Minggu Palma 2024

Luka dalam Cinta, Refleksi Perayaan Minggu Palma

Cerita tentang luka dalam cinta ini ditulis oleh Suster Herlina Hadia,SSpS. Saat ini menyelesaikan studi di Melbourne-Australia.

|
Editor: Gordy Donovan
TRIBUNFLORES.COM / GG
Sr. Herlina Hadia,SSpS. Cerita tentang luka dalam cinta ini ditulis oleh Suster Herlina Hadia,SSpS. Saat ini menyelesaikan studi di Melbourne-Australia. 

Oleh: Sr. Herlina Hadia,SSpS

(Tinggal di Melbourne-Australia)

TRIBUNFLORES.COM, MELBOURNE - Suatu hari aku mendengar riuh suara meneriakkan, “Hosana, hosanna.” Entah siapa yang berteriak dan untuk siapa mereka berteriak, tetapi suara itu makin mengajakku untuk keluar. Dengan penuh rasa penasaran aku berlari keluar dari kamarku, menuju tempat dari mana suara teriakan itu berasal. Ribuan manusia memenuhi jalan berbatu di depan rumahku, bersama mereka aku pun berteriak “Hosana.”

Begitu banyak orang meletakkan kain di jalan itu, seolah akan ada Seseorang yang sangat dihromati akan melalui jalan itu. Aku pun meletakan kain yang mengitari leherku di jalan, sekedar mengikuti apa yang orang-orang sekampungku lakukan. Teriakan itu semakin kencang dan lambaian dedaunan menyertainya. Dan di tengah riuhnya teriakan itu, aku melihatNya, menumpang seekor keledai muda, dengan wajah tanpa ekspresi.

Aku melihatNya, kami bertemu pandang. Entah apa yang sedang dipikirkanNya, tapi mataNya mengatakan sesuatu kepadaku. “Cinta ini melampaui teriakan hosanamu, cinta ini melampaui lambaian daun-daunmu, cinta ini melampaui kain yang engkau bentangkan untuk Kulewati.” Dan cinta itulah yang membawaku berjalan bersamaNya pada hari itu. Aku tidak mengetahui dengan pasti jalanNya hari ini akan berujung ke mana dan di mana, berapa lama waktu yang akan ditempuh untuk mencapai tujuanNya.

Aku hanya ingin pergi bersamaNya, entah ke mana, tetapi hatiku begitu yakin bahwa kami akan sampai pada satu tujuan. Aku merasakan bahwa begitu banyak orang berteriak “hosanna” tanpa memahami apa arti teriakan mereka dan tanpa mengetahui kepada siapa pujian itu mereka arahkan. Ada juga dari mereka yang belum mengetahui siapa Dia yang ada di tengah kerumunan banyak orang itu dan mengapa pujian “hosanna” mesti ditujukan kepadaNya. Aku pun demikian, berteriak tanpa tahu untuk apa, untuk siapa dan mengapa.

Kami melangkah semakin jauh, aku berusaha untuk berjalan tidak jauh dariNya, karena aku ingin tahu apa yang akan terjadi padaNya. Aku belum bertemu denganNya, karena Dia tidak sekampung denganku. Aku pernah mendengar tentangNya. Orang-orang sekampungku sering bercerita tentang apa yang Dia lakukan, hal-hal yang selama ini belum pernah terjadi. Dia menyembuhkan orang sakit, menghidupkan yang telah mati dan masih banyak hal besar lain. Mungkin inilah alasan mengapa orang-orang sekampungku bergabung dan berterak bersama “hosanna” untukNya.

Sampailah kami di sebuah kota tua, yang tidak terlalu jauh dari kampungku. Dia segera turun dari tungganganNya dan berjalan menuju sebuah rumah. Setelah ia duduk, seorang perempuan muda dengan tertatih-tatih menghampiriNya dan meminyaki kakiNya.

