Berita Kota Kupang
Perjuangan Seorang Ibu Penjaga Parkir di Kupang NTT Bekerja Keras Agar Bisa Hidupi Keluarga
“Kalau ada orderan bangunan, dapat delapan puluh ribu. Kalau ramai bisa seratus ribu,” ujarnya, Kamis (23/10).
Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar Ismail
TRIBUNFLORES.COM, KUPANG- Di bawah terik matahari yang sering mencapai suhu menyengat khas Kota Kupang, seorang perempuan tampak sigap mengatur kendaraan yang keluar masuk area parkir di kawasan TDM, tepatnya di depan Mixue TDM 3.
Sambil membawa setumpuk karcis, ia menyapa setiap pengunjung dengan ramah, seolah menyembunyikan letih yang kerap menghinggapinya. Dialah Herlina Wati, perempuan asal Jawa yang sudah lima tahun merantau dan bertahan hidup di Kota Kupang.
Usianya sudah memasuki 50-an tahun, namun langkahnya tidak pernah terlihat ragu. Ada keteguhan yang ia rawat setiap hari keteguhan seorang ibu yang memilih berdiri di bawah panas dan hujan demi memastikan keluarganya tetap memiliki makan dan tempat berteduh.
Baca juga: Kisah Pensiunan PNS di Maumere, Banting Setir Tekuni Usaha Jualan Nasi Uduk di Perumnas
Keputusan Herlina Wati untuk pindah ke Kupang berawal dari tekad mengikuti sang suami, Samuel Sila, yang mencoba peruntungan sebagai pekerja bangunan. Namun kehidupan tidak serta-merta menjadi lebih mudah. Pendapatan sang suami bersifat musiman dan tidak tetap.
“Kalau ada orderan bangunan, dapat delapan puluh ribu. Kalau ramai bisa seratus ribu,” ujarnya, Kamis (23/10).
Dalam sebulan, bila keberuntungan memihak, gabungan pendapatan mereka bisa mencapai Rp1,3 juta. Namun angka itu bukan jaminan, sebab pekerjaan suaminya tidak setiap hari ada.
Mereka tinggal di sebuah kamar kos sederhana seharga Rp400.000 per bulan di kawasan Amanuban, Kota Kupang. Di ruangan itulah mereka tidur, makan, dan menata harapan kecil yang bertahan dari satu hari ke hari berikutnya.
Sebelum memakai rompi parkir, Herlina sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp700.000 per bulan.
Namun biaya hidup meningkat, terlebih karena ia masih harus menyekolahkan anak bungsunya, membuat penghasilannya tidak lagi mencukupi.
Setahun lalu, ia akhirnya memberanikan diri menerima tawaran menjadi juru parkir. Pekerjaan yang jarang dilirik perempuan, apalagi pada usia yang tak lagi muda.
Tetapi baginya, tidak ada pekerjaan yang memalukan selama halal dan dilakukan dengan jujur.
Setiap hari, ia bekerja 12 jam mulai pukul 11.00 WITA g hingga 23.00 WITA. Saat panas menyengat, ia bertahan. Ketika hujan turun tiba-tiba, ia tetap berdiri sambil menggenggam karcis yang tidak pasti.
Untuk menekan pengeluaran, makanan dan minuman selalu ia bawa dari kos.
“Kalau beli di luar cepat habis uang. Jadi harus bawa makan dan minum,” ujarnya.
Meski bekerja dari siang hingga larut malam, pendapatan Herlina rata-rata hanya Rp40.000 per hari.
Namun jumlah itu belum benar-benar menjadi miliknya, karena ia memiliki kewajiban menyetor Rp60.000 per hari kepada Dinas Perhubungan melalui perantara.
Dalam hari-hari sepi, sisa uang yang bisa ia bawa pulang bahkan tidak sampai cukup untuk belanja harian.
Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap bertahan, jawabannya sederhana, namun menyayat:
“Kalau saya tidak kerja bantu suami, bagaimana kehidupan kami," ungkapnya.
Bekerja di ruang publik sering membuatnya berhadapan dengan stigma, terutama karena ia perempuan.
“Karena saya perempuan, banyak yang anggap lemah. Kadang dihina, kadang dikasihani. Tapi saya kerja saja,” ujarnya tersenyum.
Tak jarang ia mendapat perlakuan tidak adil. Ada pengendara yang pergi tanpa membayar, padahal karcis sudah ia berikan lengkap.
“Kadang tidak dibayar. Tapi saya terima berapa pun yang diberi. Mau marah tidak bisa,” ujar Herlina.
Meski begitu, ia tetap menjaga profesionalisme. Ia bertanggung jawab atas keamanan kendaraan para pengunjung.
“Saya selalu amankan helm, dan pastikan tidak ada barang yang hilang supaya orang percaya dan senang,” ujarnya tegas.
Di balik kerja kerasnya, ada satu alasan yang membuat Herlina tidak menyerah masa depan anak bungsunya, Esterlina Wati yang kini duduk di kelas 3 SMA.
Esterlina memiliki cita-cita menjadi tentara wanita (TNI AD) mimpi besar bagi seorang anak dari keluarga sederhana. Namun ia tahu, pendidikan dan biaya tes menjadi anggota TNI membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Dia ingin jadi tentara cewek. Tapi kami tidak punya cukup uang. Saya hanya berharap dengan ijazah SMA saja dia bisa kerja yang baik,” ungkap Herlina, menahan suara yang mulai bergetar.
Sementara itu, anak pertamanya, Susanto sudah berkeluarga dan tinggal di Jawa, sehingga tidak lagi menjadi tanggungan, meski sesekali tetap membutuhkan uluran orang tua.
Kisah Herlina bukan hanya miliknya. Ia adalah potret banyak perempuan yang bekerja dalam senyap, menopang ekonomi keluarga, namun jarang mendapat pengakuan.
Di halaman Mixie tempat ia berdiri, Herlina menata kendaraan, tetapi sesungguhnya ia sedang menata masa depan.
Ia menjaga helm dan barang pengunjung, tetapi yang lebih ia jaga adalah martabat keluarganya. Ia menerima pembayaran yang tidak selalu adil, tetapi ia tidak pernah menerima untuk menyerah.
Setiap karcis yang ia berikan adalah bukti perjuangannya. Setiap sen yang ia simpan adalah investasi kecil menuju harapan besar agar anaknya kelak hidup lebih baik dan tidak mewarisi kehidupan keras yang ia jalani.
“Saya tidak apa-apa susah sekarang. Yang penting anak saya nanti tidak susah lagi," ungkapnya.
Dan pada malam hari, saat rompi parkir dilepas dan lampu-lampu TDM mulai redup, Herlina menyimpan harapan yang sama semoga besok menjadi hari yang sedikit lebih ringan. (Iar)
Berita TRIBUFLORES.COM Lainnya di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/flores/foto/bank/originals/ATUR-PARKIR-Herlina-Wati-Juru-Parkir-Perempuan-di-Kota-Kupang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.