Berita Flores Timur

Kisah Pedagang Singkong di Pasar Larantuka, Hadapi Konflik Demi Lima Anak Jadi Sarjana

Polemik ini bahkan menuai konflik, namun tak sebanding dengan perjuangan Imakulata membantu suaminya, Stanis Nebon Koten (50)

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/PAUL KEBELEN
PEDAGANG KECIL - Imakulata Adja Kelen (40), pedagang kecil di pelataran depan Pasar Inpres Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Kamis 17 November 2022. 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Paul Kebelen

TRIBUNFLORES.COM, LARANTUKA - Terik matahari menusuk ubun-ubun kepala Imakulata Adja Kelen (40) di pelataran depan Pasar Inpres Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Pulau Flores, Kamis 17 November 2022.

Hawanya lebih panas lantaran ibu lima anak itu menjajakan singkong di pinggir jalan masuk pasar. Meski berdagang tanpa lapak yang beratap, Imakulata tetap tangguh sekalipun tubuhnya bak terpanggang dalam perapian iklim.

Mengenakan kaos ungu dibalut sweater hijau kusam dan celana kain abu-abu, Imakulata tak sungkan menawarkan umbi singkong kepada siapa saja yang melintas. Sesekali ia bertemu calon pembeli yang merespon dengan nada ketus, namun wanita berambut ombak terikat kuncir biru itu tetap melebarkan senyum santun.

Berdagang persis di lahan parkir kerap memicu konflik antar pedagang dan petugas Sat Pol PP. Imakulata dan pedagang kecil lainnya tetap keras kepala. Mereka memilih bertahan ketimbang berdagang sesuai ketentuan namun pulang tanpa selembar rupiah.

Baca juga: Pengembangan Panas Bumi Ulumbu, Langkah Nyata PLN Kurangi Emisi Karbon dan Percepat Transisi Energi

 

Para pedagang kecil pernah diusir petugas karena dianggap tak patuh. Mereka bahkan diarahkan pindah di tempat yang ditentukan dengan cara yang kurang humanis. Pedagang mengaku bukan menolak ditertibkan, namum kondisi lapak bagian belakang jarang disambangi pembeli.

Polemik ini bahkan menuai konflik, namun tak sebanding dengan perjuangan Imakulata membantu suaminya, Stanis Nebon Koten (50) menafkahi keluarga. Cucuran keringat wanita setengah baya ini menjadi tanda bahwa hidup tak semudah membalikan telapak tangan.

"Suami saya petani ladang pak. Tanam sayur dan ubi di atas lahan seluas setengah hektar. Kami hanya punya itu untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan membiayai uang sekolah lima anak," ujarnya sambil mengusap keringat di wajahnya.

Imakukata tinggal di Kampung Ebak, Desa Bandona, Kecamatan Tanjung Bunga. Jaraknya berkisar 30-an kilo dari Kota Larantuka dengan waktu tempuh 45 menit menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Saban subuh pukul 05.00, Imakulata sudah menunggu mobil pikap sebagai satu-satunya jenis transportasi dari Kampung Ebak menuju Pasar Inpres Larantuka. Ongkosnya kini naik membuat wanita kelahiran 28 Juli 1981 itu harus menambah biaya perjalanan plus barang jualan.

"Ongkos pergi-pulang Rp 80.000 pak, soalnya BBM sekarang sudah naik. Nanti mereka jemput kami itu agak sore pukul 15.00," ucap Imakulata.

Imakulata dipacu mencari uang lantaran anak sulungnya, Edwin Koten sedang menimbah ilmu Jurusan Listrik di Politeknik Kupang. Biaya pendidikan formal yang tak murah ditambah uang kos bulanan membuatnya lebih gigih hingga kelima buah hatinya bergelar sarjana.

"Cita-cita saya, mereka semua jadi sarjana. Saya percaya Tuhan selalu kasih jalan meski kami hidup susah. Suami cari uang dengan menanam di kebun, saya menjual hasil kebun sendiri untuk ongkos mereka sekolah," ucapnya sambil membatin.

Dalam sehari, Imakulata mendapat omzet Rp 175 sampai Rp 300.000. Jika semesta memberikan rejeki lebih dari biasanya, ia bisa membawa cuan hampir dua kali lipat.

Namun kadangkala, sambungnya, barang jualan tak laku-laku memaksanya pulang dengan tangan hampa. Saat dihadapkan dengan situasi itu, Imakulata hanya bisa pasrah sembari memukul dada.

"Tergantung rejeki pak. Kadang-kadang memang tidak laku, jadi terpaksa bawa pulang. Ongkos transportasi bertambah karena ada barang yang sisa," tandasnya.

Berita Flores Timur Lainnya

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved