Mereka juga mengizinkan pengunjung untuk menelusuri tiap sudut pertapaan yang berada di lahan seluas lima hektar ini. Termasuk untuk mengabadikannya dalam foto maupun video.
Di pertapaan ini pengunjung bisa membeli roti dan makanan ringan lainnya yang dibuat para rahib dan karyawan. Mereka juga membuat lilin, benda-benda devosional yang bisa dibeli tamu dan menyediakan penginapan untuk retret.
Gagasan Awal Pembangunan Pertapaan Trappist Lamanabi
Diketahui gagasan mendirikan pertapaan Trappist di keuskupan Larantuka bermula dari keinginan bapak uskup Larantuka Alm. Mgr Darius Nggawa, SVD. Pada tahun 1983 beliau secara tertulis mengundang Abas Pertapaan Rawaseneng, Alm. Romo Frans Harjawiyata, untuk membuka fundasi Pertapaan Rawaseneng di dusun kecil Lamanabi.
Lamanabi dalam bahasa Lamaholot secara harafiah berarti kelompok suku (lama) yang bermukim di bukit (nabi/nubi). Bukit bagi warga asli, merupakan tempat ritual kurban untuk berbakti kepada Wujud Tertinggi (Allah), maka Lamanabi mendapatkan arti simbolik sebagai Bukit Kurban.
Upacara peletakan batu pertama pembangunan pertapaan tahap pertama di Lamanabi yang dipimpin oleh Mgr Darius Nggawa dilangsungkan pada 9 Juni 1997. Pada 29 September 1998 mereka sudah dapat mulai menjalankan hidup regular secara resmi. Oleh karena itu 29 September dianggap sebagai hari jadi Fundasi Lamanabi.
Dalam Kapitel Umum Ordo November 1999 yang dilangsungkan di Lourdes Perancis, Lamanabi diizinkan untuk mulai membuka novisiat. Dan dalam Kapitel Umum Oktober 2005 yang dilangsungkan di Assisi Italia, status Pertapaan Lamanabi ditingkatkan dari fundasi menjadi keprioran sederhana.
Berita TribunFlores.com lainnya di Google News