Hari Guru Nasional

Cerita Guru Pedalaman NTT 10 Tahun Mengabdi Tak Digaji, Kini Tinggal di Perpus Sekolah

Seorang guru SMP di NTT berjuang selama 10 tahun tapi tak pernah terima gaji. Guru NTT kini berharap pemerintah memperhatikan nasib mereka.

|
Editor: Gordy Donovan
Kompas.com/Baharudin Al Faris
CERITA - Tiga guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Wini, Aryance Paulina Thake Kolo (tengah), Lukas Kolo (kanan) dan Frederikus Tnepu Bana (kiri) saat bercerita tentang nasib mereka beberapa waktu lalu di TTU. NTT. 

Lukas membenarkan setiap siswa di SMP Negeri Wini dipungut biaya senilai Rp 35.000 per bulan. Selain keperluan sekolah, uang komite itu digunakan untuk menggaji guru honorer.

“Per harian dari Pemerintah Daerah (Pemda) sudah tidak ada lagi. Karena, kontrak sudah diputus untuk guru-guru. Jadi, honorer murni. Biayanya (digajinya) dari uang yang setiap siswa bayar Rp 35.000 untuk guru honorer,” ungkap Lukas.

Dia mengatakan uang tersebut khusus untuk para guru honorer. Dirinya sebagai guru PPPK tidak menerima gaji dari uang komite.

“Karena, dari biaya komite ini harus murni ke guru yang berstatus honorer,” tegas Lukas.

Meski dikenakan biaya, terkadang pihak sekolah secara tersirat tidak memaksakan siswa untuk membayar. Hal ini mengingat kondisi ekonomi para orangtua siswa yang berbeda-beda.

Aryance tidak mengungkapkan secara rinci berapa nominal gaji yang diterima para guru honorer. Namun dia menyebut gaji untuk guru honorer berdasarkan lamanya mengajar di SMP Negeri Wini.

“(Yang diterima guru honorer) tergantung masa bakti. Ada yang Rp 1 juta, ada yang Rp 500.000,” ucap Aryance yang kini berstatus guru PPPK.

Panggilan jiwa

Dengan segala keterbatasan, Aryance tetap optimistis bahwa suatu saat nanti akan ada hal baik untuk semua guru di Indonesia.

“Sampai kapan baru sejahtera, sampai kapan baru dapat yang baik, kami tetap optimis untuk menjalankan tugas seperti biasa,” tegas Aryance.

Dia menegaskan tak merasa terpaksa menjalani profesinya. Sebab, profesi guru merupakan panggilan jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa.

“Tidak terpaksa. Mungkin karena sudah profesi dan latar belakang pendidikan, panggilan jiwa. Latar belakang guru, kalau mengalami kesulitan, tetap jalankan tugas. Tetap percaya, suatu saat pasti ada kebaikan,” katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Frederikus. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk berhenti menjadi seorang guru di tengah-tengah keterbatasan tersebut.

“(Karena profesi guru) sudah di sini,” ungkap Frederikus yang tangan kanannya memegang dada kirinya.

Harapan dari perbatasan

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved