Berita Maumere

Petani Tembakau di Maumere Mengeluh Panen Tembakau Berkurang Akibat Abu Vulkanik Lewotobi

Sejumlah Petani Tembakau di Maumere Mengeluh Panen Tembakau Berkurang Akibat Abu Vulkanik Lewotobi. Kini mereka sedih.

Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/STEVANI
JUAL TEMBAKAU-Thomas Saru (70) dan Ambrosius (40), berdagang tembakau di emperan toko pakaian Pasar Nita, Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (3/10/2025) siang. Mereka juga merasakan dampak dari Gunung Lewotobi yang kini terus erupsi. Tanaman tembakau mereka hancur. 

Laporan Reporter Magang TRIBUNFLORES.COM, Stevani Thresia

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE – Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), membawa dampak serius bagi para petani tembakau di wilayah tetangganya, Kabupaten Sikka. 

Sejumlah petani mengeluhkan kualitas hasil panen yang menurun drastis akibat paparan abu vulkanik, sehingga mengancam sumber pendapatan utama mereka.

Thomas Saru (70), seorang petani dan penjual tembakau asal Desa Kolisia, Kecamatan Magepanda, merasakan betul dampak tersebut. 

Pria yang telah menggeluti usaha ini sejak usia muda itu menyatakan bahwa hasil panennya berubah total sejak erupsi terjadi.

Baca juga: Larang Jual Rokok Eceran, Kemenkes: Tekan Konsumsi Rokok & Dampak Buruk Tembakau

 

“Dulu kan Gunung Lewotobi belum meletus, kami rasa (hasilnya) baik. Tembakau yang kena abu ini hasilnya tidak bagus,” ungkap Thomas saat ditemui di lapaknya di Pasar Tradisional Nita, Kecamatan Nita, Kamis (2/10/2025).

Di lahannya, bapak dari tiga orang anak ini biasa menanam antara 1.000 hingga 2.000 pohon tembakau dengan target panen setiap tiga bulan. 

Ia menjelaskan bahwa harga tembakau kering sangat bergantung pada warna dan kualitasnya, yang secara lokal dibagi menjadi dua tipe, yaitu bako mi dan bako gahu. 

Akibat kualitas panen yang buruk, Thomas terpaksa beralih profesi sementara untuk menyambung hidup.

“Kalau hasil panennya buruk seperti ini, saya memilih untuk tidak berdagang tembakau. Saya menggarap kebun sayur dan menggembalakan sapi,” tambahnya.

Keluhan serupa juga datang dari Ambrosius (40), pedagang tembakau lain yang berdomisili di Lingkar Luar, Kelurahan Madawat. 

Sama seperti Thomas, Ambrosius menanam sendiri tembakau yang ia jual dan merasakan langsung penurunan kualitas akibat abu vulkanik. 

Untuk mencari penghasilan tambahan dan menutupi kerugian, Ambrosius terpaksa membagi waktunya. Di sela-sela waktu saat tidak berdagang, ia bekerja sebagai seorang tukang ojek.

Dampak paling signifikan terasa saat proses pengeringan pascapanen, di mana abu sulit dihilangkan dan menyebabkan warna tembakau menjadi kusam serta merusak aroma khasnya yang menjadi faktor utama  penentu harga jual di pasaran.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved