Berita Lembata

Warga Bisa Kena Denda Adat 3 Ekor Babi Bila Rusak Kawasan Konservasi Nuha Nera di Tapobaran Lembata

Pemerintah Desa Tapobaran di Kecamatan Lebatukan telah mengeluarkan peraturan ketat untuk menjaga wilayah hutan di kawasan Nuha Nera

Penulis: Ricko Wawo | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/HO-IST
Warga melintas di hamparan Nuha Nera, di Desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Pemerintah desa Tapobaran di Kecamatan Lebatukan telah mengeluarkan peraturan ketat untuk menjaga wilayah hutan di kawasan Nuha Nera di Kabupaten Lembata. 

LAPORAN REPORTER TRIBUNFLORES.COM, RICKO WAWO

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Beberapa waktu lalu sekelompok orang tertangkap masuk ke kawasan Nuha Nera. Mereka kedapatan sedang mencari madu dari sarang lebah yang ada di sana. Lebah diusir dari sarangnya dengan kepulan asap. Pemerintah desa dan masyarakat adat pun menjatuhkan sanksi adat kepada para pelaku.

Pemerintah desa Tapobaran di Kecamatan Lebatukan telah mengeluarkan peraturan ketat untuk menjaga wilayah hutan di kawasan Nuha Nera di Kabupaten Lembata. Siapa saja yang masuk kawasan ini dan merusak ekosistem di dalamnya akan didenda 3 ekor babi secara adat.

Aturan yang menjadikan Nuha Nera sebagai kawasan konservasi itu telah diatur dalam peraturan desa (perdes) yang sudah ditetapkan pada 7 Maret 2023 yang lalu.

Kepada Desa Tapobaran, Petrus Damianus Pito Maing, mengatakan penetapan kawasan konservasi Nuha Nera juga diatur dalam peraturan desa yang sama dengan pengaturan kawasan konservasi Muro di wilayah laut Tapobaran.

 

Baca juga: Denda Adat 3 Ekor Babi Jika Langgar Muro, Ikhtiar Jaga Alam di Tapobaran Lembata

 

 

Pemerintah desa, katanya, merasa perlu menjaga Nuha Nera dari kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Di sana, masih ditemukan hewan dan tanaman endemik seperti burung kakatua, sapi, sarang lebah, pohon pelawan, bakau dan satwa liar lainnya.

Setiap hari, beberapa elemen masyarakat di Desa Tapobaran melakukan patroli di di kawasan yang dikeramatkan oleh warga Kecamatan Lebatukan itu.

Masyarakat dilarang untuk melakukan aktivitas pencarian ikan dan semua biota laut, merusak terumbu karang, lamun dan bakau di kawasan Muro Welomaten. Bukan hanya di laut, perdes juga mengatur masyarakat untuk tidak menangkap burung kakatua dan sejenisnya, mengambil batu-batuan dan merusak wilayah daratan Nuhanera. Para pelanggar akan didenda tiga ekor babi besar yang disebut ‘Wawe Ula’ yang sudah disetujui oleh pemerintah desa, dua ekor ayam jantan (Manu Lalu) untuk upacara seremonial atas pelanggaran tersebut.

Kepada Desa Tapobaran, Petrus Damianus Pito Maing, berujar didukung oleh LSM Barakat, kawasan Muro diberlakukan lagi sejak 2016. Pemerintah desa berkomitmen untuk melestarikan alam dan kawasan Nuhanera yang diyakini sebagai tempat istirahat para leluhur mereka.

Ketua BPD, Viktor Diri Raring menerangkan, perubahan iklim merupakan isu sentral global sampai sekarang. Dia berpesan kepada semua masyarakat desa untuk melestarikan lingkungan hidup.

“Tidak berlebihan kalau saya katakan Desa Tapobaran punya kontribusi kepada dunia dengan hutan bakau yang terbentang luas satu hektar lebih. Maka tugas kita untuk jaga ekosistem ini lebih baik,” tegasnya. Muro menurut dia adalah satu bentuk ekspresi iman kepada Tuhan.

“Kita lakukan ini dalam rangka memuji kebesaran Tuhan. Kita nikmati alam dan seisinya tapi bukan untuk kita kuasai. Kita harus lestarikan ini untuk generasi masa depan dan anak cucu kita,” tandasnya.

Apa itu Muro?

Muro dipahami secara harafiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat. Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata. Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung, kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada areal laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apa pun.

Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembangbiak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivias manusia dalam bentuk apa pun. Zona kedua disebut Ikan Berewae (Ikan Perempuan) yang dianggap sebagai zona penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan menangkap ikan di wilayah ini tapi hanya boleh dengan alat tangkap pancing tradisional, bukan dengan pukat. Zona ketiga disebut Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum sebagai zona pemanfaatan. Lokasi ini dibuka dan ditutup untuk umum sesuai kesepakatan. Bisa setahun sekali atau tiga sampai lima kali setahun. Pada saat kawasan ini dibuka, masyarakat akan beramai-ramai turun ke laut menangkap ikan yang ada di sekitar pesisir.

Dahulu kala, praktik pembukaan kawasan Ikan Ribu Ratu sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan masyarakat pesisir dan masyarakat di pegunungan. Masyarakat dari gunung akan diundang untuk menangkap ikan di pantai. Sebaliknya mereka akan membawa hasil kebun seperti jagung, beras dan kacang-kacangan untuk diberikan kepada saudara-saudari mereka yang bermukim di pesisir.

Ketiga zonasi di laut ini diawasi langsung oleh kelompok masyarakat adat yang disebut Kapitan Sari Lewa. Mereka adalah suku-suku tertentu dalam kampung yang memang secara turun temurun bertugas sekaligus punya wewenang menjaga dan mengawasi wilayah laut. LSM Barakat kemudian memperkuat Kapitan Sari Lewa dengan pelatihan, advokasi dan sejumlah fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut.

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved