Berita NTT

Ombudsman NTT Sebut Konflik Kepentingan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, Ungkap 8 Modus Korupsi

Editor: Gordy Donovan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DISKUSI - Hari Kamis 19 Januari 2023 lalu bertempat di Hotel Sotis Kupang, kepala Ombudsman NTT menghadiri undangan LSM Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rangka diskusi terbatas hasil penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton menyebutkan ada konflik kepentingan dalam pengadaana barang dan jasa pemerintah.

TRIBUNFLORES.COM, MAUMERE - Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton menyebutkan ada konflik kepentingan dalam pengadaana barang dan jasa pemerintah.

"Hari Kamis 19 Januari 2023 lalu bertempat di Hotel Sotis Kupang, saya menghadiri undangan LSM Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rangka diskusi terbatas hasil penelitian studi kasus konflik kepentingan pengadaan barang dan jasa pemerintah,"ujar Darius kepada TRIBUNFLORES.COM Kamis 26 Januari 2023.

Kata Darius, penelitian ini mengambil sampel Proyek pengadaan pembangunan NTT Fair dan monumen Pancasila oleh Pemerintah Provinsi NTT tahun 2018 silam.

Hadir pada saat itu sejumlah instansi pemerintah, LSM dan media cetak/elektronik serta para peneliti.

Baca juga: Kasus Oknum Polisi Aniaya ODGJ di Lembata, Kabid Humas Polda NTT Bilang Ada Potensi Tersangka Baru

 

Adapun temuan sementara dalam penelitian ini adalah bahwa kedua proyek ini ditemukan relasi kuasa konflik kepentingan vertikal maupun horisontal antara penyedia dengan PA/KPA dan PPK.

"Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan bahwa perihal konflik kepentingan dalam pengadaan barang jasa pemerintah selalu kita dengar. Meski demikian untuk membuktikan apakah ceritera itu benar adanya tidak mudah. Karena proses pengadaan via tender dan seleksi berjalan by aplikasi,"ujarnya.

Ia mengungkapkan secara umum modus korupsi pengadaan barang jasa pemerintah adalah pertama; Pengaturan pemenang.

Pemenang sudah diatur sebelumnya antara KPA dan panitia/pejabat pengadaan dengan penyedia. Proses pengadaan hanya formalitas.

Kedua; Pinjam bendera perusahaan lain. Yang punya bendera bukan pelaksana proyek tetapi hanya mendapatkan fee atas kesepakatan bersama.

Ketiga; Pemenang tanda tangan kontrak tetapi pekerjaan di sub kontrak kepada pihak lain.

Keempat; Suap atau pemberiaan komitmen fee oleh penyedia dengan besaran yang disepakati bersama kepada KPA, ketua panitia dan pejabat lelang.

Baca juga: Transmigran Sikka di Mamasa Sulbar Sengsara, Andalkan Pemberian Orang Lain untuk Makan dan Minum

Kelima; Pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis. PPK tidak cek harga pasar untuk reviuw HPS. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) di mark up mendekati harga penawaran.

Keenam; Pengadaan fiktif dan tidak sesuai kebutuhan.

Ketujuh; persekongkolan antar penyedia.

Kedelapan; pekerjaan belum selesai namun pembayaran sudah dilakukan 100 persen.

Untuk itu pada forum tersebut Darius menyampaikan beberapa upaya pencegahan yang mesti terus-menerus dilakukan guna meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang jasa pemerintah antara lain,


pertama; Peningkatan kualitas SDM pejabat pengadaan barang jasa.

Kedua; Meningkatkan peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) guna melakukan pendampingan maupun pengawasan pelaksanaan. Hal ini bisa dilakukan dengan permohonan PPK kepada inspektorat untuk melakukan probity audit sebagai mitigasi resiko mulai dari perencanaan.

Ketiga; Pendampingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).

Keempat; Penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) mesti tercatat sebagai lain-lain PAD yang sah.

Hal ini diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 31 ayat (4) huruf h Peraturan Pemerintah ini menyatakan; “Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya”.

Baca juga: Rehab Pelabuhan Lewoleba di Lembata Telan Dana Rp 83 Miliar

Ia mengatakan jika selama ini pendapatan dari sumber komisi atau fee semua proyek yang telah dilaksanakan belum atau tidak tercatat atau fee/komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah alias masuk ke kantong-kantong pribadi maka soal komitmen fee proyek tersebut sudah saatnya perlu diatur agar disetor ke kas daerah guna dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah.

"Terima kasih kepada LSM Bengkel APPeK NTT dan Indonesia Corruption Watch (ICW) atas diskusi ini. Semoga bermanfaat,"ujar Darius.

Berita TRIBUNFLORES.COM lainnya di Google News