Berita Lembata

Advokasi Muro LSM Barakat Mulai Menemukan Hasil

Disaksikan pemerintah daerah, masyarakat adat Desa Kolontobo memasang tanda pembagian zonasi di wilayah laut Desa Kolontobo yang disebut Muro.

Editor: Egy Moa
TRIBUN FLORES.COM/RICKO WAWO
Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday dan Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil berpose di dekat kapal yang akan memasang tanda zonasi muro di desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, Senin, 7 Maret 2022.   

Laporan Reporter TRIBUNFLORES.COM, Ricko Wawo

TRIBUNFLORES.COM, LEWOLEBA-Pagi hari, suasana di Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape pada Senin, 7 Maret 2022 berbeda dari biasanya. Mengenakan busana adat, tokoh adat dan aparat pemerintah desa sibuk menyiapkan ritual adat yang akan digelar hari itu sebelum siang hari.

Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, Anggota DPRD Provinsi NTT, Viktor Mado Watun dan rombongan pemerintah dari Lewoleba tiba di pintu masuk Desa Kolontobo pagi itu.

Mereka diterima secara adat dan kemudian berjalan kaki ke lokasi Pantai Ohe, salah satu objek wisata Desa Kolontobo. Di sana sudah ada perwakilan kelompok masyarakat dari Desa Tapobaran, Dikesare, Lamawolo dan Lamatokan.

Disaksikan pemerintah daerah, masyarakat adat Desa Kolontobo pun memasang tanda pembagian zonasi di wilayah laut Desa Kolontobo yang disebut Muro atau Badu seluas 107,3 hektare.

Baca juga: Budaya Adalah Inti Dari Hidup Masyarakat Lembata

Muro sendiri berarti kawasan di darat atau di laut yang dilindungi atau dijaga oleh masyarakat adat dan aturan adat. Proses untuk menetapkan Muro diputuskan melalui kesepakatan bersama masyarakat adat yang dilanjutkan dengan sumpah adat di Namang. Secara umum Muro merupakan kearifan lokal akan konservasi laut supaya ekosistem laut tetap terjaga.

Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) Barakat menemukan warisan leluhur ini sebagai kekuatan asali masyarakat untuk mencegah eksploitasi laut secara berlebihan yang selama ini terjadi. LSM Barakat kemudian melakukan advokasi menyeluruh untuk menghidupkan kembali Muro agar tak hilang ditelan zaman. Ada lima desa yang menjadi sasaran advokasi yakni desa Dikesare, Tapobaran, Lamawolo, Lamatokan dan Kolontobo.

Awalnya penuh jalan terjal dan berliku, advokasi Muro oleh LSM Barakat mulai menemukan hasil, perlahan tapi pasti.Dalam perhelatan pekan eksplorasi budaya Lembata dari tanggal 3-7 Maret 2022, isu konservasi laut melalui Muro mendapat tempat khusus.

Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil dan peneliti lingkungan Piter Pulang pun terlibat dalam diskusi budaya (Tobo Baong) untuk menyadarkan masyarakat tentang manfaat luar biasa dari Muro sebagai sebuah praktik konservasi laut.

Baca juga: Peneliti Australia Dalami Kekayaan Pangan Tradisional dan Tumbuhan Herbal di Lembata 

Benediktus Bedil mengatakan melalui program kemitraan Wallace untuk perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Teluk Hadakewa.

Barakat didampingi didampingi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT dan Lembata dan TNI AL Pos Lembata menetapkan 2 muro yakni di Desa Tapobaran seluas 97,23 hektare dan Desa Kolontobo seluas 107,3 hektare.

Pihaknya juga memperluas kawasan Muro di 3 desa sebelumnya yakni Desa Dikesare dari 15,79 hektare menjadi 92,10 hektare, di Desa Lamatokan dari 28,03 hektare menjadi 54,36 hektare dan di desa Lamawolo 1,04 hektare menjadi 11,25 hektare.

Bupati Lembata Thomas Ola Langoday memberikan apresiasi luar biasa kepada LSM Barakat yang telah bekerja mengadvokasi masyarakat untuk menghidupkan Muro.

Baca juga: Eksplorasi Budaya Lembata Akan Sia-sia Jika Dokumen PPKD Tak Diperbaharui

Menurut dia, Muro merupakan solusi ampuh yang diwariskan nenek moyang untuk menjaga kelestarian laut dan mencegah eksploitasi laut yang merusak. Ini juga sejalan dengan spirit rekonsiliasi sare dame yang diangkat dalam perhelatan eksplorasi budaya Lembata. 

Sistem Zonasi Muro

Dalam Muro, masyarakat juga punya kearifan untuk menetapkan zonasi yakni pertama; “Tahi Tubere” atau“ Jiwa Laut”. Lokasi ini sama dengan Zona Inti. Tempat ini menjadi kamar ikan kawin-mawin dan beranak pinak. Sebab itu, jangan diganggu agar ikan bisa berkembang biak menjadi banyak dan dewasa agar ketika keluar bisa ditangkap.

Kedua, “Ikan Berewae” atau“ Ikan Perempuan”. Lokasi ini sama dengan Zona Penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan untuk menangkap ikan di lokasi ini tapi cuma dengan memancing.

Baca juga: PKN Lembata Siap Hadapi Verifikasi KPU Dan Menangkan Pemilu 2024

Ketiga, “Ikan Ribu Ratu” atau“ Ikan untuk Umum”. Lokasi ini sama dengan Zona Pemanfaatan. Lokasi ini akan dibuka dan ditutup sesuai kesepakatan. Ada yang setiap tahun, ada yang
tergantung dari kebutuhan umum, dan ada yang dibuka 3–5 kali setahun untuk semua masyarakat menangkap beramai-ramai.

Peneliti lingkungan Piter Pulang berujar, pihaknya terus melakukan 'penyadartahuan' tentang Muro atau Bedu dan dampaknya untuk perubahan iklim.

"Tiga elemen yang juga mau kita jaga itu mangrove, terumbu karang dan lamun," tegasnya. 

Melalui konsultasi publik, Muro seluas 358,28 ha disepakati masyarakat di 6 desa untuk dilindungi; melalui advokasi Muro di legitimasi melalui Sumpah Adat di Namang dan dilegalisasi melalui SK Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor:192/KEP/HK/2019 tertanggal 11Juni 2019 tentang “Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata” dan dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Lembata Nomor 95 Tahun 2021.

Baca juga: Saatnya Lembata Punya Shelter Korban Kekerasan Perempuan dan Anak

Melalui pemberdayaan 25 orang anggota POKMASWAS Kapitan Sari Lewa, Muro diawasi melalui sebuah SOP bersama Tim Pengawas di Tingkat Kabupaten; dan melalui SK Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lembata Nomor: DISKAN.523/SD1.101/v/2019,Kelompok  Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Kapitan Sari Lewa di 5 desa, mendapat mandat untuk melakukan pengawasan.
 

Berita Lembata lainnya
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved