Berita Lembata

Pertanian Cerdas Iklim, Upaya Petani Desa Wowong Keluar Dari Keterpurukan Ekonomi Pasca Seroja

Masih lekat di ingatan Abdul Latif Leki banjir bandang yang menerjang desa Wowong, Kecamatan Buyasuri pada 4 April 2021 silam. 

Editor: Ricko Wawo
TRIBUNFLORES.COM/HO/RICKO WAWO
Petani di desa Wowong, Abdul Latif Leki sedang menjelaskan sistem pertanian cerdas iklim, Rabu, 30 Oktober 2024. Kebun ini jadi salah satu lokasi kegiatan pelatihan pertanian cerdas iklim ini yang merupakan bagian dari program Youth Lead Climate Resilliance (Kepemimpinan Kaum Muda untuk Ketangguhan Iklim) yang diimplementasikan oleh Plan Indonesia di kabupaten lembata. 

Setahun setelah Badai Seroja, Jubir terpilih sebagai kepala desa. Memulihkan ekonomi warga desa adalah hal pertama yang harus pemuda 32 tahun ini lakukan.

Bak gayung bersambut, Desa Wowong yang merupakan satu dari 79 desa dampingan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) di Lembata mempunyai misi yang sama dengan Jubir selaku kepala desa: Memulihkan ekonomi warga pasca Seroja.

Plan Indonesia dan pemerintah desa Wowong mulai mendampingi masyarakat menggembur lagi lahan-lahan pertanian yang tertutup lumpur, lalu menerapkan sistem pertanian cerdas iklim.

Plan Indonesia memprakarsai pengelolaan kebun cerdas iklim yang dirancang untuk mengembalikan produktivitas lahan pasca bencana dan mendukung ketahanan pangan.

Dengan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Lembata juga, kelompok tani di desa Wowong berhasil mengembangkan pertanian hortikultura, mengoptimalkan produksi sayuran dan membuka akses ke pasar Walangsawa dan Wairiang, dua pasar yang ramai di ujung timur Lembata.

Pertanian cerdas iklim, ungkap Jubir, merupakan praktik pertanian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada. Jadi para petani sedapat mungkin menghindari penggunaan zat-zat kimia yang bisa mengurangi unsur hara dalam tanah.

“Misalnya, para petani di sini juga mulai menggunakan pupuk kompos yang sumbernya dari kotoran ternak dan sampah organik lainnya seperti sisa rumput, sisa sayuran, daun dan buah-buahan,” kata Abdul Gulam Lamadike.

Walhasil, produksi sayuran, tomat, cabai dan terong dari desa Wowong yang masuk ke pasaran jauh lebih segar dan sehat. Ini terlihat di kebun demonstration plot (demplot) yang dikelola kelompok tani Waewerung dan juga tampak jelas di kebun milik Abdul Latif Leki.

“Di pasar orang lebih suka sayur-sayuran organik karena lebih segar,” pungkas Abdul Latif Leki.

Dampak Ekonomi dan Penurunan Angka Tengkes

Dengan semangat pemulihan ekonomi, Jubir kemudian memperlebar relasi. Pada tahun 2024, PT Pupuk Indonesia (Persero) memulai programnya di desa Wowong dengan membuka demplot sayuran organik, menggelar sejumlah program pendampingan petani dan memasang instalasi irigasi tetes.

Tiga tahun setelah seroja, Jubir dan para petani di desa Wowong mulai memanen hasil dari sistem pertanian cerdas iklim yang digagas Plan Indonesia dan mendapat dukungan dari pemerintah ini. 

Abdul Latif Leki, misalnya, bisa meraup untung sampai Rp 8 juta sebulan. Cuan sebanyak ini dia dapatkan dari hasil penjualan tomat, lombok dan sayur-sayuran organik di pasar.

“Dijual di dua pasar (Walangsawa dan Wairiang) itu saja, belum masuk sampai di kota Lewoleba. Tetapi ada juga yang datang beli langsung di kebun,” ucap Abdul Latif yang pernah sepuluh tahun merantau di Malaysia ini.

Keuntungan berlipat dari penerapan sistem pertanian cerdas iklim juga dirasakan langsung Agustina Baha.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved