Pengungsi Gunung Lewotobi

Kisah Kakek Pengungsi Gunung Lewotobi Nekat Pulang Kampung Demi Sesuap Nasi

Kakek 70 tahun itu duduk seorang diri di pertigaan jalan di Dusun Goliriang, Desa Klatanlo, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT

Penulis: Paul Kabelen | Editor: Hilarius Ninu
TRIBUNFLORES.COM/PAUL KABELEN
PENYINTAS-Seorang penyintas, Stefanus Ama, diberi tumpangan saat pulang dari rumahnya di Desa Klatanlo ke Desa Lewolaga, tempatnya mengungsi dari bahaya erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Jumat, 20 Juni 2025. 

 

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Paul Kabelen

TRIBUNFLORES.COM, LARANTUKA-Kakek 70 tahun itu duduk seorang diri di pertigaan jalan di Dusun Goliriang, Desa Klatanlo, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT. Kampung yang dekat dengan Gunung Lewotobi Laki-laki. 

Saya dan rekan jurnalis melihatnya seusai liputan perkembangan erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki dari pos pengamatan, Jumat, 20 Juni 2025 pagi. Dia melambaikan tangan, meminta tumpangan.

Di sampingnya ada empat karung berisi daging kelapa, singkong, dan pisang. Kakek bernama lengkap Stefanus Renggo Ama itu nekat pulang ke rumah yang berada di kaki Gunung Lewotobi demi mengambil sisa-sisa harta pasca dilanda lontaran material setinggi 10 kilometer.

Stefanus menunggu tumpangan untuk pulang ke pengungsian Desa Lewolaga, Kecamatan Titehena. Kebetulan lewat, kami memberinya tumpangan. Badannya dilumuri debu vulkanik gunung berstatus Level IV (Awas).

 

 

 

 

Baca juga: Pengungsi Gunung Lewotobi yang Hilang Belum Ditemukan, Warga Gencar Mencari

 

 

 

 

 

 

Meski keselamatan nyawa sangat terancam bahaya letusan, kekhawatiranya sirnah demi hidup keluarganya. Uang hasil menjual komoditi untuk membeli beras, lauk, dan biaya anak sekolah.

"Ke kebun hanya cepat-cepat, ambil pisang, kelapa, dan ubi lalu bawa ke pengungsian. Kami cari makan, pak. Bantuan sudah jarang bahkan tidak ada sama sekali," ujar Stefanus.

Setiap kali ke kampungnya, Stefanus merogoh kocek sebesar Rp 40.000 untuk ongkos taksi antar pedesaan. Jika beruntung, Stefanus diberikan tumpangan gratis dari pengendara yang melintas.

"Terima kasih banyak, pak. Kadang kala saya tunggu sampai sore," tutur Stefanus.

 

 

 

 

Baca juga: Panduan Tata Perayaan Ekaristi Minggu 22 Juni 2025, Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus 

 

Stefanus sudah melihat ancaman Wakil Bupati Ignas Boli Uran yang berang dengan penyintas yang keras kepala karena nekat pulang ke zona bahaya erupsi. Baginya, penyintas tidak pernah melawan pemerintah. Mereka pulang bukan tanpa alasan.

"Mau tidak mau harus tabrak bahaya pak, kalau tidak kami makan apa di sana," pungkasnya.

Stefanus tak terlalu menyoalkan ancaman itu, namun ia berharap pemimpin bisa lebih teduh membangun narasi di ruang publik.

Selain Stefanus, terpantau sejumlah penyintas yang berkebun dari pagi hingga siang. Mereka memetik sayur dan membawa kayu bakar. Saat pulang ke posko pengungsian, pengungsi lebih banyak menumpang taksi dan pickup.

Gunung Lewotobi Laki-laki terus mengalami erupsi disertai sejumlah aktivitas kegempaan. Gunung strato volkano dengan ketinggian 1.584 meter di atas permukaan laut itu meletus dahsyat pada Selasa, 17 Juni 2025.

Letusan ini merupakan peristiwa terbesar dalam catatan sejarah karena memuntahkan material setinggi 10 kilometer dari puncak kawah.

Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Flores Timur, Fredy Moat Aeng, mengatakan pengungsi saat ini berjumlah 5.825 jiwa, tersebar di Poslap Konga, hunian sementara, Poslap Kobasoma, Poslap Bokang Wolomatang, Poslap Lewolaga, dan pengungsian mandiri.

Fredy meneyebut, Pemerintah masih menunjang kebutunan makanan pengungsi terpusat di poslap dan pengungsi mandiri.

"Sementara yang di huntara, kita berharap ada upaya-upaya mandiri. Kalau pengungsi mandiri setiap bulan diberi dana tunggu hunian (DTH) selama enam bulan, sampai Juni ini," katanya.

Di sisi lain, warga pengungsi mandiri mengaku telah menerima DTH. Uang itu digunakan untuk tambahan makan dan minum semua anggota keluarga.

Sementara tuntutan angsuran ke bank dan biaya pendidikan anak memaksa mereka pulang kampung untuk memanen hasil komoditi lalu dijual ke pengepul.

"DTH per kepala keluarga (KK) sebesar Rp 600 ribu. Masih ada kebutuhan-kebutuhan lain yang memaksa kami pulang cari uang di kampung, sekalipun berbahaya," ungkap Stefanus.

 

Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News

 

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved