Flores Bicara
Karutan Larantuka Bilang Warga Flores Timur Sangat Ramah
Karutan Solichin mengungkapkan pendapatnya tentang pribadi orang Flores Timur. Menurutnya, orang Flores Timur itu terkenal dan ramah menyambut orang.
Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Hadir dalam program talk show kawakan media TribunFlores.com, edisi Minggu 26 Juni 2022, Kepala Rutan Kelas IIB Larantuka, Solichin, AMd.I.P.,S.A.P., M.H, menyebutkan Warga binaan Rumah tahan kelas IIB Larantuka ramah.
Tak lupa pula, Karutan Solichin mengungkapkan pendapatnya tentang pribadi orang Flores Timur. Menurutnya, orang Flores Timur itu terkenal dan ramah menyambut orang dari luar daerah.
"Saya baru tau Flores Timur itu ketika ditunjuk sebagai Karutan kelas IIB Larantuka. Awalnya, saya pikir bahwa orang Flores Timur itu keras dan kaku namun ketika sampai di sini, saya kaget. Ternyata orang Flores Timur itu ramah terhadap orang dari luar daerah," ungkapnya.
Baca juga: Jembatan Pomakeke di Nagekeo Nyaris Ambruk
Live talk show bertajuk mengenal Rutan Kelas IIB Larantuka yang dipandu oleh Gordy Donofan selaku Host, berlangsung di ruang kerja Karutan Larantuka, di Rutan Kelas IIB Larantuka, Jalan Sudirman No.51, Kelurahan Sorotari, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Perlu diketahui, sekitar 6 bulan yang lalu, Karutan Solichin menerima tugas baru sebagai kepala rutan di Larantuka.
Namun, ternyata banyak perubahan yang telah dicapai baik dari kondisi fisik bangunan Rutan Kelas IIB Larantuka hingga sampai pada pemberdayaan warga binaan Rutan Kelas IIB Larantuka.
Awal Penunjukan Sebagai Karutan
6 bulan yang lalu Solichin ditunjuk menjadi Karutan Kelas IIB Larantuka setelah sebelumnya bertugas di wilayah Jawa Tengah.
"Saya di sini tanggal 17 Desember 2021, jadi sekitar 6 bulan di sini. Saya sebelumnya bertugas sebagai Kepala Rutan Kelas IIB Purwodadi, Jawa Tengah," ungkapnya.
Karutan Solichin mengatakan tidak pernah membayangkan akan bertugas di Pulau Flores, khususnya Larantuka.
Namun, untuk tugas, kata Solichin, itu adalah sebuah amanah dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
"Karena kita sudah meneken kontrak sebelumnya. Sebelumnya saya jadi pegawai dan siap ditempatkan di mana-mana," kata Solichin.
Baca juga: Hasil Kajian Pembatasan Kuota Pengunjung Taman Nasional Komodo, Alue: Perlu Diatur Jumlah Maksimum
Solichin mengaku baru tahu daerah Larantuka ketika menerima SK penugasan.
"Saya pas tau itu ketika menerima SK. Setelah itu saya searching di google dan baru tahu oh ternyata ada Larantuka yang karena yang dikenal di Jawa itu Flores," tuturnya.
"Kesan pertama ketika tiba di Larantuka,"ucap Solichin, sebelumnya ia mendengar cerita dari teman-teman kalau orang NTT itu keras. Tapi setelah ia datang disini, didapati kenyataan yang berbeda sekali. Berbeda dengan apa yang dikatakan teman-temannya.
"Contoh halnya di sini, warga binaan yang ada di Larantuka yah, saya selalu datang mendekati mereka dan pada saat datang bertatapan-bertemu langsung, mereka itu langsung bertegur sapa. Ramah sekali," ungkapnya.
Lanjutnya, pokoknya kesan yang didapatkan itu sangat baik. Solichin merasa diterima oleh para warga binaan yang ada di Rutan Kelas IIB Larantuka.
Selain itu, hal unik lain yang didapatkan Solichin adalah tolrensi beragama yang ada di dalam lingkungan Rutan Kelas IIB Larantuka.
"Umumnya di sini nasrani yah, dan saya sendiri agama muslim. Dan yang saya lihat di sini toleransi beragama yang dijalin di sini sangat baik," ungkapnya.
Dari pengalaman Solichin, daerah Larantuka adalah daerah religius lebih khusus pada aktivitas kerohanian umat Katolik. Satu hal yang ia tahu adalah prosesi semana santa yang mendunia. Meskipun daerah ini kental dengan kekatolikan tapi toleransinya terhadap agama lain itu sangat luar biasa baik.
Tertanggal hari kemarin, 26 Juni 2022, jumlah seluruh warga binaan Rutan Kelas IIB Larantuka 177 orang dengan perincian, perempuan berjumlah 5 orang selebihnya laki-laki.
Ketika Solichin, bertugas di Larantuka ia menggunakan pendekatan persuasif ketika membina para warga rutan. Mengingat, di rutan banyak warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang memiliki watak yang berbeda-beda.
"Saya selalu gunakan pendekatan persuasif. Keluh-kesah mereka itu saya dengar. Tujuan adalah supaya mereka dapat merasa diayomi atau diperhatikan bukan diterlantarkan," ungkapnya.
Baca juga: Fraksi PDIP Desak Pemkab Ende Realisasikan Insentif Bosda Guru Honor
Untuk tindakan positif yang dilakukan WBP, Solichin katakan selalu ia tindak lanjuti dan ia penuhi.
Hal ini, diupayakan agar WBP merasa nyaman selama menjalani masa hukuman.
"Supaya mereka merasa nyaman. Dia nggak tertekan. Kesannya seperti ini rumah mereka sendiri," tandasnya.
Akhirnya, hubungan WBP dengan petugas lapas menjadi harmonis. Tidak ada kesenjangan sosial dalam lingkurang Rutan Larantuka.
Setelah 6 Bulan Bertugas
Tak dapat disangkal banyak perubahan yang terjadi setelah 6 bulan ini, Solichin menjalani masa tugas sebagai Karutan Rutan Kelas IIB Larantuka.
Anggapan masyarakat terkait Rutan yang dinilai identik dengan kekerasan verbal maupun non verbal mulai teratasi.
"Dari bulan Desember kemarin, memang kita harus memberikan pengertian kepada masyarakat. Bahwa, rutan ini adalah bukan penjara lagi. Artinya rutan itu rumah tahanan negara sedangkan penjara itu istilah dulu yang sistemnya beda. Kalau, sistem rutan itu beda dengan sistem penjara. Dan sistem rutan adalah sistem pemasyarakatan, jadi itu membina bukan seperti zaman dahulu yang identik kekerasan," ungkapnya.
Jadi, di rutan, Solichin memberikan mereka program pembinaan yang terlihat seperti belajar.
"Belajar keagamaan, belajar keterampilan, belajar keteladanan dan hal positif lainnya," ungkapnya.
Ibaratnya, rutan adalah sebuah dunia kecil tempat di mana warga binaan belajar agama, sikap, keterampilan sehingga pada saatnya mereka keluar, mereka menjadi warga atau masyarakat yang baik dan dipastikan akan diterima oleh masyarakat di luar.
Yang berikut, selain perubahan cara membina WBP, karutan Solichin juga mengubah fisik bangunan rutan.
"Rutan Larantuka yang dulu masih seperti angker, menurut masyarakat, kini setelah dilakukan perubahan-perubahan rutan ini seperti kembali bersahabat dengan masyarakat. Dan setiap sore ada masyarakat yang bermain Voly di halaman rutan juga nongkrong di sekitar rutan ini," ungkapnya.
Baca juga: Mengenal Ritual Adat Penjemputan Tamu di Desa Waibao, Tanjung Bunga Flores Timur
Selain itu, dibangunnya taman-taman. Ada juga nuansa bali pada ukiran di dinding dan pohon-pohon yang tentunya tidak menghilangkan ciri khas Larantuka sendiri.
"Tujuan semua itu agar, masyarakat tidak takut lagi atau merasa seram melihat rutan ini atau dengan kata lain menjadikan rutan ini lebih humanis," pungkasnya.
Program-Program Binaan untuk WBP
Karutan Solichin menjelaskan ada beberapa program yang telah dicanangkan dan juga dijalankan di Rutan Kelas IIB Larantuka.
"Di sini ada program pelatihan me-las besi, selain ada program pelatihan kerajinan tangan berbahan dasar koran bekas," ujarnya.
Dicontohkan, untuk kerajinan koran bekas, para WBP biasanya mengolah dan membentuknya menjadi barang yang bernilai jual tinggi seperti kapal pinisci, tas, mobil mainan, rumah, replika gereja dan barang lainnya.
Selain itu, ada kegiatan ibadah yang rutin dilaksanakan oleh para WBP.
Selain itu masih ada berbagai program yang telah dilakukan dan kata Solichin, banyak manfaat yang telah didapatkan oleh para warga binaan.
Adapun, tujuan dari program-program tersebut adalah mendidik mereka menjadi manusia yang berkualitas dan berkarakter, membuat mereka nyaman selama menjalani masa hukuman.
