LBH APIK

LBH APIK NTT Gugah UU TPKS Diterapkan Menjerat Predator Seksual

Editor: Egy Moa
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara dan staf menjelaskan catatan akhir tahun LBH APIK NTT kepada wartawan di Kupang, Senin 22 Januari 2024.

Laporan wartawan POS-KUPANG.COM, Novemy Leo

POS KUPANG.COM, KUPANG- LBH APIK NTT menggugah implementasi  UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah ditandandatangani dan diundangkan Tanggal 9 Mei 2022. Penerepan  UU ini diharapkan bisa menjerat predator seksual.

Hal ini terungkap dalam kegiatan catatan akhir tahun (Catahu) LBH APIK NTT kepada wartawan di Kupang, Senin 21 Januari 2024. Hadir dalam kegiatan itu, Direktris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara, SH, Ketua Divisi Perubahan Hukum diantaranya, Dany Manu serta staf Adelaide Ratukore. Hadir juga pengacara sekaligus staf pada divisi pelayanan hukum, Puput Joan Riwu Kaho.

Ansi mengatakan, UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah ditandatangani dan diundangkan pada tanggal 9 Mei 2022. Dengan demikian, UU ini sudah berlaku dan dapat digunakan untuk menjerat predator seksual. UU TPKS lahir dalam pergumulan terkait kekerasan seksual (KS) yang sangat marak. 

"Diharapkan kehadiran UU TPKS ini dapat berdampak pada penurunan kasus kekerasan seksual tersebut.
Harapan publik agar kasus kekerasan seksual semakin menurun belum tercapai. Sebab kasus kekerasan seksual masih saja marak. UU ini seakan-akan tumpul ketika berhadapan dengan predator seksual," kritik Ansi.

Baca juga: Sosiolog Ignas Kleden Asal Flores NTT Meninggal Dunia

 

 

Hal ini dibuktikan dari Catahu LBH APIK NTT yang  memperlihatkan kondisi tersebut. Catahu LBH APIK NTT merupakan laporan tahunan yang dibuat oleh Lembaga LBH APIK NTT untuk mempertanggungjawabkan kinerja pertahunnya kepada publik.

Selain bentuk pertanggungjawaban, Catahu LBH APIK NTT berupaya memotret kasus-kasus kekerasan berbasis gender melalui analisis media dan analisis pengaduan kasus. Analisis media ini masih terbatas pada media mainstreaming yakni Pos Kupang dan Victory News.

Liputan media terhadap kasus kekerasan berbasis gender didominasi kasus kekerasan seksual (KS). Ansi merincikan, pemberitaan seputar kasus KS mencapai 39 persen dari total kasus kekerasan berbasis gender yang diliput. Selain kasus kekerasan seksual 39 persen, kasus dominan lain yang diliput media adalah kasus KGBO 10 persen dan KDRT 18 persen. 

"Dari kasus yang diliput ini juga mempresentasikan pada kuantitas kasus kekerasan seksual yang meningkat. Ada kenaikan hingga 500 persen dari sisi kuantitas kasus KS," kata Ansi.

Baca juga: Jadwal dan Nama Kapal Ferry Yang Beroperasi di NTT Minggu 22 Januari 2024

Tahun 2022, kasus KS yang berhasil diliput media sebanyak 10 kasus. Kasus ini naik pada tahun 2023 menjadi 54 kasus. Gambaran ini memperlihatkan bahwa ada kenaikan jumlah kasus mencapai 500 persen.

Dari sisi korban, media juga memotret korban berdasarkan pendekatan usia. Media mencatat bahwa 77.8 persen dari total korban adalah anak-anak. Selebihnya, 22.2 persen korban adalah perempuan dewasa. 

"Data ini memperlihatkan bahwa anak masih saja rentan pada kasus-kasus KS. Kondisi ini patut dipertanyakan mengingat selain UU TPKS yang melindungi korban KS, ada juga UU Perlindungan Anak yang secara spesifik memberikan perlindungan kepada anak," jelas Ansi.

Simetris dengan data yang diperoleh dalam riset media, demikian Ansi, kasus KS seperti  perkosaan dan percabulan mendominasi kasus yang dilaporkan ke LBH APIK NTT.

Baca juga: Jadwal Kapal Ferry yang Beroperasi Minggu 21 Januari 2024 di NTT

Persentasi kasus kekerasan seksual mencapai 27.persen dari total kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT. Selain kasus KS, kasus perceraian juga marak ditangani oleh LBH APIK NTT, angkanya mencapai 20 persen dari total kasus yang ditangani. 

Kasus lain yang mendominasi adalah kasus KDRT 15 persem dari total kasus yang ditangani, kasus KGBO 7 persen, dan kasus Ingkar Janji Menikah 6 persen.

Dari segi kuantitas, kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang ditangani pada tahun 2022. 

Data memperlihatkan, Tahun 2022, LBH APIK NTT menangani 118 kasus. Ini menurun pada tahun 2023 menjadi 73 kasus.  Pada kasus KS, korban masih didominasi oleh anak, di mana dari total  19 kasus KS, 16 kasus 86 persen korban adalah anak-anak.

Baca juga: Jadwal dan Kapal Ferry yang Beroperasi Sabtu 20 Januari 2024 di NTT

Pada penerapan pasal, sebagaimana data dari Polda NTT, kasus KS masih belum sepenuhnya menggunakan pasal dalam UU TPKS. Tercatat 1 kasus yang menggunakan UU TPKS, yakni kasus pelecehan seksual. Ansi menilai, tidak digunakannya UU TPKS pada kasus kekerasan seksual disebabkan oleh kepolisian masih menunggu petunjuk lebih lanjut dalam penerapan pasal UU TPKS. 

"Kondisi ini membuat penerapan UU TPKS belum dapat berjalan dengan maksimal. Selain penggunaan pasal dalam UU TPKS, hukum acara yang diatur dalam UU TPKS belum sepenuhnya dipergunakan oleh APH pada kasus-kasus KS yang deliknya diatur pada UU yang lain," jelas Ansi. 

Jika merujuk pada pasal 2 ayat (2) UU TPKS yang mengadopsi konsep listing dan menjangkau UU lain yang memuat KS (blanco strafbepaling), maka UU TPKS ini berlaku secara lex specialis systematis. Artinya secara sistematis semua kasus KS, mekanisme acaranya akan merujuk pada hukum acara dalam UU TPKS.

Jadi, apakah UU TPKS masih dibutuhkan? Pasti. "Problemanya bukan pada UU TPKS ini, tetapi kemauan baik dan kapasitas APH dalam menggunakan UU TPKS ini. Semoga kita terhindar dari berbagai bahaya KS," harap Ansi.

Baca juga: Kondisi Terkini Jalan Provinsi NTT Bealaing-Mukun-Mbazang di Manggarai Timur Mulai Rusak

Lebih lanjut Ansi mengatakan, dalam upaya meningkatkan efektivitas Layanan LBH APIK NTT di wilayah dampingannya, perlu dilakukan penguatan peran paralegal sebagai perpanjangan LBH APIK NTT.

Hal ini dapat dicapai dengan memperkuat system pelaporan yang melibatkan peran aktif para paralegal. Diperlukan peningkatan kapasitas paralegal dalam menghimpun informasi dan memberikan pendampingan hukum kepada masyarakat.

"Selain itu, perlu diupayakan kebijakan yang bersifat pro gender dan pro minoritas melalui kajian-kajian mendalam. Para paralegal dapat berperan aktif dalam melakukan analisis dan riset terkait isu-isu hukum yang berkaitan dengan gender dan minoritas," ungkapnya.

Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari kajian-kajian ini dapat menjadi landasan untuk advokasi perubahan kebijakan yang lebih inklusif.

Baca juga: Eksotisnya Bukit Tuamese, Pesona "Raja Ampat" di Pulau Timor NTT

Dengan memperkuat peran paralegal, LBH APIK NTT dapat lebih efektif menjangkau dan memberikan bantuan hukum kepada kelompok-kelompok yang rentan. 

"Hal ini sejalan dengan tujuan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan mendukung hak-hak semua individu, terutama yang berasal dari kelompok rentan, dan minoritas," kata Ansi. *

sumber:pos-kupang.com