Berita Ende

Sorgum di Nangapanda, Ende Disulap jadi Bubur Instan dan Keripik 

Penulis: Albert Aquinaldo
Editor: Ricko Wawo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BUBUR SORGUM - Produk olahan sorgum berupa bubur instan dan keripik sorgum hasil olahan UMKM Muri Pawe di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Albert Aquinaldo

TRIBUNFLORES.COM, ENDE - Sorgum atau dalam bahasa daerah di Desa Kerirea disebut 'ozo' atau yang lebih dikenal dengan jagung solor merupakan salah satu pangan lokal asli masyarakat Desa Kerirea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih dibudidayakan kurang lebih 30 tahun lalu. 

Saat ini, petani di Desa Kerirea dan wilayah Kecamatan Nangapanda enggan menanam atau membudidayakan sorgum karena masyarakat lokal di sana menganggap sorgum sebagai makanan orang miskin yang tidak memiliki nilai jual dan memiliki cita rasa yang kurang enak di lidah.

Hingga pada tahun 2021 silam, salah satu warga Desa Kerirea, Maria Falentina Nuri menyulap sorgum menjadi bubur instan berbahan dasar sorgum dan keripik sorgum yang kaya manfaat dan bernilai ekonomis.

Maria Falentina mengungkap awal mula lahirnya bubur instan berbahan dasar sorgum dan keripik sorgum bermula ketika pada tahun 2018 silam dirinya mengikuti sebuah pelatihan kewirausahaan sosial. 

"Pada saat itu ada satu narasumber menceritakan tentang keunggulan dari sorgum lalu ada satu narasumber lagi, dia itu pengusaha kelor dari Kupang, dari mereka itu saya tahu bahwa sorgum itu punya nilai gizi yang tinggi dan kalau di daerah saya itu banyak, di waktu saya kecil sekitar 30 tahun yang lalu itu saya masih lihat tanaman itu dan saya punya bapak cerita kalau sorgum itu adalah makanan untuk mereka-mereka yang susah dan mama saya menanam sorgum pada waktu itu hanya sebagai pagar di kebun supaya mencegah hama," ungkap Maria Falentina Nuri yang berprofesi sebagai pendamping PKH di Kecamatan Nangapanda kepada TribunFlores.com, Minggu, 9 Maret 2025 malam.

Baca juga: Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Lukman Bikin Video Cabul Kirim ke Situs Internasional

 

 

Seturut pengetahuannya, tanaman sorgum memang tidak layak dikonsumsi dan rasanya memang tidak enak. Namun, setelah mengikuti pelatihan itu, perempuan yang akrab disapa Nuri ini baru mengetahui bahwa tanaman sorgum ternyata menyimpan segudang nutrisi yang tidak dimiliki pangan lokal lainnya.

Dari situlah awal mula mimpinya tumbuh bahwa suatu saat, semua lahan tidur di Kecamatan Nangapanda ditanami sorgum. 

Saat itu juga, mulai timbul sebuah cita-cita untuk menciptakan produk makanan berbahan dasar sorgum dan kelor karena dirinya yakin kedua tanaman ini baik untuk tubuh.

"Dalam perjalanan, kami sebagai pendamping PKH inikan kami diharuskan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat itu mandiri secara ekonomi, peningkatan ketahanan pangan dan juga peningkatan status gizi, lalu di tahun 2021 itu saya mulai ajak ibu-ibu PKH yang tersebar di beberapa desa wilayah desa dampingan saya di Desa Ondorea Barat, Kerirea, Tendaondo dan Ndorurea 1 untuk tanam sorgum," terang Maria Falentina.

Saat itu, dia berusaha menjelaskan kepada ibu-ibu di desa dampingannya bahwa suatu saat beras sudah tidak layak dikonsumsi karena tanaman beras saat ini sudah tidak ramah lingkungan. 

Baca juga: BMKG Sebut Sejumlah Wilayah Potensi Hujan Signifikan Sepekan ke Depan, NTT Waspada Hujan Lebat

Namun, saat itu dirinya ditolak oleh ibu-ibu dan masyarakat setempat karena menurut mereka saat ini kehidupan mereka sudah lebih baik tetapi diminta menanam sorgum yang menurut anggapan masyarakat lokal setempat sorgum merupakan makanan orang tidak mampu secara ekonomi.

"Yang pertama karena cita rasanya sorgum tidak enak lalu selain itu alat kupas tidak ada, jadi dia (red: sorgum) tidak bisa dikupas dengan mudah jadi mereka tidak mau, orang-orang menolak itu," ungkap pendamping PKH yang akrab disapa Nuri ini.

Meski mendapat penolakan, Nuri tidak putus asa. Dirinya tetap mengajak beberapa orang untuk menanam sorgum.

"Mereka bilang, mereka mau tanam tapi kupas dimana, mereka tidak mau tumbuk, jadi saya bilang baik, tumbuk itu gampang yang penting kamu tanam dulu, nah karena benih sorgum di Nangapanda ini nyaris tidak ada, saya datangkan dari Larantuka, kebetulan ada teman jadi saya minta mereka punya benih terus saya bagi ke mama-mama PKH di Kerirea, Ondorea Barat dan beberapa desa," tutur Nuri.

Akhirnya, Nuri berhasil mengajak 11 orang dari 46 orang di kelompok ibu-ibu di Desa Ondorea Barat  yang dibagikan benih sorgum dari Larantuka untuk ditanam di kebun masing-masing secara tumpang sari karena awal mula hanya sebatas uji coba. 

Karena sebatas uji coba, setiap orang hanya mendapat satu genggam benih sorgum. Meski hasil panen sorgum tersebut bagus, namun masyarakat enggan mengkonsumsi, mereka hanya mau menjual hasil panen sorgum tersebut. 

Dari 11 orang yang menanam sorgum, hanya enam orang yang berhasil memanen sorgum dengan hasil produksi bervariasi mulai 5 kg sampai 200 kg gabah sorgum. 

Baca juga: Diduga Cabuli Anak Kandung, Seorang Ayah di Maumere NTT Terancam 15 Tahun Penjara

Dari hasil panen sorgum itu, mereka mencoba mengolah menjadi makanan dan alhasil diterima oleh anggota keluarga masing-masing karena rasanya enak.

"Kalau di Kerirea itu karena daerah dingin jadi kualitasnya kurang baik jadi saya sarankan untuk hanya untuk makan, saya bilang sorgum ini dulu kita anggap sebagai makanan orang miskin tapi sekarang yang makan sorgum itu orang kaya dan harganya mahal, suatu saat kamu butuh sorgum ini dan kamu tidak bisa beli jadi kamu harus tanam karena kita punya tanah dan punya stok pangan sendiri, untungnya direspon baik oleh pemerintah desa dan masyarakat disana," jelas Nuri penuh semangat.

Sementara itu, keinginan sekelompok ibu-ibu di Desa Ondorea Barat yang berhasil memanen sorgum kemudian ingin menjual hasil panennya selain untuk dikonsumsi. 

Sebagai inisiator, Nuri tentu bertanggung jawab atas keinginan kelompok ibu-ibu dengan berusaha mencari pasar dan tempat penggilingan gabah sorgum.

Awalnya, dirinya kebingungan mau diolah jadi apa bahan mentah sorgum tersebut. Namun dengan tekad yang kuat, tanggung jawab sebagai inisiator, mimpi besarnya serta inovasi yang ada dalam dirinya, Nuri membeli sorgum hasil panen ibu-ibu di Desa Ondorea Barat.

Awalnya, untuk menggiling gabah sorgum, Nuri harus berjuang menuju Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, karena semua tempat penggilingan padi di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende tidak mau menerima penggilingan sorgum. 

"Akhirnya setelah dikupas, saya mulai berpikir, kalau dijual dalam bentuk beras, siapa mau makan, saya coba bawa masuk ke rumah saja bapak saya tidak mau terima, akhirnya saya mulai berpikir untuk sorgum ini berubah bentuk dan siap saji jadi tidak perlu repot masak," terang Nuril.

Sorgum yang sudah digiling kemudian dimasak, kemudian dihaluskan hingga akhirnya jadilah bubur instan berbahan dasar sorgum yang awalnya belum bermerek.

Baca juga: Berkah Petani Lembata, Panen Sorgum di Tengah Ancaman Kekeringan dan Gagal Panen

Karena Nuri sadar bubur instan berbahan dasar sorgum bagus untuk pencernaan, dirinya mulai menjual ke masyarakat dengan awalnya hanya menggunakan kemasan sederhana yakni plastik kresek secara door to door atau dari rumah ke rumah.

"Awalnya itu saya jual pakai plastik kresek, diukur pakai gelas dari rumah ke rumah keliling di Nangapanda ini, akhirnya mereka terima dan beli lalu, waktu itu belum ada nama saya hanya bilang ini sorgum," kenang Nuril.

Cara penyajian bubur instan sorgum pun cukup mudah, tinggal diseduh menggunakan air panas dan langsung dikonsumsi. 

Seiring berjalannya waktu serta permintaan bubur instan sorgum semakin meningkat, masyarakat Desa Ondorea Barat kini mulai gencar menanam sorgum dan menjadikan sorgum sebagai stok pangan mereka. 

Bahkan, hasil produksi sorgum di Desa Ondorea Barat saat ini bahkan mencapai lebih dari satu ton.

Melihat usaha bubur instan sorgum mulai berkembang, Nuri mulai belajar berbisnis karena dirinya menginginkan usaha dan kegiatan pemberdayaan ini terus berlanjut sehingga membawa dampak yang lebih luas, petani tetap menanam sorgum, dirinya sebagai pelaku usaha tetap memproduksi hasil olahan sorgum dan konsumen tetap merasakan manfaat dari makanan hasil olahan sorgum.

Baca juga: Klasemen Sementara Grup F El Tari Memorial Cup, Usai Persami Maumere Kalahkan Citra Bakti Ngada

"Sambil saya belajar bisnis, kelompok ibu-ibu petani sorgum ini kita bentuk dalam satu komunitas yang kami beri nama "Berkat Kasih" yang ada di Desa Ondorea Barat, tetapi beberapa anggotanya berasal dari Kerirea, jadi mereka yang dalam komunitas itu saya edukasi, pelatihan untuk bagaimana mereka mengolah untuk rumah tangga, sebisa mungkin saya buat supaya mereka yang tanam sorgum ini tidak beli sorgum karena sorgum yang sudah kita olah ini harganya sudah mahal," ujar Nuri.

Seiring berjalan waktunya, Maria Falentina Nuri mendapat masukkan dari seorang mentor agar produk hasil olahan sorgum itu diberi nama atau brand maka muncullah ide untuk memberi nama brand "Muri Pawe" yang berarti hidup baik, hidup sehat, hidup sejahtera. 

Filosofi "Muri Pawe", menurut Nuri bukan hanya untuk dirinya tetapi untuk keluarganya dan masyarakat Nangapanda umumnya.

Hingga pada suatu waktu di tahun 2022, Maria Falentina Nuri mendapat pengetahuan tentang bisnis dan dana hibah sebesar Rp 25 juta dari sebuah yayasan di Bali untuk mengembangkan usaha bubur instan Muri Pawe.

Berangkat dengan door to door atau dari rumah ke rumah sejak tahun 2022 hingga awal 2024, Nuril memasarkan hasil olahan bubur instan sorgum Muri Pawe dan para konsumen mengetahui adanya produk itu dari mulut ke mulut, hingga pada akhir tahun 2024, barulah bubur instan sorgum Muri Pawe dipasarkan di salah satu toserba di Kota Ende.

"Itupun belum laku banyak, kalau di Nangapanda, orang sudah banyak yang tahu, harganya jualnya itu tergantung ukuran, yang 200 gram itu harganya Rp 35.000/pcs sedangkan yang 1 kg itu harganya Rp 174.000/pcs. Pemasarannya sudah sampai di luar Ende karena dari mulut ke mulut tadi, kalau omset perbulannya itu belum pasti ya karena penjualannya tidak seperti produk lain, sebulan bisa tembus 100 produk itu sudah bagus sekali kalau tidak juga kadang hanya 10 atau 20 sampai 50 pcs saja perbulan, omsetnya kadang rendah, kadang tinggi sekali bisa sampai Rp 3 jutaan," ujar Nuril.

Awal Mula Keripik Sorgum

Pada tahun 2024, hasil produksi tanaman sorgum yang ditanam kelompok tani ibu-ibu komunitas Berkat Kasih sudah melimpah bahkan mencapai lebih dari satu ton.

"Orang yang punya giling sorgum ini dia tidak mau kalau giling sorgum dalam jumlah banyak karena takut alatnya rusak, sedangkan saya tidak punya modal untuk datangkan alat ini, akhirnya saya bangun kemitraan dengan pihak gereja di Nangapanda, kebetulan saat itu pastor parokinya juga sangat mendukung akhirnya mereka mengadakan alat giling sorgum, petani datang giling sorgum di paroki lalu jual sorgum yang sudah giling ke Muri Pawe," terang Nuri.

Karena alat pengupasan kulit sorgum berukuran kecil, kualitas yang dihasilkan pun tidak maksimal. 

Sebagian besar biji sorgum pecah sehingga tidak semua sorgum yang sudah dikupas dijadikan bahan bubur instan. 

Namun, apabila Muri Pawe hanya membeli biji sorgum yang bagus maka petani merugi. 

Maka, munculah ide cemerlang Maria Falentina Nuri alias Nuri untuk mengolah semua biji sorgum yang pecah tersebut menjadi tepung kemudian diolah lagi menjadi jajanan. 

"Itu saya belajarnya otodidak, untuk menciptakan produk ini harus imajinasinya banyak, malam itu saya harus uji coba terlebih dahulu, saya harus buang banyak uang terlebih dahulu, bahan baku yang saya beli itu kemudian buang, beli lagi, buang lagi untuk uji coba sampai pada akhirnya biji-biji sorgum yang pecah ini saya giling jadi tepung sorgum lalu saya olah menjadi keripik sorgum," terang Nuri.

Bahan dasar pembuatan keripik sorgum ini ternyata campuran antara kacang hijo yang kaya akan protein, daun kelor, gula, garam serta bawang putih dan bawang merah. 

"Setelah menjalani uji coba beberapa kali, jadinya sekarang keripik sorgum Muri Pawe yang kami mulai pasarkan di bulan Februari 2025 ini dan baru dijajakan di dua cafe di Nangapanda, belum terlalu banyak yang laku tapi sudah lumayan," terang dia.

Harga jual keripik sorgum Muri Pawe dijual dengan harga Rp 15.000/50 gram. 

Sejauh ini, dirinya mendapat dukungan dari beberapa pemerintah desa di Kecamatan Nangapanda seperti Desa Ondorea Barat dan Desa Kerirea serta beberapa desa yang menjadi desa dampingannya di PKH dengan cara mempromosikan produk bubur instan dan keripik sorgum Muri Pawe.

"Nangapanda ini punya lahan yang sangat luas dan itu bisa bernilai uang, harapan saya paling besar dan cita-cita saya yang paling tinggi adalah angka pengangguran di Nangapanda itu bisa berkurang karena di daerah kita sudah ada lahan kerja, tidak perlu mencari kerja di luar karena di daerah kita sudah ada sumber uang," tutup Nuril menerangkan harapan dan cita-citanya. (Bet) 

Berita TRIBUNFLORES.COM.COM Lainnya di Google News