Aku semakin yakin, Dia ini bukan orang biasa-biasa saja. Mengapa perempuan muda ini meminyakiNya dengan minyak yang begitu semerbaknya wanginya dan tentu harganya sangat mahal. Lagi-lagi mata kami bertemu dan seolah Dia mengatakan “Cinta ini melampaui minyak wangi yang bagimu sangat mahal harganya, cinta ini melebihi pengorbananmu berjalan bersamaku sampai di tempat ini.” Aku mulai sangat yakin, Dia akan menunjukkan cintaNya yang luar biasa kepadaku. Cinta yang melampaui usaha manusiawiku. Cinta yang sempurna dan ya, sangat sempurna.

Apakah ada yang harus dikorbankan demi cinta yang sempurna itu, aku sendiri belum mengetahuinya. Setelah beristrahat sebentar di rumah itu, Diapun keluar, diikuti oleh sekelompok laki-laki dewasa, orang-orang menyebut kelompok ini Rasul. Ada juga beberapa perempuan yang dengan penuh ketulusan mengikuti langkahNya.

Entah siapa yang akan setia menyertaiNya sampai di tujuan, aku pun tidak mengetahuinya. Ketika kami hendak memasuki alun-alun kota tua itu, aku dihampiri oleh seorang perempuan muda, yang wajahnya sangat kusam, dan mengajakku untuk duduk sebentar. Tapi aku menolaknya karena ingin memasuki alun-alun kota bersama dengan orang-orang lain. Namun semakin aku menolaknya, ia semakin memaksaku untuk duduk. Dengan terpaksa akupun duduk di bawah sebuah teduhan pohon bersamanya.

Dia mulai berkisah tentang masa kecilnya bersama dengan Pemuda yang diarak masuk ke alun – alun kota itu. Dia tak mau menyebut namanya. Ada tawa dan air mata di sela-sela kisahnya. Mereka melewati masa kecil bersama-sama. Menikmati segala permainan yang begitu menggembirakan di masanya. Dia selalu ingat bahwa sahabat masa kecilnya itu selalu menyatakan kasih melampaui pemahamannya. “Dia selalu mengatakan bahwa ketulusan kita dalam mencintai akan membawa kita pada luka,” katanya. Dia melanjutkan “Dan luka karena mencintai itu akan menyembuhkan jutaan manusia dari dosa.” “Mungkin Dia akan dilukai dan akan terluka,” sahutku.

“Dia bukan hanya terluka, tetapi akan memberikan diri dan bahkan nyawaNya, untuk disakiti, diludahi, disalibkan dan mati dengan cara yang tidak terhormat” katanya. Aku terdiam, mungkin ini yang namanya kesempurnaan cinta, mungkin ini yang namanya luka dalam cinta, mungkin ini yang namanya cinta yang melampaui segala usaha manusiawiku. Kami terdiam sesaat dan tiba-tiba hari itu menjadi sangat gelap, guntur dan kilat menyambar bumi.

Perempuan tak bernama itu mengatakan kepadaku “semuanya telah terbukti, Dia telah pergi.” Yaa… Dia telah pergi namun cinta dari tatapan mataNya masih ada di hati dan hidup ini. Dia telah pergi dalam cinta yang sangat dalam untukku, untuk dosa-dosaku. Dia telah pergi, namun aku yakin karena cinta yang sama Dia pasti akan kembali. Aku beranjak dari tempat dudukku, dan kembali ke rumahku.

Jalanan menjadi sangat sepih, teriakan “hosana” tak lagi terdengar, yang ada hanyalah duka, yang ada hanyalah luka. Luka karena dunia tak memahami apa artinya cinta, duka karena ketulusan cinta dibalas dengan cacian, air mata, darah bahkan nyawa. Aku kembali ke duniaku. Dunia yang dipenuhi dengan cinta pada diri sendiri, dunia yang dipenuhi dengan persaingan tentang siapa yang lebih berkuasa. Dunia yang mengabaikan cinta yang tulus untuk sesama. Aku kembali ke kamarku dan mengambil diariku dan mulai menulis,,,

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved