Hari Rabu Abu

Mengetahui Tentang Rabu Abu dan Penggunaan Abu bagi Umat Katolik di Dunia

Perayaan Rabu Abu dilaksanakan setiap tahun bagi umat Katolik di dunia.Gereja katolik sudah mempraktekan itu sejak dulu kala.

Penulis: Gordy Donovan | Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM/HO-KOMPAS.COM
HARI RABU ABU - Potret Dahi seorang umat Katolik yang diolesi abu berbentuk salib. Perayaan Rabu Abu dilaksanakan setiap tahun bagi umat Katolik di dunia.Gereja katolik sudah mempraktekan itu sejak dulu kala. 

Oleh: Romo William P. Saunders

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Perayaan Rabu Abu dilaksanakan setiap tahun bagi umat Katolik di dunia.

Gereja katolik sudah mempraktekan itu sejak dulu kala.

Rabu Abu merupakan tanda pembukaan pantang atau masuk masa pertobatan jelang Paskah.

Rabu Abu kali dirayakan hari Rabu 14 Februari 2024.

Baca juga: Panduan Tata Perayaan Ekaristi Rabu Abu 14 Februari 2024

 


Berikut ini adalah ulasan mengenai Rabu Abu dan penggunaan abu bagi umat Katolik setiap tahun.

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/ tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).

Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, "Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu." (Dan 9:3).

Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.

Baca juga: Bacaan Injil Katolik Rabu 14 Februari 2024 Lengkap Renungan Harian Katolik

Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka talah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tangahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11:21).

Gereja perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu."

Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja Perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan.

Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepada mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan "Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu."

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved