Pembanguna Waduk Lambo
Ritual Adat Memberi Makan Arwah di Titik Nol Waduk Lambo Dihadang FPPWL
Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo menghadang pelaksanaan ritual adat pemberian makan dan memohon restu arwah leluhur di titik nol Waduk Lambo.
Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Patrianus Meo Djawa
TRIBUNFLORES.COM, MBAY-Ritual adat "ti'i ka pati foko ine ame ebu kajo" artinya memberi makan dan meminta restu arwah leluhur oleh tetua adat dari persekutuan masyarakat adat Kawa di titik nol pembangunan Waduk Mbay/Lambo di Lowo Se, Kamis, 24 Maret 2022 dihadang Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL). Kelompok tersebut juga mengklaim sebagai pemlik lahan di titik nol tersebut.
Kepala Desa Rendu Butowe, Yeremias Lele, salah satu dari 20 orang FPPWL terlibat dalam aksi itu. Pengklaiman lahan di Lowo Se oleh FPPWL telah nampak sejak 2019.
"Itu hanya riak-riak, sisa - sisa pertahanan selama ini yang mencoba untuk mengganggu suasana kesakralan masyarakat adat Kawa. Dengan mengganggu, mereka sedang menghambat pembangunan sebenarnya kemarin itu," ungkap Klemens Lae, tokoh muda adat dari masyarakat adat Kawa, kepada TRIBUNFLORES.COM, Jumat, 25 Maret 2022.
FPPWL dipimpin Bernadinus Gaso pernah melayangkan surat Nomor 02/FPPWL/VII/2019 kepada Presiden RI. Isinya memohon pembatalan lokasi pembangunan Waduk Lambo di Lowo Se.
Baca juga: Pelajar Asal Nagekeo Dapat Baju Presiden Jokowi; Terima Kasih Bapak Jokowi
Klaim sepihak FPPWL terhadap Lowo Se membuat geram persekutuan masyarakat adat Kawa dan Labo (PMKAL). Dua persekutuan adat ini mempertegas status tanah di Lowo Se mengirimkan surat nomor 224/PMKL/01/08/2019 kepada RI berupa penegasan status tanah di Lowo Se dengan dua point utama.
Poin pertama menyetkan, persekutuan masyarakat adat Kawa-Labo menyampaikan bahwa penolakan pembangunan Bendungan lambo di Lowo Se oleh forum penolakan pembangunan Waduk Lambo tidak mewakili masyarakat adat Kawa.
Kedua, lokasi dan sekitarnya adalah tanah ulayat masyarakat Adat Kawa dengan bentuk kepemilikan komunal oleh lima rumah adat Kawa yaitu Sa'o Watu Taga, adalah rumah adat dari Ebu Usu Podi yang memiliki ulayat (tana dawa Sa'o) di Rada Rae, dengan ahli warisnya adalah Moses Mega dari suku Gegha Neja
Sa'o Nitu Bata, adalah rumah adat dari Ebu Sapi Kopi yang memiliki ulayat (tana dawa Sa'o) di Lowo Se, dengan ahli warisnya adalah Bapak Gaspar Lana dari suku Gegha Neja. Sa'o Aja Oda, adalah rumah adat dari Ebu Niku Rero yang memiliki ulayat (tana dawa Sa'o) di Nio Wudhu, dengan ahli warisnya bapak Aloisius Lado dari Suku Naka Zale.
Baca juga: Polres Nagekeo Masih Selidiki Kematian Dua Warga Kampung Kolibali
Surat penegasan kepemilikan tanah di Lowo Se ini ditandatangi oleh 16 orang masyarakat adat Kawa yang mewakili suku-suku dan rumah adat masing- masing, juga diketahui oleh 8 orang perwakilan masyarakat adat Labo.
Untuk diinformasikan, masyarakat adat Labo, Lele dan Kawa adalah tiga persekutuan masyarakat adat yang saat ini tinggal didalam satu desa. Nama desanya Labolewa di Kecamatan Aesesa. Labolewa merupakan akronim dari Labo, Lele dan Kawa.
Menurut Klemens Lae, sejak masyarakt adat Kawa melayangkan surat penegasan kepada Presiden, FPPWL yang dimotori oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini tidak pernah lagi merespon surat Masyarakat Adat Kawa hingga tahapan pembangunan waduk Lambo pun kembali diijinkan untuk dilanjutkan.
Namun, setelah hampir setahun berlalu, kedua kubu yang sebelumnya saling surat-suratan ke Presiden, akhirnya dipertemukan oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo di Ruang VIP Kantor Bupati Nagekeo, Senin, 29 November 2021.
Baca juga: Polres Nagekeo Masih Selidiki Kematian Dua Warga Kampung Kolibali
Pertemuan dengan tajuk mediasi ini dihadiri oleh hampir seluruh masyarakat adat Kawa dan para perwakilan dari tiga Suku yang berada Desa Rendu Butowe yakni Suku Gaja, Suku Isa dan Suku Redu (Rendu). Suasana tegang dan diskusi alot terjadi diantara para pihak yang berada didalam ruang VIP.
Masing-masing pihak saling mempertahankan penguasaan Lowo Se berdasarkan tutur sejarah selama lebih dari empat jam hingga pada akhirnya status kepemilikan tanah di Lowo Se pun diperjelas melalui berita acara nomor 008/PEM-NGK/264/XI/2021 dengan 3 point kesepakatan bersama yakni,
Pertama, bidang tanah dengan nomor urut bidang 493 dan 496 hasil pengukuran BPN pada Proyek Strategis Nasional pembangunan Waduk Lambo yang sebelumnya tercatat sebagai tanah ulayat suku Rendu di Desa Rendu Butowe terdistribusi menjadi dua bagian yang dibagikan kepada persekutuan masyarakat adat Kawa sebesar 60 persen dan dan kepada suku Gaja yang mewakili Suku Redu, Suku Isa dan Suku Gaja sebesar 40 persen dari total nilai ganti kerugian terhadap bidang-bidang tanah tersebut.
Kedua, berkaitan dengan hak kepemilikan ulayat atau sejarah tanah tersebut yang akan terdampak genangan Waduk Lambo, tidak akan dibicarakan dan dan diperdebatkan (diungkit-ungkit) dan sepakat bahwa genangan air adalah pembatasnya atau dalam istilah adat kedua belah pihak disebut "Ma'e Sua Ruta Waga Watu".
Tiga, kuasa yang akan menandatangani segala administrasi berkaitan dengan pelepasan hak dan nilai ganti kerugian terhadap tanah, ditentukan oleh masing-masing pihak.
Baca juga: Sebelum Ditemukan Meninggal Dunia, Pria di Nagekeo Sempat Gendong Anaknya Sambil Menangis
Berita acara tersebut ditandatangi oleh lima orang perwakilan masyarakat adat Kawa sebagai pihak pertama. Sedangkan pihak kedua dari persekutuan masyarakat adat Suku Gaja, Redu dan Isa dari Desa Rendu Butowe juga ditandatangani oleh lima orang perwakilan yakni Leonardus Suru, Gabriel Bedi, Gaspar Sugi, Tadeus Betu dan Kristoforus Lado.
Namun, tanggal 9 Desember 2021 atau satu bulan setelah kesepakatan antara kedua kubu menuai titik terang, FPPWL bersama AMAN Nusa Bunga kembali memblokade jalan masuk menuju titik nol, di Lowo Se.
Aksi-aksi FPPWL terpantau kian tak terkendali. Sejumlah ibu-ibu anggota FPPWL rela melakukan aksi buka baju untuk menghadang pekerja dan petugas di pintu masuk ke Lowo Se, Dusun Roga - Roga, Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan.
Puncaknya, Jumat, 22 Maret 2022 ketika PT. Brantas Abipraya mulai memobilisasi alat kerja menuju titik nol, kelompok FPPWL kembali menghadang mobilitas 2 unit alat pengebor dan dua unit eksavator di pintu masuk menuju Lowo Se.
Baca juga: Isak Tangis Keluarga Sambut Jenazah Korban Penganiayaan Berat di Nagekeo
Sementara, bersamaan dengan dengan aksi penghadangan mobilitas alat kerja, acara ritual adat di titik nol yang sedang dilaksanakan oleh masyarakat adat Kawa juga mendapat gangguan dari kelompok FPPWL yang lain.
FD, salah satu warga yang menyaksikan aksi penghadangan seremonial adat di Lowo Se mengatakan, Kepala Desa Rendu Butowe, Yeremias Lele dan Sekretaris FPPWL, Wilbrodus Bei Ou serta beberapa anggota FPPWL lainnya terilibat dalam aksi penghadangan itu.
Belum diketahui secara pasti alasan FPPWL menghadang dan mengganggu seremonial adat persekutuan masyarakat adat Kawa di Lowo Se.
Menurut Klemens, acara seremonial adat itu merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari tahapan pembangunan waduk Mbay/Lambo.
Baca juga: 2 Kakak Beradik di Nagekeo Ditemukan Tewas dalam Rumah, Ini Kata Adik dari Terduga Pelaku
"Kehadiran mereka disana juga tidak jelas. Entah keterwakilan dari mana itu juga ngambang. Kita lihat bahwa secara legal standing sudah jelas dalam berita acara itu. Kemarin kita jalan berdasarkan payung hukum (berita acara) itu. Makanya, kemarin kami sarankan, kalau misalkan tidak puas dengan berita acara, silahkan menempuh jalur hukum dengan melaporkan tiga pihak ini yang telah mewakili suku Isa, Gaja dan Rendu. Silahkan saja melaporkan mereka jika mereka tidak mengakui ketiga orang ini sebagai perwakilan suku mereka," tegas Klemens.
Seorang anggota FPPWL di pintu masuk dusun Roga-Roga bahkan hampir melakukan penganiayaan dan mengusir Reporter Tribunflores.Com ketika mereka hendak dikonfrimasi. Ketua FPPWL, Bernadinus Gaso, belum berhasil dikonfirmasi.