Berita Sikka
Kisah Mama Felixia, Hidup di Gubuk Tanpa Jendela Menanti Suami Kembali dari Negeri Jiran
Kisa Mama Felixia, warga Kelurahan Wailiti, Kota Maumere yang hidup seorang diri karena suami merantau di Malaysia
Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Kristin Adal
TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE- Felixia (59) hidup sendiri di gubuk bambunya ditemani Popi, anjing hitam yang setia menemaninya, kucing abu-abu ekor panjang dan lima ekor kambing yang dikandangkan tepat sisi barat rumahnya.
Kurang lebih 7 kilometer jarak dari Kota Maumere menuju rumahnya. Jarak yang cukup dekat dari ibu kota Kabupaten Sikka. Sebuah gubuk bambu Felixia (59) berdiri kokoh di dalam rimbunan pohon singkong yang ia tanam sejak 7 tahun lalu.
Felixia, seorang istri yang ditinggal suaminya merantau di Malaysia sejak tahun 2016 lalu. Ia adalah warga Urung Pigang, RT 010/RW 003, Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka.
Felixia yang ditemui TribunFlores.Com, Kamis sore 9 Maret 2023. Ia sedang duduk di bale-bale bambu mengusap keringat yang mengalir di wajah yang nampak keriput. Rupanya ia baru kembali dari Pasar Wuring menjual sayur daun singkong yang tumbuh di pekarangan rumahnya.
Baca juga: Sejak Suami Meninggal, Mama Sisilia Setiap Hari Jualan Daun Singkong Keliling Kota Maumere
"Mohon maaf e begini kondisi rumah saya. Saya sebut ini pondok. Saya baru pulang jual sayur di Pasar Wuring. Saya petik ini daun singkong untuk saya jual,"kata Felixia sambil tersenyum dan mengoyangkan kakinya di samping Popi yang diikat di bawah bale-bale bambu.
Bale-bale itu ia buat sendiri di depan rumah sangat sederhana menempel dengan rumah dinding bambu, berlantai tanah dan beratap seng.
Rumah ukuran 2x3 meter tanpa jendela ini menjadi tempat Felixia berteduh tanpa mengeluh. Pasalnya, rumah ini menyimpan banyak kenangan ia dan suami.
Dinding bagian dalam rumahnya ditempeli koran-koran Pos Kupang yang mulai sobek di setiap sisinya. Koran-koran ini menghalau dinginnya angin malam yang masuk lewat sela-sela bambu. Perkakas dapur berjejer di dalam rumahnya yang sempit ini.
Baca juga: Kasus DBD di Kelurahan Kota Uneng Capai 40 Kasus, Kedua Tertinggi di Kabupaten Sikka
Kamar tidurnya juga disekat menyisakan sedikit bale-bale bambu yang hanya bisa ditempat dua orang. Sementara kamar tidurnya hanya cukup untuk dirinya saja. Kondisi ini tak juga membuatnya mengais bantuan kepada pemerintah.
Gubuk bambu tanpa jendela ini dibangun oleh suaminya sebelum kembali merantau ke negeri Jiran 2016 lalu. Kehabisan modal untuk membeli material bangunan dan membayar tukang menjadi alasan suami Felixia ke Malaysia.
"Suami bangun rumah ini sementara, karena di sebelah sudah bangun fondasi rumah. Besi-besi masih ada. Tapi belum selesai dia sudah kembali ke Malaysia untuk cari uang tambah mau lanjut bangun rumah,"ungkap Felixia.
Ia tak tahu berapa luas tanahnya namun tanah itu telah tersertifikat atas nama suami. Tanah tersebut dibeli Felixia dan suaminya saat kembali dari Malaysia awal tahun 2016 sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi karena paspor yang habis masa berlaku.
Fondasi rumah yang telah dibangun berada di sisi timur gubuknya masih dalam pekarangan rumahnya dan tanahnya cukup luas. Tanah tersebut dibeli Felixia dan suaminya saat kembali dari Malaysia awal tahun 2016. Kapling tanah yang dibeli dari upah menjadi asisten rumah tangga dan buruh bangunan di Malaysia.
Ia mengaku sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi karena paspor yang habis masa berlaku. Ia tak tahu berapa luas tanahnya namun tanah itu telah tersertifikat atas nama suami.
"Saya bertemu suami di Malaysia dan nikah di sana. Saya dan suami dipulangkan dari sana karena paspor habis masa berlaku. Suami saya dipenjara 6 bulan di Malaysia sementara saya waktu penangkapan bersembunyi di bawah kasur. Jadi polisi hanya lihat suami dan tangkap dia," ungkap Felixia.
Fondasi ini nampak berlumut, ditumbuhi rumput-rumput liar, tanaman singkong dan pohon buah srikaya. Sementara rangka besi-besi beton kian karat dan menjulang ke langit. Felixia pasrah, tak mampu melanjutkan pembangunan rumah.
Felixia tak mau pasrah dengan keadaan. Hasil menjual sayur di Pasar Wuring ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Membeli beras dan ia sisihkan untuk membayar air bersih yang mengalir di tandon air miliknya. Ia juga meminjam tanah kerabatnya untuk menanam jagung.
"Biar sudah saya tinggal di saya punya pondok ini. Selama ini saya aman-aman saja. Saya tidak punya cukup uang untuk bangun kembali. Masih bisa jual sayur dan hasilnya lumayan saya bisa beli beras,"kata Felixia penuh keyakinan.
Felixia beruntung telah meraskan terang listrik sejak awal tahun 2023. Sebelumnya ia hanya mengandalkan pelita. Rumahnya pun dialiri listrik berkat bantuan pemasangan baru listrik bagi rumah tangga tidak mampu dari PLN.
Terdapat tiga bola lampu yang ia miliki. Bola lampu tersebut terpasang di dalam kamar, di depan pintu rumah yang menghadap utara dan di bagian belakang rumahnya.
"Ini PLN yang pasang dan kelurahan. Saya buka hanya untu malam saja. Kalau pagi saya kasi mati walapun gelap di dalam. Saya harus hemat pulsa,"ujar Felixia.
Felixia tak hentinya bersyukur, kehidupannya serba kekurangan tak membuatnya berhenti berjuang. Sambil menanti suami kembali ke rumahnya. Dalam setahun, suaminya menelpon 2 kali bahkan tidak sama sekali. Mengirim uang hanya sekali sejak pergi dari tahun 2017.
"Mungkin karena signal di sana. Kerja juga mereka itu lari-lari dari polisi karena tidak punya dokumen lengkap. Saya masih tunggu karena dia janji pergi untuk cari uang tambah untuk bangun rumah,"pungkas Felixia dengan suara berat dan mata berkaca-kaca.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.