Berita Lembata

Air Mata Warga Ile Ape Belum Kering

Genap setahun banjir dan longsor meluluhlantakan sejumlah desa di lereng gunung Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata, Sabtu malam 4 April 2021.

Editor: Egy Moa
TRIBUN FLORES.COM/RICKO WAWO
Warga Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape meratapi kepergian korban bencana banjir dan longsor dalam peringatan, Senin 4 April 2022. 

Laporan TRIBUNFLORES.COM, RICKO WAWO

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Genap setahun banjir dan longsor meluluhlantakan sejumlah desa di lereng gunung Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata, Sabtu malam 4 April 2021.

Malam itu, banyak umat Katolik larut dalam misa perayaan paskah saat Badai Seroja menghantam Pulau Lembata. Air bah yang datang dari puncak gunung itu menerjang pemukiman warga. Air mengalir membawa lumpur dan bebatuan besar dari lereng gunung. Rumah-rumah hanyut bersama para penghuninya.

Pagi harinya, 4 April 2021, tampak akses jalan terputus, tiang-tiang listrik berserakan tak beraturan. Warga yang selamat mulai mencari keluarga mereka yang terpencar melarikan diri ke tempat aman. Di tepi pantai, di balik puing-puing bangunan, satu per satu tubuh tak bernyawa ditemukan.

Desa Waowala, Tanjung Batu, Amakaka, Lamawara, Waimatan dan Lamawolo di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur  luluh lantak. Hanya ada duka dan air mata karena kehilangan orang-orang tercinta dan tempat tinggal.

Baca juga: 8 PMI Asal Flotim dan Lembata Dipulangkan dari Malaysia

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lembata mencatat sebanyak 68 orang meninggal dunia, 46 jenazah ditemukan dan 22 jenazah dinyatakan hilang sampai hari ini akibat badai seroja.

Kenangan tragedi mencekam ini masih segar dalam ingatan saat warga memperingati satu tahun bencana yang kemudian dikenal dengan badai seroja itu.

Warga di desa-desa terdampak di Ile Ape dan Ile Ape Timur menggelar misa, menabur bunga dan menyalakan lilin di tempat-tempat bencana pada 4 April 2022. Suasana duka begitu terasa di tempat-tempat warga menabur bunga dan menyalakan lilin. Masih ada warga yang meratapi kepergian keluarga mereka.

Ketua Dewan Stasi Lewotolok, Antonius Arakian, mengatakan peringatan satu tahun digelar di beberapa desa secara terpisah dengan perayaan ekaristi dan doa bersama yang dipimpin Romo Deken Sinyo da Gomes di gereja. Setelah itu umat diarahkan untuk menabur bunga dan menyalakan lilin di lokasi-lokasi bencana. Banyak keluarga dari kota Lewoleba juga datang untuk mengikuti doa bersama dan penaburan bunga.

Baca juga: Langit Jingga Film dan Upaya Merawat Kebudayaan di Lembata

Dia memastikan bencana ini akan diperingati setiap tahun. Bahkan, umat juga sudah berencana untuk mendirikan satu monumen peringatan akan bencana banjir dan longsor yang menerjang kampung mereka.

“Rencana kami, tempat itu kami gunakan sebagai monumen peringatan setiap tahun,” katanya. 

Di Desa Waimatan, Romo Kristo Soge memimpin perayaan ekaristi peringatan bencana yang digelar di pusat kampung. Warga desa Waimatan yang saat ini masih berada di pengungsian juga datang, berdoa, menabur bunga dan menyalakan lilin di lokasi bencana.

Patris Pereto, warga setempat, menuturkan ulang bencana yang menerjang kampung halamannya itu. Dia termasuk salah satu orang yang menyaksikan dan mengikuti semua proses evakuasi korban di desa Waimatan. Oleh sebab itu, dia memilih tetap tinggal di kampung itu pasca bencana hingga pencarian berakhir.

Baca juga: Setahun Lembata Diterjang Banjir, Pengungsi Tempati Perumahan Relokasi

Longsor yang menerjang sebagian pemukiman di Waimatan itu memakan 26 korban jiwa, dan sampai sekarang ada 8 orang yang dinyatakan hilang.

“Kita pasrahkan semuanya,” kata Patris.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved