Festival Toja Me Sikka

Nyaris Punah, Togo Pare Kembali Tampil dalam Festival Toja Me Lela Sikka

Togo Pare bentuk tarian menyambut waktu panen di Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur

Penulis: Gordy Donovan | Editor: Cristin Adal
TRIBUNFLORES.COM/GORDY DONOFAN
MENARI - Penari Togo Pare dari Sanggar Ganing Pani saat menari di Festival Toja Me Lela, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, Jumat 25 Agustus 2023. 

TRIBUNFLORES. COM, MAUMERE - Togo Pare bentuk tarian menyambut waktu panen di Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tarian adat ini sudah hilang sejak 40 tahun lalu dan kini direflekasikan kembali dalam Festival Toja Me.

Penari Sanggar Gaging Pani mayoritas berusia paruh baya baik pria maupun wanita. Mereka berasal dari Desa Hepang, Kecamatan Lela yang membawak Togo Pare dalam gelaran Festival Toja Me. Mengenakan sarung berwarna hitam dan bermotif, baju berwarna putih dan selendang merah.

Anggota Sanggar Ganing Pani, Inosensius Sosimus Jolong (56) ini mengatakan, Togo Pare merupakan tarian adat. Mengisahkan nenek moyang pada zaman dahulu suka hidup bergotong-royong saat bertani atau ketika membuka kebun baru.

"Tarian Togo Pare dari Sanggar Gaging Pani Desa Hepang. Satu bentuk tarian menyambut saat panen. Atau syukur panen," ujar pria yang akrab disapa Inodi acara Festival Toja Me di Lela, Jumat 25 Agustus 2023.

Baca juga: Festival Toja Me di Lela, Momentum Ajak Anak Muda Lestarikan Warisan Budaya Sikka

 

 

Dahulu, nenek moyang jika bekerja itu tidak sendiri-sendiri, pasti berkelompok. Mereka gotong-royong menyelesaikan pekerjaan. Sambil bekerja, mereka melantukan Togo. Itu memberikan semangat ketika bekerja sekalipun panas terik matahari.

"Saat bekerja mereka melantukan Togo tadi. Itu supaya mereka tetap semangat, mau panas terik juga mereka tetap kerja. Itu mulai buka kebun hingga sampai panen, " ujarnya.

Ino mengakui bahwa Togo Pare kini nyaris punah. Tidak terlihat saat membuka kebun. Tapi kegiatan apa saja di Sikka tetap menjaga kebersamaan dan gotong-royong.

Apalagi saat itu tidak ada alat musik seperti saat ini. Saat Togo, ada seseorang yang memukul sebuah tempurung kelapa menggunakan kayu. Itu dijadikan sebagai alat musiknya. Sedangkan anggota penari melantukan syiar-syiar yang memberikan semangat.

"Satu orang yang tukang pukul tempurung kelapa tadi sebagai musik. Yang lain mulai melingkar dan mulai menari. Sangat bagus itu dulu, " ujarnya.

Baca juga: Ketua Sanggar Doka Tawa Tana : Budaya Leluhur Harus Tetap Dijaga Sampai Anak Cucu

Ia mengaku budaya itu sudah hilang sejak 40 tahun lalu. Ini menjadi refleksi bersama kenapa budaya Togo itu hilang. Mari kita bangkitkan kembali.

"Semangat kebersamaan itu yang hilang sekarang. Saat kerja itu Togo dilantunkan karena belum ada musik seperti saat ini. Jadi sekarang budaya itu hilang, tradisi itu sebenarnya diwariskan, " ujarnya.

"Orang dulu jalan kaki meskipun jauh untuk ikut Togo. Supaya bisa dengar ada Togo dimana, mereka gali tanah atau lubang supaya bisa dengar ada Togo. Mereka akan datang ke tempat acara atau kegiatan itu," ujarnya.

Togo hingga kini sudah punah. Momen Festival Tojo Me membangkitkan kembali budaya Togo. Nilai budaya, gotong royong dan kebersamaan tak boleh pudar. Sudah saatnya anak muda meneruskan budaya itu.Ia mengajak anak muda jangan melupakan sejarah dan warisan budaya leluhur.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved