Musik Liturgis Katolik

Pelanggaran-pelanggaran dalam Praktek Musik Liturgis Katolik yang Sering Terjadi

Simak selengkapnya Pelanggaran-pelanggaran dalam Praktek Musik Liturgis Katolik yang sering ditemukan di tengah umat di bawah ini.

Penulis: Nofri Fuka | Editor: Nofri Fuka
ISTIMEWA
Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat,Pr, memimpin misa syukur peresmian rumah Gendang Tenda, Rabu 21 Oktober 2021. 

2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.

Dalam RS 78 dijelaskan bahwa Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.

Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17, Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian.

Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku tertetu, Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan.

Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan.

Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius.

Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”

Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.

3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.

Untuk diketahui, Tra le Sollecitudini 19 menjelaskan Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.

Tra le Sollecitudini 20 menjelaskan Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.

Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.

Berita Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved