Hal serupa juga dialami Fitriana Wea, bocah berusia 3 tahun 10 bulan asal Dusun Padang Pasir, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang.
Hampir sepekan Fitriana mengalami pilek dan batuk.
Fitriana bercerita awalnya ia sedang bermain bersama teman-temannya di halaman sekolah tempat mereka mengungsi.
Sore harinya ia merasakan tenggorokan sakit disertai pilek. Ia kemudian menyampaikan keluhan tersebut kepada ibunya.
“Saya dengan Mama sudah ketemu sama dokter tetapi sampai sekarang masih sakit,” ucapnya.
Lina Namang (33), nakes Puskesmas Ilebura, menjelaskan, pasien yang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) biasanya ditandai dengan batuk, pilek, radang tenggorokan selama lebih dari tiga hari.
ISPA juga salah satu penyakit menular sehingga dengan muda menyebar kepada orang lain.
"Apalagi yang tinggal di kamp pengungsian, itu sangat rentan terserang ISPA. Kalau satu sudah terpapar, pasti yang lain juga ikut terpapar," ujarnya.
Baca juga: Pengungsi Gunung Lewotobi Susah Tidur Pasca Gempa 5,6 SR Guncang Flores, NTT
Pengungsi terserang ISPA
Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Flores Timur, Hironimus Lamawuran menyebutkan, hingga Minggu (21/1/2024), pengungsi yang terserang ISPA sebanyak 2.172 orang.
Pengungsi juga terserang penyakit lain seperti dermatitis, mialgia, gastritis, rhinofaringtis akut, hipertensi, influenza dan penyakit lainnya.
"Kasusnya masih didominasi ISPA," ujar Hironimus.
Hironimus mengatakan, semua keluhan kesehatan yang dialami pengungsi akan ditangani para medis di posko maupun puskesmas.
Kadis Kesehatan Flores Timur Agustinus Ogie Silimalar mengungkapkan, tingginya kasus ISPA, selain karena terpapar debu vulkanik, juga kondisi tenda di posko pengungsian yang masih darurat.
Meski begitu, kata Ogie, pelayanan kesehatan untuk pengungsi terus dioptimalkan. Pihaknya juga menyiapkan puskesmas untuk menangani pengungsi dengan keadaan darurat.
Berita TRIBUNFLORES.COM Lainnya di Google News