"Tujuannya adalah semata-mata untuk kebaikan mereka. Agar mereka nyaman menjalani masa hukuman, dan jika keluar nanti mereka punya modal untuk menyambung hidup mereka," tutupnya.
BERITA FLORES TIMUR LAINNYA:
Ritual Adat
Sementara itu, Desa Waibao terletak di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur.
Desa ini memiliki cara yang unik dalam menerima tamu atau pengunjung baru yakni menggunakan tata cara adat.
Penerimaan secara adat ini, hanya bisa dilakukan oleh salah satu suku di desa tersebut yakni Suku Maran. Nama ritual itu Kehirin.
Pantauan TribunFlores.com, pada Minggu 26 Juni 2022, sejumlah tamu dari kota Larantuka dan Maumere berkesempatan mengunjungi desa tersebut.
Setibanya mereka di depan sebuah rumah tradisional (rumah adat) milik Suku Maran, rombongan disambut beberapa orang dari Suku Maran.

Ada yang menggenggam sebuah wadah yang berisi sirih dan pinang, ada yang mengenakan topi tradisional berbahan dasar daun lontar, ada yang memegang selendang khas daerah tersebut ada juga yang memegang sebotol berisi minuman tradisional dan gelas dari tempurung kelapa, khusus juga seorang lainnya dipercayakan melantunkan sapaan adat.
Berdiri berhadapan, sapaan adat dalam bahasa Lamaholot dilantunkan oleh seorang warga yang bernama Yohanes Nara Nitit.
Usai sapaan adat, rombongan dipakaikan topi tradisional dan dikalungkan selendang.
Mereka juga disuguhkan minuman tradsional (moke). Setelah itu, rombongan dipersilahkan masuk ke dalam rumah adat.
Baca juga: Lakalantas di Manggarai, Isak Tangis Keluarga Masih Terdengar, 2 Korban Ditempatkan di Teras Rumah
Miliki Makna
Anggota Suku, Kanis Maran mengungkapkan semua hal yang dilakukan terkait penerimaan tamu tersimpul makna yang mendalam.
"Untuk sapaan adat itu sendiri artinya bahwa setiap tamu siapa saja yang datang pasti pertama-tama melalui komunikasi untuk saling mengenal. Sapaan adat yang tadi sebenarnya adalah semacam doa atau mantra. Kita menerima tamu menyapanya dengan doa dan mengungkapkan sikap kita bahwa kita terbuka menerima tamu itu," kata Kanis.
Sedangkan, untuk atribut-atribut lainnya seperti topi merupakan bentuk penghargaan terhadap tamu, juga menandakan bahwa tamu dilindungi.
Selendang dan sarung menunjukkan tamu tersebut telah diterima secara sah menjadi anggota Suku Maran.
Minuman tradisional merupakan bagian dari bentuk persahabatan atau menjalin keakraban dengan anggota Suku Maran dan menandakan tamu tersebut boleh menikmati atau mengkonsumsi makanan milik Suku Maran.
Khusus untuk Sarung memiliki makna, tamu tersebut telah menjadi bagian dari anggota Suku Maran.
Bangunan rumah adat memiliki satu panggung dan tak memiliki dinding. Rumah adat tersebut ditopang oleh 12 tiang dengan diameter 30 sentimeter.
Panggung itu akan ditempati oleh tamu jika sudah dipersilahkan masuk ke dalam rumah adat.
Kanis Maran mengungkapkan di atas panggung tersebut, tamu akan dijamu dengan berbagai suguhan yang dimiliki oleh Suku Maran.
Kata Kanis, hal ini menujukkan Suku Maran sangat menghormati tamu yang datang dan memberikan padanya posisi yang terhormat dalam anggota Suku Maran.
Kanis Maran mengungkapkan, tata cara kehadiran seorang tamu dalam sebuah rumah pasti lewat pintu rumah bagian depan dan adanya komunikasi.
Untuk itu upacara penerimaan tamu secara adat menandakan bahwa tamu tersebut datang secara terhormat melewati pintu yang benar.
"Artinya tata cara berkunjung itukan ada etikanya, dan upacara ini sebagai bagian dari etika bertamu atau menerima tamu," ungkapnya.
Selain itu juga, sebagai orang yang percaya akan adat, kata Kanis, upacara ini dimaksudkan agar tamu tersebut dapat memperoleh izin resmi dari anggota kampung dan leluhur dalam mengunjungi kampung itu dan melihat serta menikmati isi kampung yang dikunjungi.
"Kitakan percaya adat. Kita buat ritual terima tamu ini karena kita yakini bahwa tiap kampung punya tata aturannya sendiri yang harus dapat peroleh izinan dulu baru dieksplore. Supaya tamu tidak kesulitan maka diadakanlah upacara ini," jelasnya.
Asal usul Suku Maran
Di Daerah Larantuka di Kenal 4 Suku yang menjadi Koten, Kelen, Hurit, dan Maran sebagai raja tuan.
Keempat suku ini terbentuk dari sebuah komunitas yang bernama komunitas Lewolema. Jika diterjemahkan secara harafiah Lewo artinya kampung dan lema artinya lima. Jika digabungkan menjadi kampung lima atau lima kampung.
Keempat suku tersebut memiliki fungsi masing-masing. Khusus Suku Maran, dalam sebuah tatanan ia bertugas sebagai pendoa atau pembaca mantera dan arti dari Maran itu sendiri adalah Pendoa (terjemahan bahasa Indonesia).
Kanis Maran menegaskan, sukunya adalah suku pendoa.
"Kami kalau dalam sebuah kegiatan atau dalam kerajaan fungsi kami adalah membacakan mantera atau pendoa.
Tugas yang mereka emban itulah yang membuat mereka disebut sebagai maran atau pendoa. Julukan kemudian melekat erat pada tiap keturunan hingga kini mereka dikenal sebagai suku atau turunan petugas doa atau pendoa.
Sedangkan untuk asal usul Suku Maran sendiri, Kanis menjelaskan mereka berasal dari Sina (Cina) yang berdomisili di Malaka (selat Malaka).
"Kami berasal dari Cina yang ada di Malaka kemudian datang ke sini dan bahkan menyebar sampai di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur," ungkapnya.
Baca juga: BREAKING NEWS: Lakalantas di Manggarai 2 Orang Meninggal Dunia
Rumah Adat Suku Maran
Rumah adat berbentuk seperti rumah. Namun, ada sedikit perbedaan, yakni tak berdinding dan memiliki panggung di dalam rumah adat tersebut.
Bahan dasar pembuatan rumah adat yakni, Alang-alang, Kayu, tali, bambu dan beberapa bahan lainnya.

Kanis menjelaskan, rumah adat tersebut tak diberi dinding karena disesuaikan dengan warisan budaya hingga kini.
Rumah tersebut dibuat dengan bahan dasar dari alam juga dimaksudkan agar nilai budayanya tetap terjaga.
Saat ini, anggota Suku Maran umunya berdiam di Kecamatan Tanjung Bunga terkhusus Desa Waibao. Sebagiannya, berdomisili di daerah luar.
Danau Asmara
Sementara itu, Kabupaten Flores Timur memiliki beberapa tempat wisata yang sangat menarik.
Selain wisata religi berupa prosesi Jumat Agung yang mendunia adapula wisata alam lainnya yang tak kalah menarik dan unik yakni Danau Asmara.
Tempat wisata tersebut, belum tercium ke ranah publik. Lantaran lokasinya yang terbilang jauh dari perkotaan.
Letak danau tersebut berada di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur.
Luas danau yang berkisar sekitar 5 Hektare itu dikelilingi oleh pepohonan rimbun, seperti tanaman kelapa, pohon jati, beringin, dan jenis pepohonan lain yang sudah termasuk dalam cagar alam. Danau itu membentuk melingkar seperti sebuah bola mata.
Orang-orang sekitar menyebutnya juga dengan nama Mata Naga. Alasannya, Pulau Flores terbentuk seperti seekor Naga dan Danau Asmara adalah mata dari naga itu.
Jarak dari Kota Larantuka ke Danau Asmara sekitar 24,4 Km. Kondisi jalannya sudah diaspal dan memudahkan pengendara untuk mencapai danau tersebut dengan waktu tempuh sekitar 2 Jam.
Pengunjung bisa menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum untuk mencapai danau itu. Untuk ongkos angkutan umum sekitar, Rp.30.000.
Asal Usul Nama Danau Asmara
Sekedar catatan historis, menurut penuturan warga Waibao, Andreas Maran, Danau ini sebelumnya bernama Danau Mekele.
Namun, pada Tahun 1980-an, sepasang kekasih dikarenakan hubungan cinta mereka tak direstui keluarga, mereka memilih menceburkan diri kedalam danau tersebut.
"Dulu itu namanya Danau Mekele. Hanya Tahun 80-an itu ada 2 orang yang sejoli tenggelamkan diri di danau ini, karena hubungan mereka tak direstui keluarga mereka. Sejak itu, danau ini berubah nama menjadi Danau Asmara.
Fasilitas yang Tersedia
Pantauan TribunFlores.com, Senin 27 Juni 2022, danau itu terbilang masih perawan. Sebab, pembangunan di sekitar danau tersebut belum mencapai bibir danau.
Hanya terdapat, jalan setapak yang diberi semen, namun tak digunakan sebab belum rampung.
Pengunjung hanya bisa berjalan kaki menuruni lereng sejauh 200 meter untuk mencapai bibir danau.
Sepanjang perjalanan menuruni lereng, pepohonan akan menjadi pagar dan pelindung terbaik.
Ada beberapa tangga yang disiapkan untuk mempermudah akses menuju danau. Selebihnya, berupa jalan setapak.
Dikarenakan banyak sekali pepohonan yang tumbuh, danau tersebut tetap asri dan udara di sekitar danau juga sangat sejuk.
Selain itu, warga di Desa Waibao juga membangun beberapa rumah pohon. Ada yang setinggi, 30 meter adapula yang dibawah 30 meter.
Di atas rumah pohon, pengunjung bisa mengambil foto dengan latar belakang danau asmara sepuas-puasnya.
Rumah pohon tersebut sangat cocok menjadi spot instagramable. Sebab, berada di ketinggian. Tempat dimana pengunjung dapat melihat pesona danau asmara lebih utuh.

Andreas Maran mengungkapkan banyak pengunjung yang telah menggunakan jasa rumah pohon tersebut untuk mendokumentasikan kisah perjalanan mereka ke danau itu.
"Banyak sekali warga yang foto di atas rumah pohon, bahkan hingga malam masih ada yang datang," ungkapnya.
Ini masih kurang. Ketika pengunjung tiba di bibir danau, pengunjung akan menjumpai sebuah jembatan apung yang sangat ikonik.
Jembatan ini membentang sekitar 100 meter. Dengan ditopang oleh drum plastik yang terapung. Ditengah danau, warga dan pemerintah Desa Waibao membangun 2 pondok terapung dan satu tempt khusus untuk berswafoto.
Ditengah danau, pengunjung bisa melihat jernihnya air yang begitu tenang. Ada ikan-ikan kecil juga yang sekali-sekali muncul di permukaan.
Ada juga perahu kecil yang disiapkan. Pengunjung bisa berkeliling untuk menikmati pesona danau tersebut dan menikmati ribuan pepohonan yang terbentang di lereng setinggi 200 meter terhitung dari bibir danau.
Tanggapan Pemerintah
Danau Asmara telah lama menjadi perhatian pemerintah. Perhatian itu berupa penyadiaan fasilitas hingga konservasi alam.
Tokoh masyarakat, Kanis Maran mengungkapkan pada zaman pemerintahan Gubernur NTT, Ben Mboy, ratusan ekor ikan lele dilepaskan kedalam danau.
"Dulu zaman pak Ben Mboy itu banyak ikan yang dilepaskan di danau ini," ungkapnya.
Selain itu juga dari pemerintah Desa Waibao juga membantu merawat danau tersebut.
Dengan menyediakan fasilitas pendukung seperti jalan, jembatan apung hingga kursi dan pondok untuk pengunjung.
Sementara itu, Andreas Maran selaku tokoh adat mengaku pemerintah desa telah lama melirik danau tersebut sebagai wisata unggulan di Desa Waibao.
Kata, Andreas peraturan desa terkait danau tersebut juga telah dikeluarkan.
"Perdes sudah dibuat untuk danau ini, hanya pemberlakuannya belum sepenuhnya," tuturnya.
Selain itu juga, perencanaan kedepan adalah pemerintah desa akan mempromosikan danau tersebut ke publik dengan menggelar berbagai kegiatan atau event di sekitar danau itu.
Seperti, camping pramuka, dan juga kegiatan-kegiatan lainnya.
Harapan Masyarakat Waibao
Danau tersebut berada di Desa Waibao. Selaku pemilik Danau tersebut, warga desa, Andreas Maran mengharapkan kiranya Danau tersebut makin hari semakin dikenal banyak orang.
"kami mau supaya kedepan danau ini banyak dikunjungi oleh banyak orang agar desa ini juga secara tidak langsung dikenal oleh masyarakat umum," katanya.

Ia juga berharap agar masyarakat dan pemerintah dapat membantu meningkatkan fasilitas yang ada di danau tersebut.
Seperti jalan, pondok, MCK dan beberapa fasilitas pendukung lainnya.
"Tempat ini masih banyak hal yang perlu dibenahi. Kami hanya minta kalau bisa kedepannya berbagai fasilitas ditambahkan agar para pengunjung dipermudah untuk datang ke danau ini," imbuhnya. (Cr1).