Berita Nagekeo
Cerita Aparat Desa di Nagekeo Tanam Cabai saat Musim Kemarau, Tak Sekedar Cari Untung
Cabai Asal Nagekeo kini diincar banyak pihak. Cabai Nagekeo sangat mudah didapati dan memang kini menjadi primadona banyak orang.
Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM, MBAY - Jauh di pelosok Provinsi Nusa Tenggara Timur, persisnya Desa Natatoto Kecamatan Wolowae Kabupaten Nagekeo, dari sebuah android diam-diam Martinus Beu Tawa, seorang aparat desa, tak pernah berhenti membuka tautan berita.
Berminggu-minggu sudah pria murah senyum yang dipanggil Marten itu, penasaran oleh simpang-siur melejitnya harga cabai di tanah air.
Gagal tanam dan gagal panen akibat El Nino jadi musebab utama. Hukum permintaan dan penawaran pun berlaku, produksi turun harga naik.
Bagi warga desa setempat, musim kemarau adalah saat sawah dan ladang dibiarkan mengering tak berpagar. Hewan ternak berkeliaran, mengembara di antara setiap surut genangan air dan pucatnya naungan pepohonan pinggir kali mati. Tidak ada lagi aktivitas tanam-menanam.
Baca juga: Cerita Mantan Kepala Desa Kini Jadi Petani Cabai Satu Tahun Raih Omzet Puluhan Juta
Berkebun di musim yang tidak tepat hanya akan menciptakan semacam proxy war yang menempatkan tanaman dan ternak berhadap-hadapan di garis depan. Kapan saja ribut-ribut antara pemilik kebun dengan pemilik ternak bisa meledak. Bercocok tanam di wilayah ini justeru masih dipandang sebagai perbuatan mengancam kehidupan ternak.
Tetapi tidak bagi Marten. Sudah lama ia bertekad patahkan kultur tersebut. Anomali iklim tidak memungkinkan lagi untuk terus bersandar pada sawah tadah hujan. Lahannya sudah kecil, sering gagal panen pula.
Kali ini lading seluas 20 are di pinggiran kali, tidak lagi dibiarkan kosong. Hampir 3 bulan lalu ia penuhi dengan cabai keriting dan sedikit-sedikit dari beberapa jenis hortikultura lainnya. Rupanya sejak awal tahun ini, ia sudah mengendus bakalan ada prahara pangan nasional, terutama cabai.
Kisah adu peruntungan perekonomian keluarganya didukung oleh pasangan hidup yang saling menopang. Marten beruntung berjodoh dengan Isabella Zopo (Is) yang memiliki literasi dagang yang baik.
Sebaliknya, Is tidak sia-sia memiliki suami yang punya aset lahan dari tabungan sewaktu masih muda. Dikenal hingga ke desa-desa tetangga, keluarga muda ini tergolong berpemahaman luas, namun tetap selalu rendah hati.
“Ini untuk kedua kalinya, sejak lama terhenti tahun 2016 silam,"tutur Marten yang lulusan STM itu, mencoba membuka percakapan Kamis 2 November 2023.
Baca juga: Ibu-ibu Desa Anakoli Tanam Cabai, Kadis Pertanian Nagekeo Serahkan Bantuan Sarana Sumur Bor
Is pun tak mau kalah, langsung menyela bahwa semakin panjang kemarau, semakin tenggelam masyarakat ke dalam aneka pesta-pora yang bersifat ekstraktif, adat-budaya dan urusan keagamaan yang saling bertautan satu sama lain.
Dengan nada sedikit traumatis, diuraikannya bahwa pesta sambut baru, permandian, nikah, ataupun kematian datang silih berganti.
"Pokoknya, bak kisah pacaran bapa (Marten, sang suami) dengan mantan-mantannya dulu, antara susah dan pesta selalu putus-sambung,"Is, bercanda.
Berganti Marten merampas alur cerita bahwa sebenarnya tidak hanya karena kesusahan hidup, mulanya di tahun 2016 silam mereka termotivasi oleh PPL dari Badan Penyelenggara Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Menurutnya, nasib para petani akan bisa diperbaiki salah satunya jika tanah yang subur tidak dibiarkan tidur panjang tanpa diolah.
"Berkat dorongan pak Ferdinandus Teme, penyuluh waktu itu, Pemda membantu waterpump dan toren untuk menyedot air dari kali,"tambahnya.
Namun Marten tidak mau berpanjang-panjang mengenang. Pahit rasanya karena waktu itu panenan tidak sepenuhnya menjadi milik mereka.
Pagar dari bilah bambu dan barisan gamal begitu mudah diterobos gerombolan kerbau-kerbau musim kemarau.
Dia mengisahkan bahwa ternak-ternak itu akan berubah jadi setan alas jika mencium aroma hijauan.
Untung tak dapat diraih, usaha bertahan hanya kurang dari semusim. Bertahun-tahun sejak saat itu, ia menarik pulang ujung jemari tangan Is, kembali jatuh-bangun di lahan sawah tadah hujan.
Disadari bahwa sia-sialah budidaya tanaman di daerah yang sedang beralih dari tradisi beternak menuju bercocok tanam intensif. Selama ternak masih dibiar berkeliaran, maka betapapun suburnya tanah, sulit rasanya bisa bercocok-tanam.
Kepala Desa yang diam-diam menaruh perhatian memahami frustrasi panjang stafnya. Idepun muncul untuk memagari kawasan pertanian masyarakat dengan kawat berduri dari dana desa. Tidak tanggung-tanggung luasnya 25 hektare.
Pikirnya, mungkin dengan begitu akan lebih mudah mengajak sebanyak-banyaknya warga untuk mengurangi aktivitas-aktivitas konsumtif di saat tidak turun hujan.
Marten yang adalah Kepala Seksi Perencanaan di Kantor Desa memotori pembangunan. Bagaimanapun juga dia tidak menyangkal bahwa Isterinya sempat merasakan sensasi berbelanja jutaan rupiah dari hasil kebun tersebut, walau harga cabai belum semahal sekarang.
Melihat ancaman ternak boleh dikatakan teratasi, gantian Is yang menarik pergelangan tangan Marten kembali ke kebun cabai yang lama ditelantarkan.
Kali ini para pemuda sekitar juga meniru. Untuk sementara total lahan hortikultura warga yang telah diolah kurang lebih mendekati 5 ha. Tidak melulu ditanami cabai, tapi juga ada bawang merah, tomat, kacang, dan lainnya.
"Meskipun masih sebagian kecil saja yang diolah, tetapi sekali lagi ini soal merubah kebiasaan bertani. Saat ini di desa kita sudah ada stok sayuran yang sebelumnya biasa kita beli dari pasar. Hebatnya lagi malahan ada juga yang sudah bisa menjual ke luar,"ujar Marten.
Marten yakin, pengalaman baik dan berharga akan menular dengan cepat kepada semakin banyak orang di desa. Asal bukti nyata yang berbicara, bukan cuma sebatas kata tanpa makna.
Ada lagi yang penting untuk diceritakan. Beberapa bulan lalu, mereka menerima kunjungan dari Kelompok Study Tour Aparatur Desa.
Baca juga: Cerita Polisi di NTT, Manfaatkan Waktu Luang Bertani Cabai, Raup Untung Jutaan Rupiah Usai Panen
Pada kesempatan itu, segala rahasia budidaya cabai dibongkar tuntas kepada para tetamu yang jauh-jauh datang dari Pulau Sumba. Mulai dari pengolahan tanah, pembibitan, pemeliharaan, pemanenan sampai pada pemasaran hasil, tuntas tidak berbekas. Tak lupa tips meracik pestisida dari buah dan tumbuhan lokal.
Maklum, selain karena pengalaman nyatanya, selama ini Pihak Pemerintah Daerah melalui dinas terkait, PPL maupun LSM yang bergerak di bidang pertanian memang sering datang berkunjung untuk memberikan pendampingan. Betul-betul kebun Marten sudah bisa dijadikan kelas belajar.
Kini, belum genap tiga bulan, buah-buah cabai mulai berangsur memerah. Empat hingga lima kilogram sudah bisa diantar sekali seminggu ke pelanggan lamanya. Ketika puncak panen tiba nanti, maka diperkirakan panenan akan meningkat menjadi paling kurang 30 kg per minggu.
Meskipun hati tergoda gejolak roket kenaikan harga di berbagai Pasar Besar seantero Tanah Air, mereka masih dapat menahan pada angka Rp25.000/kg. Marten memilih tidak menaikkan harga dan tetap setia merawat jaringan pasar yang sudah lama terbangun.
Toh, asal selalu ada yang membeli, maka dengan masing-masing minimal 2 kg dari 2000 pohon yang ditanam saat ini, mereka berhak memimpikan terbayarnya iuran Komite Sekolah maupun beban pesta dan adat-istiadat.
Sebagian lagi untuk membiayai anak angkat di sebuah Panti Asuhan, seorang putera yang sedang beranjak remaja dan sudah dijadikan saudara sulung bagi kedua puteri cantik mereka. Jika masih ada sisa, barangkali bisa disisipkan untuk mengganti roda motor matic Is, yang juga dipakai pergi-pulang mengajar di Taman Kanak Kanak di desa.
Marten menutup perbincangan dengan penggalan kata bijak bahwa harga sesungguhnya tidak hanya dibentuk oleh faktor produksi, tetapi juga oleh akses informasi dan distribusi yang konon katanya rawan dimainkan oleh oligarki. Maka sebagai petani gurem, hanyalah nilai dan etika yang dapat diandalkan dalam menghadapi krisis.
Marten tidak sekedar sedang berjuang membela perut, tetapi lebih dari itu, punya misi mendorong masyarakat desa meningkatkan perekonomian keluarga melalui perubahan pola pikir, tinggalkan kebiasaan lama, mampu menangkap peluang dan memiliki ketahanan menghadapi skenario terburuk di masa depan.
Sementara itu, Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do mengapresiasi usaha pertanian hortikultura milik Marten.
Bupati Don menyebutkan kreatifitas saat musim kemarau sangat dibutuhkan guna menopang hidup keluarga.
Apa yang dilakukan oleh Marten dan sang istri menjadi contoh untuk petani lain agar membaca peluang. Sebab bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Bupati Don mendorong semua kepala Desa untuk memberdayakan masyarakat lewat dana yang ada. Anggarkan dana untuk program pemberdayaan sehingga petani bisa memiliki modal untuk mengolah lahan hingga mendapatkan bibit tanaman hortikultura.
Pasca panen, Cabai atau tanaman hortikultura lainnya bisa masuk pasaran dan menekan harga sehingga tidak ada gejolak harga bahan pangan di tengah masyarakat.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.