kopi karena kondisi geografisnya mendukung dalam pengembangan kopi.

Perambahan ini disebabkan karena terbatasnya lahan usaha di luar kawasan hutan. Kondisi ini dimungkinkan karena dibukanya akses Jalan menuju Lokasi Perijinan Penggunaan kawasan oleh PT TELKOM.

Perambahan ini menimbulkan konflik kepentingan antara Dinas Kehutanan Kabupaten Ngada tentang fungsi perlindungan kawasan Hutan dengan Masyarakat yang lebih mengutamakan pemanfaatan lahan dalam kawasan hutan untuk menanam tanaman semusim.pada tahun 1997, masyarakat dari lima desa sekitar kawasan hutan Wolobobo yaitu Desa Beja, Bomari, Tiwuriwu, Rakateda I dan Rakateda II melakukan perambahan besar-besaran dalam kawasan Hutan Wolobobo.

Pada tahun 2009 Dinas Kehutanan dan LSM Serbio Nusra Ngada melalui Bupati Ngada mengusulkan kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia agar 32 KTH mendapatkan ijin/legalitas Hutan Kemasyarakatan.

Baca juga: Dampak Festival Wolobobo Ngada, Kunjungan Wisatawan Setiap Tahun Meningkat

Pada tanggal 23 November 2010 Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan ijin Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Ngada provinsi Nusa Tenggara Timur seluas ± 652 Ha. Selanjutnya Bupati Ngada menetapkan kelompok pelaksana Hutan Kemasyarakatan (HKm) kabupaten Ngada dengan SK Nomor 95/KEP/DISHUT/2010.

Secara umum kawasan hutan memilki bentangan alam yang unik dengan gugusan 7 kawah yang unik di mana 2 diantaranya merupakan habitat kelelawar dan nuri, punglor yang menghuni hutan alam di dalam kawah tersebut.

Selain itu potensi kopi yang dikelolah dengan ijin yang dimiliki juga menjadi panorama yang berbeda yang merupakan suatun keasyuan strata dalam tata kelolah pemanfaaatan hasil hutan yang mendukung perekonomian masyarakat.

Pembangunan Kebun Raya Wolobobo

Pemerintah Kabupaten Ngada telah berkomitmen dan berperan aktif dalam usaha konservasi tumbuhan melalui Pembangunan Kebun Raya Daerah Wolobobo, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Dalam konteks tata ruang wilayah, maka kebun raya merupakan ruang terbuka hijau yang ditetapkan berdasarkan SK MENLHK RI Tahun 2016 dengan status Hutan Produksi Terbatas menjadi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus yaitu KEBUN RAYA WOLOBOBO dengan luasan 91,81 hektar area.

Kondisi topografi Kebun Raya Wolobobo adalah Sebagian besar Kawasan yang curam, sehinga Kawasan ini berada pada ketinggian 1.300-1.500 mdpl.

Vegetasi yang ada di Kebun raya Wolobobo ini lebih didominasi oleh vegetasi Ampupu seluas 65,52 ha (71,36 persen), Semak belukar 22,71 ha (24,74 persen), Hutan sisa 2,56 ha (2,78 persen), kaliandra 0,80 ha (0,87 persen) dan Akasia seluas 0,22 ha (0,24 persen).

Kebun Raya Wolobobo menjalankan lima fungsi kebun raya di antaranya, fungsi konservasi, fungsi penelitian, fungsi pendidikan, fungsi wisata alam dan fungsi jasa lingkungan.

Dari lima fungsi ini yang selalu diminati atau didominasi adalah fungsi wisata alam Wolobobo. Fungsi-fungsi lain tetap dijalankan oleh Kebun Raya Wolobobo seperi Konservasi, Penelitian dan Pendidikan.

Hasil kunjungan pada tahun 2023 baik itu wisatawan nusantara maupun domestik berjumlah 12.000 orang. Tahun 2024 ini dari Januari-Juni sebanyak 4.441 orang.

Tahun 2022 Pemda Ngada melalui Pinjaman Daerah sudah membangun Infrastruktur di Kebun Raya Wolobobo yaítu; Zona Penerima terdiri dari pintu gerbang, loket, papan nama, area parkiran, informasi center, jalan tersier, dan deck view.

Sedangkan Zona lain belum dibangun seperti: Zona Pengelola, Zona Koleksi Tematik, Zona Koleksi Taksonomi dan Fasilitas Wisata.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News