Berita Lembata

Wajah Politik di Lembata Masih Sangat Maskulin, Perempuan Hanya Jadi 'Pelengkap'

Kaum perempuan masih dianggap sebagai 'pelengkap' belaka oleh partai politik di Lembata saat pemilu. 

|
Editor: Cristin Adal
TRIBUNFLORES.COM/HO
Eman Krova dari Nimo Tafa Institute sedang menyampaikan sambutan sebelum Talkshow dimulai di Aula Perpustakaan Daerah Goris Keraf Lembata, Selasa, 18 Juni 2024.  

TRIBUNFLORES.COM-LEWOLEBA-Kaum perempuan masih dianggap sebagai 'pelengkap' belaka oleh partai politik di Lembata saat pemilu. 

Dalam konteks Pemilihan Legislatif (pileg), perempuan direkrut oleh partai politik hanya untuk memenuhi kuota caleg perempuan sebesar 30 persen. 

Perempuan, sekali lagi, tidak dipersiapkan dengan proses kaderisasi yang baik.

Hal ini terungkap dalam Talkshow yang diselenggarakan oleh Nimo Tafa Institute berjudul 'Menggugat Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pilkada di Lembata yang Demokratis' di Aula Perpustakaan Daerah Goris Keraf, Selasa, 18 Juni 2024.

Yuliana Atu, salah satu peserta talkshow, pertama kali menggugat peran partai politik tersebut.

Menurut dia, wajah politik di Lembata masih sangat maskulin karena sama sekali tidak ada keterwakilan kaum perempuan di gedung legislatif.

Aktivis perempuan ini bahkan menyebutkan kalau demokrasi tanpa kehadiran perempuan adalah demokrasi yang timpang.

Baca juga: Peserta di Lembata Antusias Ikut Kelas Demokrasi Nimo Tafa Institute

 

 

Partai politik di Lembata menurut dia selama ini tidak menjalankan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat khususnya kaum perempuan.

"Perempuan di Lembata masih sangat tertinggal soal politik," kata Yuliana.

Selain Ketua Perindo Lembata Hani Candra dan Ketua Nasdem Lembata Yuni Damayanti, tidak ada lagi tokoh perempuan dalam percaturan politik di Lembata.

Yuliana Atu menyebutkan rendahnya keterlibatan perempuan di Lembata juga merupakan dampak dari budaya patriarki yang sangat kental di tengah masyarakat Lembata.

"Perempuan itu bukan kader sebenarnya (yang direkrut partai politik untuk pemilu) karena kalau tidak ada aturan 30 persen caleg perempuan maka bisa saja tidak ada perempuan sama sekali di partai politik," kata Yuliana.

"Kami sangat tidak diuntungkan dalam proses budaya patriarki," ungkapnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved