Unika Santu Paulus Ruteng

Menjaga Ada Kita: Sebuah Refleksi Menyambut Tahun 2025 oleh Dosen Unika Ruteng

Satu pengalaman rohani orang-orang yang mendapat predikat “pribadi beriman”, yakni “mencintai” sebagai wujud kasih Allah secara

Editor: Nofri Fuka
TRIBUNFLORES.COM/ISTIMEWA
Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng, Bernardus Tube Beding. 

Menunggu membuat diri terbeban yang pada akhirnya tidak bisa dipikul dan konsekuensinya putus asa. Justru, kita harus berani menghadapi, bersemangat untuk maju, dan kuat dalam tantangan. 

Awal tahun ini kita ditantang Anthony Harton dengan petuahnya, “Jangan menunggu untuk dikasihi kalau ingin mengasihi; jangan menunggu sampai kesepian untuk menyadari pentingnya seorang teman; jangan menunggu sampai jatuh untuk mengingat nasehat; jangan menunggu sampai punya waktu untuk melayani; jangan menunggu sampai orang terbuka untuk minta maaf; jangan menunggu sebab Anda tidak tahu berapa lama lagi hal itu akan terjadi”. 

Yah, buat apa menunggu, jika Tuhan telah memberi nilai “tidak pernah berhenti untuk mencintai” kita. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Mungkin tantangan, hambatan yang kita hadapi dan bencana alam sebagai misteri alam merupakan suatu cara atau ada maksud lain yang terbaik dari Allah yerhadap ada kita dalam ziarah bersama waktu.

 Satu hal yang pasti: Tuhan tidak pernah bosan mengasihi. Karena itu, menjaga “ada kita” cukup dengan sikap“mengasihi”. 

Ada Kita dengan Berbahasa

Menjaga “ada” kita di tahun 2025 ini dengan terus memelihara akal sehat melalui literasi. Saya sempat menulis di akun facebook, “haram untuk menyeragamkan cara berpikir setiap individu dalam memahami dan menerangkan suatu realitas. 

Bahkan saya berani menegaskan bahwa setelah semantik masih ada pragmatik. 

Semantiknya bahwa ada anggapan teori-teori atau konsep-konsep cendrung menggurui masyarakat, bahkan menimbulkan antipati pribadi. Bukan soal konsep atau teori itu tersampaikan, tetapi cara menyampaikannya, itulah yang pragmatiknya. 

Artinya, argumen konsep tidak bisa diloloskan dengan nalar semata. Akal sehat tidak dihidupkan dengan konsep semata. Akal sehat dipelihara dengan realitas, aktivitas kehidupan yang terberi.” Itu yang disebut menjaga “ada kita” dengan literasi berbahasa. 

Literasi berbagasa merujuk pada penggunaan bahasa sesuai konteksnya (literasi pragmatik). Ini merupakan payung untuk “menjaga ada kita” dalam alur waktu. Seluruh keberadaan kita tidak bisa lepas dari bahasa yang bermartabat. 

Keberadaan kita dalam realitas dibangun dengan bahasa yang mampu digunakan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, lalu mengomunikasikannya dalam segala aspek kehidupan, seperti bidang potitik, hukum, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, dan bidang lainnya, baik dalam lingkungan lokal, nasional, maupun internasional.
 
Bukan hanya sisi penggunaannya (fungsi) saja bahasa itu dipandang bermartabat. 

Dari sisi bentuk juga bahasa yang bermatabat itu memiliki komponen struktur dan makna. Struktur menyangkut kaidah pengucapan dan penulisan, pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun pembentukan wacana dan penggunaan bahasa. Kedua aspek tersebut (fungsi dan bentuk) mutlak diperlukan dalam menjaga keberadaan diri di setiap langkah kehidupan. 

Keniscayaan setiap pribadi berbahasa untuk menjaga keberadaannya bukan memperhatikan aspek kaidah (berbahasa yang benar) saja, tetapi juga berbahasa untuk dipahami oleh orang lain (berbahasa yang baik), dan tidak menyinggung perasaan orang lain (berbahasa yang santun). 

Peran Stakeholder

Keberadaan kita tidak lepas dari peran stakeholder. Agama hadir untuk menjaga keberadaan rohani setiap pribadi penganutnya. Seruang untuk “mengasihi” menjadi tanggung jawab dan contoh bagi setiap penganutnya. 

Halaman
123
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved